Semakin bertambah usia aku semakin melihat kenyataan, bahwa Bakku dan Makku memang sangat terbuka terhadap kehadiran orang lain di rumah kami. Kalau aku mengenang hal itu kadang aku merasa kagum dengan kedua orang tuaku. Bagaimana tidak, silih berganti tamu yang menginap di rumah kami.
Seingatku, rata-rata mereka pasangan suami isteri yang baru berkeluarga. Memang, mereka adalah masih kerabat keluarga. Namun, bagi aku yang tidak bisa bersikap seperti itu membuat aku merasa kagum pada ketulusan dan keterbukaan hati kedua orang tuaku. Secara finansial mereka mencukupi kebutuhan mereka sendiri, tidak bergantung pada kami yang hidup hanya pas-pasan.
Itu aku ketahui dari tidak pernahnya mereka makan bersama kami dalam satu meja. Keberadaan mereka di rumah kami memang hanya berblilang bulan. Namun, tiga kamar dari empat kamar yang ada selalu di isi oleh tamu. Yang aku lupa, di mana kedua abangku dan upikku tidur? Karena satu kamar yang tersisa ditempati aku, makku dan Bakku.
Kadang ada peristiwa yang lucu, kadang ada juga peristiwa yang membuat jantungku berdebar. Ada yang menitipkan isteri mudanya di rumah kami. Namun, ketika diketahui isteri tuanya yang kebetulan masih keluarga terjadilah keributan besar. Satu idiom yang sangat melekat di benakku saat itu entah terlontar dari mulut siapa, yang kira-kira seperti ini:
“Kalau belum sanggup mendengar gonggongan anjing yang di ikat di pangkal tangga, jangan coba-coba beristeri dua.”
Mungkin pada saat itu saudara aku itu belum dapat ilmunya bagaimana memelihara isteri lebih dari satu, tidak seperti orang-orang keknian yang mampu menjaga kerukunan meskipun isterinya lebih dari satu. Bisa jadi mereka sudah terbiasa mendengar gonggongan anjing yang di ikat di pangkal tangga. Sehingga rumah tangganya aman tenteram dan damai.
Ada juga yang setiap hari isterinya dipukuli. Bagi aku yang masih kecil saat itu, melihat hal seperti itu sangat menakutkan. Kadang aku kasihan melihat penderitaan isterinya. Peristiwa seperti itu sangat membekas dalam ingatanku, aku tidak mengerti apa kesalahan isterinya. Sehingga setiap hari menjadi bulan-bulanan suaminya.
Tidak pernah sekalipun orang tuaku mencampuri urusan tamu yang menginap di rumah kami, bisa jadi orang tuaku tidak tahu peristiwa itu. Kejadian itu memang hanya di dalam kamar, kebetulan aku yang menyaksikannya.
Yang cukup menggembirakan, ada juga pasangan muda yang awalnya menjejakkan kakinya di rumah dan tinggal di rumah kami. Tapi, dikemudian hari menjadi pejabat penting di daerah Jambi. Bahkan saat sudah menjadi pejabatpun silaturahminya tidak pernah putus. Sampai saat kami pindah ke Telanaipura pun kerap dia mampir ke rumah.
Kalau yang sejak bujangan tinggal di rumah, karena meneruskan pendidikan dan bekerja juga silih berganti tinggal di rumah kami. Tapi, setelah mereka berumah tangga, mereka tidak lagi tinggal di rumah kami. Bagi Bakku, mungkin hanya itu cara beliau membantu kerabat keluarga, karena memang perhatiannya terhadap orang lain memang sangat besar.
Inilah perilaku Bakku yang tidak bisa aku warisi, aku tidak mampu mewarisi sikap dan perilaku seperti itu. Padahal, aku sendiri juga mengalami hidup dengan ‘induk semang’. Ceritaku hidup dengan induk semang ini akan aku tuliskan dalam bab yang lainnnya.
Betapa aku diperlihatkan Tuhan, bagaimana Bakku dan induk semangku tangannya sangat terbuka untuk membantu orang lain. Tapi, aku sendiri tidak punya kemampuan mewarisi sikap dan perilaku yang seperti itu. Semua karena situasi dan keadaan yang memang berbeda.
Tapi, aku tetap belajar agar tanganku tetap terbuka untuk membantu orang lain, meskipun dengan cara yang berbeda. Dengan cara itulah aku belajar tentang kemanusiaan dan memanusiakan orang lain, tanpa ada sekat suku, agama dan ras. Pada akhirnya aku tahu, bahwa kemanusiaan itu di atas segala-galanya.
“Welas asih manusia mengikat kita yang satu dengan yang lain – bukan dengan rasa kasihan atau merendahkan tetapi sebagai manusia yang telah belajar bagaimana mengubah penderitaan kita bersama menjadi harapan untuk masa depan”. – Nelson Mandela
kisah inspiratif