Kurang lebih tujuh atau delapan tahun dia hidup di Pekanbaru (dua tahun di PGA dan lima tahun lebih) di Universitas Riau, selama itu pula Jamel tidak pernah meninggalkan tradisi mengaji dan mengajarkannya sekaligus kepada orang lain yang ada di sekitar dia bertempat tinggal. Pada awal di Pekanbaru, Jamel menumpang tinggal di rumah abang seayahnya, Bakaruddin yang waktu itu menjadi guru di Pekanbaru. “Kau tinggal di rumah Cu Bakar aja, ya?” Itu kata ayahnya saat awal Jamel diantarkan ke Pekanbary.
Beberapa bulan di surau ini, akhirnya Jamel mendapatkan masjid sendiri di Jalan Mangga, Sukajadi. Itulah Masjid Alkhairat, masjid yang menjadi awal Jamel mandiri sekaligus masjid yang mengakhiri status menumpang yang selama ini melekat padanya sebagai gharim. Di sinilah Jamel digaji (diberi honor) atas tugasnya menjadi gharim. Dan di sini pula Jamel merasakan kemandirian untuk mewujudkan harapan. Belajar dan mengajar mengaji semakin instensif dia lakukan karena akhirnya menjadi bagian penopang hidupnya selama menuntut ilmu di Pekanbaru. Bekerja sambil kuliah, itulah caranya.
Selepas kuliah pada tahun 1983 dan menjadi guru PNS pada tahun 1985 dengan tempat tugas ke Pulau Kundur, Tanjungbatu itu, tradisi menjadi guru mengaji tetap dia lakukan. “Ketika bujangan saya mengajar anak orang lain. Ketika saya sudah memiliki momongan, saya mengajar mengaji anak saya sendiri.” Begitulah, ketika Jamel ketika pindah ke Moro beberapa tahun lalu itu dan pindah serta mulai hidup di Tanjungbalai Karimun karena dimutasi lagi, Jamel tetap meneruskan kebiasaan ini. Mengajar mengaji adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya*** (bersambung)