Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa, SE, MM
Jiplak menjiplak, bajak membajak, sudah dianggap biasa terjadi di dunia perbukuan sejak dulu. Bahkan soal ini pun sudah merambah ke bidang lainnya, sebut saja dunia perfilman, dunia hiburan, dunia artis, dan lain sebagainya. Bahkan di dunia maya pun yang namanya penjiplakan atau beken dengan istilah plagiat juga marak terjadi!
Bagaimana dengan nasib sebuah tulisan yang kita buat dengan susah payah: yang ketika kita posting di blog pribadi hanya sanggup meraup puluhan pembaca, namun ketika “idenya” dijiplak penulis lain dan diunggah di blog pribadinya justru berhasil meraih puluhan kali lipat jumlah pembaca?
Tentu rasa kecewa itu ada dan akan kita alami. Tentu di saat-saat seperti itu emosi kita tiba-tiba meluap tak terbendung. Mau marah rasanya serba salah. Mau menuntut tapi kita tak punya keberanian untuk mengungkapkannya kepada yang bersangkutan.
Bila tulisan yang kita buat ditayangkan oleh situs ternama dengan label “hak cipta” padanya, barangkali urusan gugat-menggugat bisa kita lanjutkan. Namun jika tulisan tersebut hanya kita terbitkan dalam blog yang sifatnya pribadi, maka yang biasa terjadi adalah pembiaran atas pelanggaran itu sendiri. Barangkali tak banyak yang bisa kita lakukan selain mengelus dada dan prihatin atas kejadian itu.
Jiplak-Menjiplak: Sebuah Budaya?
Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kita akan menemukan makna dari istilah “menjiplak” yang dimaknai sebagai kegiatan atau aktivitas mencontoh atau meniru (tulisan, pekerjaan orang lain). Dalam kamus ini pun kita akan menemukan padanan kata untuk istilah “menjiplak” yaitu mencontek yang berarti mengutip (tulisan dan sebagainya) sebagaimana aslinya.
Sebenarnya sejak berada di bangku sekolah dasar, kita sudah dibiasakan oleh Bapak dan Ibu guru kita saat itu untuk menghindari budaya mencontek ini. Tentu Bapak dan Ibu guru kita mempunyai alasan yang pasti mengapa kita diminta tidak melakukan perbuatan tidak terpuji ini.
Sebenarnya sejak berada di bangku sekolah dasar, kita sudah dibiasakan oleh Bapak dan Ibu guru kita saat itu untuk menghindari budaya mencontek ini. Tentu Bapak dan Ibu guru kita mempunyai alasan yang pasti mengapa kita diminta tidak melakukan perbuatan tidak terpuji ini.
Semua tentu ada hubungannya dengan masa depan kita masing-masing. Meski sudah bisa ditebak pada di saat kita masih kecil, sebagian anak ada yang beranggapan bahwa menyontek adalah solusi untuk meraih prestasi terbaik di kelasnya masing-masing. Meskipun sebagian siswa lainnya sangat menyadari bahwa menyontek adalah perbuatan curang yang tidak perlu dilakukan!
Jika sejak duduk di bangku sekolah dasar seorang anak sudah akrab dengan dunia menyontek, bahkan anak tersebut telah merasa enjoy dan menganggap bahwa aktivitas tidak terpuji ini sebagai bagian dari perjalanan studinya; maka sudah bisa ditebak bahwa kegiatan menyontek tersebut berlahan namun pasti akan tumbuh dan berkembang menjadi sebuah “budaya”!
Dalam KBBI disebutkan pengertian dari budaya, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Nah, demikianlah yang akan terjadi jika seorang anak telah terbiasa dan menganggap menyontek sebagai sebuah kebiasaan. Aktivitas yang tidak terpuji ini akan terus berlanjut ke jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi; bahkan tidak menutup kemungkinan akan tetap menjadi tradisi saat anak tersebut telah menjadi seorang mahasiswa di perguruan tinggi. Tak peduli apakah dia sedang menempuh pendidikan sarjana atau pasca sarjana. Karena baginya menyontek sudah dianggap sebagai “the way of my life”!
Imbas ke Dunia Kepenulisan
Jika seseorang telah terbiasa dan merasa enjoy melakukan aktivitas menyontek selama menempuh pendidikan di bangku sekolah formal; bukan tidak mungkin ketika telah menjadi seorang penulis, dia pun masih tetap dihinggapi virus “jiplak-menjiplak” ini!
Hanya berbekal rasa gengsi dan takut dianggap tidak mampu menulis, maka dia pun mengerahkan segala macam cara untuk mengatasi kekurangannya tersebut. Maka bisa jadi dia memanfaatkan mesin pencari Google untuk mencari sumber tulisan yang bisa dijiplaknya.
Setelah merasa menemukan tulisan dimaksud, jari-jemarinya akan segera bergerak untuk menyalin isi situs tersebut, melakukan modifikasi seperlunya, menggabungkannya dengan artikel-artikel lain yang kelihatannya mempunyai isi senada, membubuhkan judul baru, lalu mempostingnya di blog pribadi atau pada salah satu komunitas blog yang diikutinya. Beres!
Menjadi “Penulis Sejati” Jauh Lebih Menantang!
Jika aktivitas demikian terus berlanjut dan penulis yang bisa kita labeli sebagai “tukang jiplak” tersebut masih terus membuat artikel atau tulisan di blog atau komunitas blog yang diikutinya dengan cara demikian, apakah kita bisa menjamin bahwa si penulis tadi akan terus-menerus menjadi seorang “penjiplak ulung” di suatu hari nanti?
Secara sederhana, ada dua peluang yang akan terjadi di masa depan. Peluang pertama, si penulis akan tetap berada di relnya sebagai “tukang jiplak”. Dan peluang kedua, si penulis bukan tidak mungkin akan mengalami transformasi dan berubah menjadi seorang penulis sejati!
Sampai di sini para pembaca pasti ada yang mulai protes, “Lha, kok bisa seperti itu?”
Di dunia ini tentu tidak ada hal yang tidak mungkin. Analoginya seperti penulis yang awalnya kita labeli sebagai “penjiplak ulung” tadi. Sudah barang tentu, mereka-mereka yang tidak tahu-menahu mengenai sepak terjang asli si penulis tadi akan beranggapan bahwa penulis tersebut adalah benar-benar seorang “penulis sejati”; meskipun pada kenyataannya dia adalah seorang “penjiplak ulung” yang malang melintang di dunia blogger atau komunitas sejenis.
Namun jika dalam perjalanan si penulis tadi mulai mau belajar sedikit demi sedikit; maka bukan tidak mungkin dia pun akan menjadi insaf dan sadar akan kekeliruannya dan bertekad akan memperbaiki dirinya; maka di saat itulah si penulis akan mengalami transformasi hebat untuk menjadi seorang “penulis sejati”!
Boleh percaya, boleh juga tidak. Yang pasti, dunia kepenulisan sangat menuntut proses yang harus dijalani oleh seseorang yang mengakui dirinya sebagai seorang penulis. Jika proses ini lambat laun dapat mengarahkannya kepada jalan yang benar, maka sudah bisa dipastikan bahwa seorang penulis akan menjadi seorang penulis sejati di suatu hari nanti; meskipun pada awalnya dia berangkat dari dunia jiplak-menjiplak yang dianggapnya seru dan menantang itu.
Padahal yang terjadi sebenarnya adalah, menjadi seorang “penulis sejati” jauh lebih menantang!
Banjarmasin, 7 Februari 2021