Cerbung ini khusus persembahan penulis untuk mereka para mahasiswa. Namun juga untuk mereka yang masih berjiwa muda.
TIGA PULUH TUJUH
Kepastian Aini Mardiyah untuk kuliah di Australia semakin jelas. Pengajuan bea siswanya kepada sebuah lembaga pendidikan dalam Negeri mendapat tanggapan positif.
Nilai TOEFL, prestasi akademik dan referensi yang milik Aini Mardiyah memenuhi persyaratan untuk meraih bea siswa tersebut.
Impian Aini selama ini untuk meraih gelar Magister di Australia menjadi kenyataan. Tentu saja Aini merasakan kegembiraan yang luar biasa. Kabar ini sampai juga kepadaku dengan luapan rasa bahagia.
“Aini kapan rencana kepergianmu ke Australia?” Tanyaku sambil menatap wajahnya yang tampak ceria.
“Besok aku harus bersiap karena dua hari setelah itu ada intensif bahasa Inggris yang harus kuikuti selama tiga bulan sebelum mengikuti kuliah pada awal Agustus,” kata Aini.
Oh Tuhan hanya tinggal malam ini aku bisa bercengkrama dengan gadis ini dan setelah itu aku harus berpisah dalam waktu yang lama. Entah kapan dipertemukan kembali dengannya.
Malam itu kami duduk di teras depan. Suasana malam itu seperti berbeda. Kulihat Aini tidak ceria seperti biasanya. Wajahnya yang teduh yang selalu menjadi rasa damai hatiku, terlihat agak bermuram.
Rupanya disamping kegembiraannya meraih kesempatan kuliah di Australia, Aini masih menyimpan rasa gundah. Bisa saja Aini teringat kepada Iqbal Almarhum, calon suaminya yang meninggal dalam kecelakaan kapal feri di perairan Kupang.
“Han aku sebenarnya berat meninggalkan kota Bogor ini. Bukan apa-apa aku tidak terbiasa merantau. Di Australiapun nanti aku tinggal di rumah sepupu Papa yang sudah delapan tahun bekerja di Brisbane. Mudah-mudahan aku betah di sana,” kata Aini dengan suara pelan. “Aku jadi teringat mas Iqbal.” Suara Aini mulai tersendat. Sambil berkata seperti itu, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku harus tabah. Harus mampu melihat ke depan.” Kembali suara Aini seolah berkata kepada dirinya sendiri.
“In Sya Allah Aini demi kariermu dan demi masa depanmu kau pasti mampu untuk tabah,” kataku perlahan namun rasanya kalimat itu terucap seperti tersendat di kerongkongan.
“Han rasanya seperti mimpi malam ini ternyata malam terakhir kita ketemu karena besok aku harus pergi ke Australia. Besok aku dapat penerbangan malam pukul 20.00 WIB dari Bandara Soekarno Hatta.”
“Iya Aini. Rasanya seperti mimpi. Empat tahun bersama tidak terasa ternyata besok kita harus berpisah.” Aku merasakan ada rasa haru dari setiap perkataan Aini malam itu. Aku mencoba memandang wajahnya yang lembut terlihat ada garis-garis kesedihan.
“Hen. Aku berharap kau mau hadir mengantarkan kepergianku tapi jika tidakpun malam ini kita sudah ketemu. Aku hanya berharap doa darimu, agar aku diberi ketabahan karena aku merasakan begitu berat meninggalkan Bogor yang penuh dengan kenangan ini,” suara Aini perlahan hampir tak terdengar lalu aku melihat ada setitik air mata dipipinya.
Ilustrasi Foto by Pixabay.
Teman-teman bagi penggemar novel atau cerbung sila baca novel di bawah ini, klik saja tautannya.
BACA JUGA Kisah Cinta Jomlo Pesantren.
1 komentar