“Ibu, apa yang Ibu katakana. Bukannya dia yang menabark Ibu?” aku memandang Ibu tak percaya
“Untung ada Dia, jika tidak Ibu tidak tahu bagaimana nasib uang kontrakan rumah kita Put.”
Aku baru teringat, Ibu tadi pagi Ibu mau membayar uang kontrakan rumah.
“Maaf.” Kataku menatap sekilas kearah Edwin dan kembali menatap Ibu
Aku menatap Ibu, bagaimana cara aku membayar biaya rumah sakit ibu sementara uang yang aku miliki hanya cukup untuk keperluan selama KKN nanti.
“Putri, putri.” Lamunanku terganggu dengan suara Ibu dan sentuhan tangannya dilenganku.
Aku memandang Ibu, tapi aku pasti Ibu tahu apa yang ada dihatiku saat ini. Aku menoleh ke belakang kearah Edwin yang masih saja berdiri di depan pintu kamar rawat inap Ibu.
Aku tersenyum ke arah ibu sambil berkata
“Bu Putri tinggal sebentar.” Aku berjalan meninggalkan ibu dan mengajak Edwin untuk meninggalkan kamar Ibu. Setelah kami berada diluar kamar rawat inap Ibu, aku berjalan di depan Edwin mengambil kursi yang tidak jauh dari kamar Ibu. Edwin mengikuti langkahku dan duduk di kursi sebelahku.
“Sepertinya aku tidak bisa ikut KKN. Cari sa..” Belum juga selesai ucapanku
“Izinkan aku membantumu, sayang jika tidak jadi ikut KKN.” Seperti tidak percaya aku mendengar perkataan Edwin.
“Aku akan membantu biaya pengobatan Ibu, kau bisa menganggapnya sebagai hutang jika sudah punya uang bisa dibayar.” Senyum itu menyejukkan hatiku, tapi bukan hanya uang yang menjadi masalahku tapi siapa yang akan merawat Ibu selama aku KKN nanti, itu masalahnya.
“Terima kasih, tapi sepertinya bukan hanya biaya tapi orang untuk menjaga Ibu tidak ada.” Aku berusaha menolak apa yang ditawarkan Edwin padaku.
“Jika putri mengizinkan akan ada orang yang menjaga Ibu,bagaiman?” aku memandang lekat mata hitam yang telah membuatku lama terpikat. Tapi hanya senyum kecut yang bisa aku berikan padanya sambil berkata
“Tidak usah, aku tidak berhutang budi. Yang penting Ibu sembuh dulu, tidak ikut KKN juga tidak apa – apa.” menghembuskan napas berat setelah mengatakan itu.
Aku berusaha menahan sebak di dada, semakin aku menahannya semakin airmataku turun bagaikan air bah yang membanjiri bumi, aku berusaha menyembunyikan airmataku dari Edwin tapi tangan kokoh Edwin meraih bahuku meletakkan kepalaku di dada bidangnya. Aku menangis di dadanya bagaikan aku lupa sekarang aku lagi berada dimana, setelah sadar aku menarik kepalaku dari dada Edwin
“Maaf aku benar – benar bingung.” Kataku sambil menghapus airmata yang masih terus mengalir
“Biarkan aku membantumu, jika kamu KKN maka cepat lulus. Bukankah kamu pengen cepat lulus agar bisa membahagiakan Ibu.” Kata – katanya bagaikan air dingin yang menyejukkan hatiku. Senyum terbit dibibirku, wahai wajah yang memberikan aku ketenangan jangan – jangan ini hanya mimpi.
“Put, kamu dengarkan apa yang barusan aku katakana.” Suaranya membuyarkan lamunanku
‘Iya.” Jawabku lemah
“Percayalah aku ikhlas membantu, kebetulan aku punya saudara yang bekerja di sini sebagai perawat. Ibumu hanya perlu dirawat 2 hari saja, karena lukanya tidak parah. Setelah itu Ibumu bisa dibantu sama Ibu minah tetanggamu yang sudah seperti saudara.” Aku mendengarkan kata – kata Edwin dari mana dia tahu semua tentang aku dan Ibu. Mataku tak lepas memandangnya, senyum itu begitu indah seandainya aku. Tapi aku tidak mau terlalu berharap akhirnya aku berdiri dan berkata
“Aku akan serahkan semuanya kepada Ibu.”
Aku berjalan menuju kamar rawat inap ibu, membuka pintunya dan melangkah menuju tempat tidur Ibu. Belum juga aku berkata – kata aku mendengar suara Ibu(Bersambung)