Monolog Badar | “Mabuk Maksud” #1

Fiksiana, YPTD0 Dilihat

Prolog “Mabuk Maksud”

Di zaman tehnologi serba digital, Badar masih saja mengetuk-ngetuk mesin ketik manual dengan sebelas jarinya. Badar menulis puisi dalam buku antologi puisi dengan mesin ketik bututnya. Badar bukan tidak ingin beradabtasi dengan tehnologi, baginya mengetuk-ngetuk mesin ketik, melahirkan musik alami yang lebih enak dinikmati.

Begitulah cara berpikir Badar, yang tergilas kemajuan peradaban, betapa sulit dia memaknai berbagai peristiwa yang terjadi, bahkan sebuah perdebatan pun tak dimengertinya apa yang dipersoalkan. Dia hanya melihat kalau orang-orang yang berdebat itu menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak perlu.

Bait-bait yang dia rangkai, tertatih-tatih dia tuliskan, sebelas jari yang dia gunakan tidak bisa mengimbangi kecepatan pikirannya. Kepulan asap rokok pun menghiasi ruang kamar, yang juga merupakan ruang kerjanya yang lusuh. Badar adalah penyair tua yang terus melajang sebagai pilihan hidup. Jangankan untuk menghidupi anak dan isteri, untuk menghidupi dirinya sendiri pun hanya dari berpuisi.

Mabuk laut atau mabuk minuman adalah biasa

Yang tidak biasa adalah mabuk maksud

Menjadi tidak mengerti maksud

Berpikir pada batas ruang sempit Berputar- putar pada maksud yang itu- itu aja

Perdebatan kehilangan makna

Penghamburan kata-kata mubazir lewat mulut yang berbusa

Mabuk maksud selalu ada dalam ruang baca

Dan ada juga dalam ruang sidang para jumawa

Yang selalu asyik degan pikirannya

Tidak peduli ada lawan bicara

Yang hanya diinginkan orang lain mendengarkan Ocehannya…

Mabuk maksud selalu membuat orang tersesat dengan pikirannya

Karena yang hebat hanya pikirannya

Ruang diskusi dijadikan ruang perdebatan yang gak ada juntrungannya

Pada kenyataannya pikiran yang dituangkan tidak tumpah Dimeja perdebatan, hanya mengisi ruang pikirannya

Sehingga semakin menjadi ruang yang sempit

Yang luas pun sudah dipersempit oleh pikirannya

Mabuk maksud membuat kata-kata kehilangan makna

Karena kata per kata tidak lagi dicerna

Dicampur aduk dengan syahwat kejumawaan Ingin dianggap mengerti tapi tidak memahami

Memahami tapi tidak dengan aqli…

Terkungkung dalam pandangan yang terbatas

Mabuk maksud membuat jiwa menjadi lelah

Hilang kemampuan mencerna dan Hilang jiwa yang bijaksana

Kejumawaan tidaklah membuahkan apa-apa

Tidaklah menambah pengetahuan…

Jakarta, 

Dari sudut perdebatan yang panjang.

Badar menuliskan catatannya tentang sebuah perdebatan yang tidak di mengerti kemana arah dan tujuannya. Yang membuat Badar lebih tidak mengerti lagi, mereka yang berdebat tidak senang mencari solusi dari apa yang diperdebatkan. Yang Badar lihat mereka cuma adu pintar, dan adu keakuan, tanpa mempersoalkan berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia

Badar adalah lelaki yang menghabiskan waktunya untuk mencari tahu apa yang di lihat, di dengar dan di bacanyanya. Namun Badar selalu gagal memahami semua itu karena keterbatasan pengetahuannya.

Dari hari kehari, Badar hanya menuliskan antologi puisi, bahkan dia sendiri tidak pernah tahu sampai kapan dia akan menyelesaikan buku antologi puisi tersebut. Badar selalu merasa, apa yang di dengar, di lihat, dan di bacanya, adalah puisi yang layak dia bukukan. Dia ingin dalam antologi puisi tersebut banyak peristiwa yang bisa dia tuliskan.

Badar ingin, apa pun yang dituliskannya dalam antologi puisi itu, adalah hasil kontemplasi, dari berbagai peristiwa. Antologi puisi itu akan terus dia tuliskan sepanjang usianya, selesainya antologi puisi itu, adalah juga selesai usianya. Dia ingin mengukur panjang usianya, dengan seberapa panjang puisi bisa dia tuliskan.

Badar tidak saja mabuk maksud terhadapa perdebatan, Badar juga mabuk terhadap berbagai hal yang dia dengar, lihat, dan juga yang dia bawa. Badar semakin hari semakin banyak yang tidak di mengerti, kecepatan pikirannya kalah pesat dengan perubahan zaman. Baginya zaman berubah sudah melebihi kecepatan berpikir manusia. Dia tidak tahu Kalau zaman ini berubah karena manusia.

Bagi Badar, dalam hidup ini kalau semua kita persoalkan, maka apa pun akan menjadi persoalan. Ada orang yang hidup berkecukupan, melompati waktu kewajaran, dan menggugah akal dan kewarasan, biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhan.

Kalaupun kita bisa, ya silahkan lakukan. Jangan bilang kalau hidup yang demikian bukanlah hidup dalam batas kewajaran. Mereka yang sanggup melakukan itu, tentunya sudah memikirkan resiko dari sebuah perbuatan.

Jalani saja apa yang menjadi tugas dan kewajiban. Hak dan hajat hidup orang lain jangan dipikirkan, apalagi dijadikan persoalan. Setiap kita sudah memiliki bagian, dan kelebihan yang mereka dapatkan jangan dilihat sebagai sebuah kesenjangan.

Tinggalkan Balasan