Perjalanan Cinta Seorang Guru (11)

Kedudukan Jamel sebagai Wakasek Kurikulum sebenarnya telah membuka pandangannya tentang karier. Ya, karier seorang guru yang sejak awal tidak menjadi perhatiannya. Suatu waktu Kepala Sekolah menunjuknya sebagai Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Bidang Kurikulum. Wakasek yang dianggap bergengsi dari empat Wakasek yang ada di SMA. Tapi Jamel terpikir juga kalau jabatan itu didapatnya atas satu keadaan tertentu. Tidak semata karena prestasinya.

Suatu hari, di dalam satu rapat resmi, Maharni, salah seorang guru yang adalah teman Jamel yang menjabat Wakasek Kurikulum meletakkan jabatannya. Dia marah dan merajuk kepada Kepala Sekolah. Masalahnya adalah karena berbeda paham dengan pimpinan itu. Dalam rapat kenaikan kelas, salah seorang siswa menjadi perbincangan hangat dan menegangkan antara guru dan Kepala Sekolah.

Dua pendapat saling bertentangan, antara setuju menaikkan atau meninggalkan di kelas yang sama terhadap anak itu. Jamael ingat siswa itu adalah anak ‘keturunan’ yang memang sering tidak masuk karena kondisi kesehatannya. Siswa itu beberapa kali minta izin sakit karena berobat ke Singapura. Tentu saja banyak kosong daftar kehadirannya saat proses pembelajaran. Jika dihitung presentase kehadiran tatap mukanya tentu saja tidak cukup sesuai ketentuan.

Maharni yang merasa bertanggung jawab atas pembelajaran, tidak setuju siswa itu naik kelas dengan alasan persentase kehadirannya tidak mencapai target minimal yang ditetapkan ketentuan dalam kurikulum. Sebagai pemegang kurikulum Maharni merasa dia lebih berhak menentukan kenaikan kelas atas hasil belajar siswa.

Tapi Pak Pardjo, sang Kepala Sekolah sepertinya ngotot ingin menaikkan. Dengan berbagai argumen beberapa guru sudah mulai mendukung Kepala Sekolah untuk menaikkan siswa yang sebenarnya pintar itu. Hasil ujian semesternya sangat memuaskan walaupun dia sering tidak hadir tatap muka karena berobat itu. Seingat Jamel, lelaki dengan tubuh yang tinggi atletis itu (walaupun ada keluhan sakit telinga yang perawatannya di negeri jiran) memang pintar. Walaupun keturunan ‘mata sipit’ tapi tuturan Bahasa Indonesianya tidak pelat seperti kebanyakan lainnya. Jamel juga tidak keberatan kalau dinaikkan jika diukur dari kemampuannya.

Di pihak lain, Maharni tetap bertahan untuk tidak setuju siswa ini naik kelas. Menurut argumen Wakasek Kurikulum, aturan kehadiran minimal 90 persen tidak tercapai. Itu artinya dia tidak layak naik kelas. Tapi Kepala Sekolah tetap bertahan untuk menaikkannya. Sampai Kepala Sekolah menjelaskan bahwa itu menjadi tanggung jawab Kepala Sekolah. “Itu tanggung jawab saya. Saya pastikan tidak ada masalah kalau dia naik,” jelas Supardjo kepada peserta rapat.

Maharni tetap saja bertahan. Dan karena rapat memutuskan bahwa siswa bersangkutan naik kelas, maka Maharni langsung berdiri sambil membantingkan berkas-berkas yang ada di atas mejanya sambil mengucapkan, “Kalau begitu saya meletakkan jabatan.” Paarr, dia membantingkan map di tangannya. Kertas berserakan. Beberapa saat rapat kenaikan kelas itu agak terdiam senyap. Peserta rapat saling pandang. Tapi sesaat berikutnya Kepala Sekolah melanjutkan rapat. Perdebatan itu dianggap selesai. (bersambung)

Tinggalkan Balasan