Aku berusaha meraih badan Intan, tapi tanganku ditepis Intan,
“Intan mau istirahat, Abang pulang saja. Jangan buat Ayah dan Ibu curiga. Intan mengatakan Abang lagi dinar luar, kenapa malah kemari.” Deg jantungku berdegup kencang mendengar penuturan Intan.
Sebegitu terlukanya Intan akan perbuatanku, ada yang berbeda dari diri Intan. Tapi aku tahu aku yang bersalah karena perubahan sikap Intan itu.
“Kapan datang Alfian, bukannya masih dinas luar. Pasti Intan menelepon mengatakan dirinya sakit, Intan masih saja kekanak – kanakkan padahal sebentar lagi sudah mau jadi Ibu.” Suara Ibu membuat aku dan Intan mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara.
Aku mengaruk kepalaku yang tidak gatal, tidak berani bersuara hanya cenggiran yang bisa aku hadiahkan untuk ucapan Ibu.
“Ibu tinggal dulu, obatnya Intan sudah datang pasti Ibu tidak dibutuhkan lagi.” Setelah mengatakan itu Ibu berlalu dari kamar Intan.
Suasan canggung terasa setelah kepergian Ibu, Intan memunggungiku setelah Ibu berlalu. Aku menghela napas berat. Memutar otak, berpikir apa yang harus aku lakukan untuk mengobati luka hati Intan atas perbuatanku.
Bunyi hp mengusik ketenangan yang menyelimuti kami, aku melirik dengan sudut netraku. Panggilan masuk dari Nita, rasa bimbang menyelimuti diriku antara mengangkat atau tidak panggilan dari Nita. Akhirnya suara hp berhenti karena tidak aku angkat, Intan sudah memunggungiku lagi.
Sekali lagi hp ku berbunyi, akhirnya dengan cepat aku menolak panggilan dan menggunakan mode diam supaya tidak menganggu kebersamaanku bersama Intan.
Perlahan aku mendudukkan badan pada tepi ranjang Intan, mengatur bicara jangan sampai Intan terluka lagi akibat lisanku, tanganku berusaha meraih lengan Intan, sekali lagi penolakan Intan dengan menepis tanganku dari legannya dan membentang jarak kami dengan mengeser badannya menjauhi tempatku duduk saat ini.
“Pulanglah Bang, fikirankan anak Abang jika Abang tidak memikirkan ketenangan Intan. Jangan dirinya menjadi tidak tenang karena Intan tidak tenang sekarang.” Nyeri menyanyat hatiku mendengar penuturan Intan, seperti tersayat pisau jagal yang langsung mematikan korbannya.
“Jangan bicara seperti itu Intan, Abang tahu besar salah Abang kepada Intan. Abang tidak meminta Intan memaafkan Abang dengan kalimat Allah saja memaafkan umatnya, karena Abang sadar kalimat itu malah membuat rendah Abang di mata Intan. Maafkan Abang karena Abang tulus meminta maaf kepada Intan, Abang sadar sedasar – sadarnya bahwa Abang tergoda kenikmatan dunia yang bernama wanita yang mengatakan cinta tapi setelah Intan meninggalkan Abang. Baru Abang tersadar bahwa tak ada yang tulus mencintai Abang selain Intan. Perhiasan yang terindah adalah istri yang sholehah, Abang tidak ingin istri lain selain Intan, kita pulang ya sayang.” Aku membalikkan badan memandang lekat wajah suamiku, mencari ketulusan dari ucapan yang dikatakannya.
Sebaik – baiknya rumah tangga, adalah saling memaafkan dan mengintropeksi diri, selama ini aku malu untuk mengucapkan kata cinta, walaupun aku menunjukkannya dalam bentuk perbuatan masih kurang ternyata untuk Bang Alfian.
“Intan mencintai Abang kerana Allah, maka minta maaflah kepada – Nya karena silaf Abang mencintai wanita lain selain istri Abang.” Ucapku lembut, memberikan senyum termanisku untuk suami yang aku cintai.
Bang Alfian merengkuhku dalam peluknya yang hangat, dalam hati aku berjanji akan selalu mengatakan cinta serta sayang kepadanya.***