JAMEL spontan mengangkat gagang telpon ketika telpon itu baru berdering dua kali. Kebetulan dia sedang berada di ruang tengah rumah semi permenen itu. Sambil berdiri menempelkan gagang telpon itu ke telinga kanan. Siapa yang menelpon, ya? Begitu pertanyaan di hatinya.
“Hallo?” Jamel mendahului menyapa.
“Asalamualaikum, Pak Kepala.” Terdengar suara dari seberang. Jamel merasa kenal suara itu. Tapi siapa, tanyanya sendiri.
“Waalaikumsalam, ya, Pak.”
“Lagi ngapa, tuh? Ini Pak Anwar, dari Dinas Pendidikan.”
“Iya, ya, Pak. Apa kabar? Semoga sehat selalu, Pak.” Jamel setngah terkejut karena yang menelpon adalah orang nomor dua di Dinas Pendikan Kabupaten. Dinas ini baru saja dibentuk sesuai terbentuknya Kabupaten Karimun sebagai Kabupaten Pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau.
“Pak Jamel, ada keinginan mau pindah? Pindah ke Karimun?” Pak Anwar tanpa banyak kalimat langsung saja menyampaikan maksudnya menelpon. Tentu saja Jamel terkejut. Hatinya berdebar.
“Alhamdulillah, terima kasih, Pak. Kecik telapak tangan, nyiru saya tadahkan, Pak.” Jamel spontan menjawab begitu. Dia sudah pejabat yang menelponnya itu. Bos paling atas adalah Pak Said Fauzul. Tentu ini sudah sepengetahuan Kepala Dinas Pendidikan itu, kata Jamel dalam hati.
“Mau jadi pengawas?” Terdengar Pak Anwar sambil tertawa.
“Insyaallah siap, Pak. Hanya saja, saya baru belajar memimpin di satu sekolah. Kalau boleh belajar lagi, saya ingin belajar lagi menjadi pemimpin sekolah. Setelah itu, kalau ada nasib jadi pengawas, saya lebih siap, Pak.” Jamel seperti lancar berbicara di telpon.
“Ok, udah ya? Siap-siap aja, kalau Pak Bupati menunjuk.” Lalu dia mengingatkan untuk terus bekerja dengan baik. Lalu dia mengucapkan salam, mengakhiri telpon.
“Iya, Pak. Insyaallah. Waalaikum salam.” Jamel serasa melayang badannya setelah menutup telpon itu. Dia langsung menyampaikan pembicaraan di telpon itu kepada isterinya, Tati.
“Jika Allah berkehendak, sesuai kehendak Bupati, kita akan pindah, sayang.” Begitu Jamel memberikan informasi kepada isterinya. Kita harus siap untuk berpindah lagi, katanya menambahkan.
“Alhamdulillah,” sahutnya pelan. Sesungguhnya sudah tidak pernah lagi Jamel membayangkan akan ada tawaran pindah tugas dari Moro ke Tanjungbalai Karimun setelah lebih dari sewindu di sana. Delapan tahun lebih di Moro, seolah terbiarkan. Begitu dia merasakan. Sebagai kecamatan yang paling terbelakang berbanding dua kecamatan lainnya, Jamel benar-benar menguatkan hati dan mentalnya untuk tetap bekerja dengan baik di sekolah itu selama ini.
Ada pameo waktu itu. Konon sudah menjadi kelaziman, para pegawai negeri yang mendapat tempat bertugas di Kecamatan Moro adalah orang-orang yang bakal ‘tenggelam’ seperti bunyi peribahasa, “Bak melemparkan batu ke lautan”. Sekali masuk ke Moro, selamanya akan tetap di Moro hingga pensiun. Tentu tidak termasuk para pejabat tertentu ke dalam imej masyarakat itu. Jamel sendiri yang sejak ditugaskan di Moro, mutasi dari SMA Negeri Tanjungbatu, 1994, hingga akhir 2001 itu juga seolah percaya dengan pandangan tidak resmi itu. Dia seolah memastikan kalau Moro adalah pelabuhan terakhirnya sebagai PNS. Itu sebabnya dia mulai membangun rumah.
Setelah begitu lama di Moro, Jamelpun sudah mempersiapkan diri untuk selamanya di Moro. Dia bahkan sudah mulai membangun rumah tinggal dan persiapan segala sesuatunya, jika benar-benar akan pensiun di kecamatan ketiga di kabupaten pemekaran, Karimun waktu itu. Jamel tidak lagi mau membuat pusing otaknya untuk berpikir pindah ke tempat lain. Jika harus mati di sini, itulah takdir dari atas, begitulah sikapnya waktu itu.
Mama sangatlah terkejut dia ketika mendapat pertanyaan begitu melalui telpon.Kini dia harap-harap cemas menanti apa yang akan terjadi ke depan nanti setelah telpon itu. Jika benar-benar akan dimutasi ke Ibu Kota kabupaten, itulah yang diharapkan oleh Jamel. Mungkin sudah terlalu lama saya di pulau yang terkenal banyak ikannya itu. Kita berserah saja kepada Yang Atas, katanya dalam hatinya.*** (bersambung)
Lanjut, Pak. Keren.