Dalam posisi seperti itulah baru mulai ada benih-benih keinginan Jamel untuk mendapatkan jabatan lebih dari sekadar guru. Harapan itu sudah mulai ada di hatinya. Golongan dan pangkatnya sebagai PNS juga sudah cukup mendukung, menurutnya. Pangkat dan golongan ini jelas menambah berkembangnya ambisi Jamel untuk lebih tinggi kedudukannya. Sudah bergolongan III C dia saat itu. Apakah ini perasaan yang biasa atau sesuatu yang berlebihan, tapi itulah yang mulai menjadi pikiran guru Bahasa Indonesia itu. Tidak lagi sekadar sebagai guru atau bahkan sebagai Wakasek yang saat ini sudah dalam tangannya. Kini sudah ingin lebih.
Sehari ke sehari, Jamel membayangkan, bagaimana meningkatkan karir lebih baik lagi. Salah satu yang dia tahu adalah dengan bekerja penuh semangat, bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Semangat dan kerja keras itu yang terus dia tunjukkan dalam mengemban tugas sebagai Wakasek Kurikulum. Dia jujur mengakui, ketika sebelumnya dia diberi tugas tambahan sebagai Wakasek Humas, dia bekerja asal-asalan saja. Dia menganggap jabatan itu hanya karena Kepala Sekolah terpaksa menunjuknya saja. Waktu itu belum ada guru dengan ijazah S1 kecuali mereka bertiga. Maharni dan Ali Anwar, dua temannya itu sudah memegang Kurikulum dan Kesiswaan. “Ini jabatan buangan saja. Hanya karena terpaksa saja,” katanya waktu itu.
Ketika salah seorang guru dengan struktur yang jauh berada di bawah daftar urut kepangakat (DUK) namanya diangkat menjadi Kepala Sekolah di salah satu SMP di Pulau Kundur, saat itu perasaan dan ambisi Jamel semakin terasa menggebu sekaligus tertekan. Dia malah merasa diabaikan oleh Kepala Sekolah. “Mengapa Said Usman yang tiba-tiba menjadi Kepala Sekolah.” Pertanyaan itu hanya di hatinya saja.
Sungguh tdak mudah menerima kenyataan teman yang namanya jauh di bawah malah duluan diangkat menjadi Kepala Sekolah. Perasaan bersalah dan selalu dipersalahkan di awal menjadi guru kembali muncul di perasaan Jamel. Ada rasa galau dan curiga di dadanya menerima kenyataan itu. Tapi Jamel mencoba untuk menerima saja. Sekurang-kurangnya untuk sementara itu dia tidak lagi menunjukkan sikap meberontak seperti awal-awal itu.
“Sebenarnya saya tidak mengubah cara dan sikap saya menerima kenyataan Pak Said Usman tiba-tiba diangkat menjadi Kepala Sekolah di SMP Negeri Prayun. Walaupun galau saya tidak akan menunjukkan sikap itu dalam bekerja.” Kini Jamel mencoba membuktikan kalau dia tidak lagi akan bersikap temberang. Dia tetap aktif dan bersemangat sebagaimana biasanya. Sebagai guru Bahasa yang mendapat tugas tambahan sebagai Wakil Kepala Sekolah, Jamel mempunyai tugas lain selain menjadi guru di kelas. Dia adalah pembina dan pengasuh Mading Sekolah yang setiap setengah bulan harus terbit edisi barunya. Pekerjaan ini tetap dilakoninya dengan baik seperti biasa. Pengangkatan Said Usman dicobanya untuk diterima saja.
Untuk pengelolaan Mading, itu Jamel menyediakan waktu setiap malam di tanggal 14 atau di akhir bulan. Dia mengajak anak-anak (para siswa) yang termasuk redaksi Mading untuk datang ke sekolah. Mereka menempelkan tulisan-tulisan baru untuk besoknya dibaca warga sekolah. Mading itu diterbitkan dua kali dalam setiap bulannya. Jika Mading baru terbit di tanggal satu atau tanggal 15 maka para siswa akan berebut melihat tulisan-tulisan yang keluar. Masing-masing siswa berharap tulisannya sudah naik atau sudah dimuat.
Selain urusan Mading, ketika menyusun jadwal pelajaran (baru) di awal cawu (catur wulan) atau semester Jamel juga ke sekolah. Bahkan terkadang dengan membawa anak-anak dan isteri untuk menyusun jadwal pelajaran. Jamel memang tidak mau menyusun jadwal pelajaran baru pada siang hari karena merasa terganggu oleh suasana sekolah. SMA Negeri Tanjungbau saat itu memang menggunakan sistem doubles shiif (pagi-siang) karena masih kekurangan ruang kelas. Pagi hingga siang, selalu ada siswa atau guru di sekolah. Maka Jamel datang ke sekolah pada malam hari. Nyaman menyusun jadwal, katanya waktu itu.
Intinya jamel tdak berubah dalam menjalankan tugas-tugas tambahan itu meskipun hatinya sebenarnya sedikit galau setelah salah seorang temannya sudah meningkat naik kariernya menjadi Kepala Sekolah. Tanpa melalui jenjang Wakasek pula. Bagamanapun ambisi ingin meningkatkan karier tetap ada di dada Jamel. Namun Jamel tetap mengingat pesan Pak Parjo, Kepala Sekolahnya waktu itu untuk tidak berharap menjadi Kepala Sekolah.
Bahkan ketika Jamel dipercaya menjadi Wakil Kepala Sekolah di ‘kelas jauh’ SMA Moro pada tahun 1993-1994, Jamel bersedia namun tetap memegang pesan Kepala Sekolah itu. Ketika di Moro Jamel berulang setiap pekan Tanjungbatu-Moro sebagai guru dan wakil sekolah Tanjungbatu di Moro. Tapi Jamel berusaha untuk tidak terlalu berambisi.
“Harus saya akui, perasaan saya sebenarnya berbeda dengan apa yang saya katakan. Saya sebenarnya sangat berambisi meningkatkan karier tapi itu harus saya redam sesuai pesan.” Konon, kata Supardjo, sebagai orang rantau kita tidak akan mudah bahkan mustahil bisa menjadi Kepala Sekolah di rantau ini. Jamel memang tahu kalau Said Usman berasal dari Sedanau, Midai, Daerah Kepualauan. Mungkin benar ucapan Pak Pardjo, katanya dalam hatinya.(bersambung)
Lanjutkan