“Ana uHibbuki” (5)

Ba’da Isya aku dan keluarga sudah siap – siap berangkat menuju rumah Balqis. Aku masih tersenyum mengingat bagaimana tadi sore ketika baru saja tiba di rumah.

“Assalamualaikum,” Suaraku mengema dengan lantang

“Walaikumsallam.” Tidak usah seperti di hutan Akmal Ibu memprotes suaraku yang memang ekstrim kuatnya

“Bu, malam ini bada’ Is’ya kita kerumah orangtua Balqis.” Ibu memandangkanku dengan tersenyum. Siap, mana sudah beli cincinya?

“Cincin? Apa perlu bu?”

“Mau menta’arup anak orang tapi tidak ada tandanya, Ayah lihat anakmu ini.” Suara ibu sempat membuatku panic

Aku melihat Ayah dan Ibu mentertawakan ekspresi bingung wajahku, Azam mangrib sudah terdegar Ayah sudah siap – siap mau ke masjid. Aku seharusnya juga ke masjid rutinitas setiap  magrib bersama Ayah dan Adiku. Tidak mungkin mencari cincin, habis magrib masih ada toko mas yang buka, batinku.

“Sudah sana magrib dulu kemasjid, Ayah dan Adikmu sudah menunggu.” Suara Ibu membuatku tersadar semoga Balqis mau menerima Cincinnya kemudian yang penting Bada’ Isya” aku datang dulu bersama orangtuaku. Tekatku sudah bulat, Balqis ku ta’arup dulu, cincin menyusul kemudian.

***

Perjalanan kerumah Balqis membuatku gelisah.

“Kenapa Bang, Cemas ditolak ta’arupnya.” Suara adikku sontak membuatku maran

“Doakan yang baik – baik dek, perkataan itu doa.” Ucapku dengan wajah kesal. Tangan Ibu langsung mencubit legan adikku yang duduk disebelahnya.

“Maaf bu, Cuma bercanda. Ya Allah semoga semuanya lancar, Amin.” Ayah terkekeh mendengar doa Adikku. Aku tahu Adikku masih mencandaiku.

“Sudah, banyak berdoa aja Bang.” Ibu menengahi.

Aku memberhentikan mobil Ayah, di depan rumah Balqis dan Ibunya. Membukan pintu mobil untuk Ibu dan mengandenganya menuju pintu depan rumah Balqis melewati kebun bunga yang sontak membuat ibu berkata

“Rumahnya asri Yah, lihat bunga tumbuh segar. Enak dipandang mata.” Aku melihat wajah Ibu yang terpesona dengan kebun bunganya Balqis.

“Iih… ibu jadi betah jika harus berlama – lama duduk diantara bunga ini.” Ibu masih berceloteh.

“Assalamualaikun.” Serentak kami mengucapkan salam

“Walaikusallam.” Suara orang dari dalam menyahut salam kami

Pintu terbuka, aku melihat wajah manis Balqis yang membukanya. Seperti bisa jika terkejut Balqis akan membulatkan matanya penuh. Aku tersenyum kepadanya sambil berkata

“Boleh masuk.” Dengan tergagap dia menjawab, silakan masuk Bu, pak

“Terus Abang tidak boleh masuk ni.” Aku menjahili Balqis

“Silakan masuk semuanya.” Suaranya masih gugup, aku tersenyum melihatnya. Ibu mencubit lenganku yang masih mengandeng tangan ibu

“Usilnya tidak habis – habis, nanti dia marah baru tahu.” Suara ibu mengingatkanku dengan tujuan kami datang kesini. Ya Allah semoga Balqis tidak marah dan mudah – mudahan tidak batinku. Takut juga sih jika sampai rencana ta’arupku gagal.

Kami sudah duduk diruang tamu bersama Ibu Balqis, karena kursinya tidak cukup Aku dan Adikku santai saja duduk di lantai beralaskan tikar.

“Maaf kursinya tidak cukup.” Suara Ibu Balqis

“Tenang saja bu, Anak – anak saya sudah terbiasa duduk dilantai.” Ucap Ibu dan Ayah bersamaan.

“Kompak ni ye” Usil adikku, membuat semua yang berada diruang ini tertawa, aku melihat Balqis menahan tawanya, malah menambah manis wajahnya

“Diliatin terus Bang, nanti bosan.” Adikku mencolek leganku sambil menunjuk Balqis dengan mulut monyongnya.

“Terus saja Usil.” Kataku sambil menjitak kepala Adikku.

“Lihat kakak, Bang Akmal sadis.” Adik sok akrab dengan Balqis, membuat semo rona merah di wajah Balqis. Untung suasana ini membuat Ibu Balqis dan Balqis agak tenang, daripada sewaktu menerima kami tadi ada raut cemas dan minder

“Maaf bu, Anak – anak kami usil.” Ibuku membuka pembicaraan

“Kami mewakili Anak kami Akmal untuk menta’aruf Anak Ibu.”

“Dan Maafkan jika kesannya mendadak bu, bukannya kami tidak tahu tata karma tapi aku melihat kesungguhan Anak kami Akmal untuk menta’aruf anak Ibu. Kami orangtua sangat mendukung keputusan Anak kami, dan kami percaya dengan pilihan Anak kami. Yang penting secara sariat islam dulu yang kita laksanakan jika ibu setuju kita langsung pernikahaannya dalam waktu 3 bulan baru kita adakan pesta dengan mengundang semua kerabat dan sahabat.” Suara ibu lancar, aku jadi terharu mendengarnya.

“Bu, kami bagaikan ketiban bulan ada yang mau menta’arup anak kami yang kurang dari segalanya. Tapi saya tidak bisa memberikan keputusan, yang akan dita’aruplah yang akan menjawabnya.

“Semua mata memandang kea rah dimana Balqis duduk di lantai sama denganku dan adikku hanya saja Balqis duduk diseberang kami.

Yang ditanya malah, berdiri dan masuk kedalam. Aku terpaku memandangnya. Ya Allah jangan – jangan Balqis menolaknya.

“Mati kau Bang, kenapa masuk ke dalam bukannya menjawab.” Pikiran adikku sama dengan pikiranku.

“Lho si manis kok malah masuk ke dalam.” Suara Ibu malah menambah cemasku

“Sebentar bu saya susul.” Suara Ibu Balqis terdengar

“Bang, benar nih Balqisnya sudah abang tanya mau di ta’arup.” Suara ibu membuatku cemas

“Sudah bu, tapi dia mau atau tidak Akmal tidak tahu.” Jawabku lemah

“Bang, Abang ini bagaimana masak belum di jawab sudah suruh Ayah dan Ibu datang.” Kesal Ibu

“Tapi kan, Ibu yang minta?” aku tambah bingung, Ya Allah Balqis kenapa pakai acara masuk ke dalam lagi batinku

“Maksud Ibu, tanya dan dengar jawabanya jika Iya bukan ditanya tapi tidak ada jawaban kita sudah datang.” Sesal Ibu lagi padaku

Aku mengaruk kepalaku, memandang Ayah meminta dukungan

“Abang yang salah,” bukannya mendapatkan pembelaan aku malah di salahkan Ayah.

Adikku hanya memandangku dengan wajahnya yang membuatku tambah takut, langkah kaki mendekati ruang tempat kami berada. Membuat kami mengalihkan semua mata kesana, aku melihat ibu Balqis dan dibelakangnya Balqis membawa mampan berisi teh dan goreng pisang yang masih hangat.

Setelah meletakkan gelas teh dan piring goreng pisang di meja, ibu Balqis langsung berbicara.

“Maaf bu ini saja yang bisa kami suguhkan, silakan dicicipi.”

“Maaf bu, tapi kami menunggu jawaban Balqis.” Kataku tidak sabar

“Bang yang sopan.” Ibu menyela perkataanku

Senyum Ibu Balqis melihat  Aku dan Ibu berdebat, Saya dan Balqis sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga ibu yang harmonis. Mohon bimbingan untuk anak kami yang masih belum dewasi ini bu.” Perkataan Ibu Balqis sontak mendapat jawaban Amin dari Ayah dan Ibu, sementara aku masih belum mencerna dengan jelas perkataan Ibu Balqis, setelah adikku memukul kuat punggungku dan mengatakan

“Alhamdulillah Bang, sebentar lagi ada kakak ipar yang sebenar pantas menjadi istriku jika di lihat umurnya. Betulkan Ma?”

“Enak saja, cari sana sendiri. Ini limited editon dan susah carinya.” Setelah aku sadar ternyata ta’arupku diterima.

Aku melihat Ibu mengeluarkan kotak cincin dari dalam tasnya, membuka kotak dan mengeluarkan cincinnya.

“Sini Anak manis, pakai ini sudah dibelikan sama Bang Akmal.” Sambil berkata begitu Ibu melirikku. Dengan gerakan bibirku aku mengucapkan terima kasih kepada Ibu, ternyata Ibu sudah menyiapkan cincin ta’rupku. Dengan malu – malu Balqis maju ke depan Ibu dan mengulurkan tanganya. Ibu memasukkan cincin di jari manis Balqis.

“Alhamdulillah ternyata cancan pas di jari Balqis, berarti jodoh padahal Ibu hanya mengira – gira saja.” kata Ibu .

Sekali lagi rona merah serta senyum manis dengan lesung pipit menghias wajah Balqis sambil melirik kearahku.

“Cie cie yang dilirik, pasti langsung tak bisa tidur  mala mini.” Sekali lontaran kata mengerjai aku dari mulut adikku yang usil Ibu dan Ayah serta Ibunya Balqis spontan tertawa dan semua pada memandangi wajahku yang aku pasti sudah merah padam karena malu. Tanpa ampun aku memukul punggung adikku

“Kamu itu ya coba mulutnya sebentar saja di tutup.” Sambil menatap jengkel

Tawa semuanya bukan berhenti malah sekarang Balqis juga mentertawakan aku, akhirnya aku juga ikut tertawa bersama mereka.

“Kami pamit dulu bu sudah malam, nanti kita akan melanjutkan perbincangan mengenai pernikahan anak kita.” Ayah memohon izin untuk kami pulang. Sambil berdiri aku meminta semua untuk mendengarkan satu kata yang ingin ku ucapkan dan semua harus mendengarkannya.

“Ana uHibbuki Balqis” kataku

“Apa artinya Bang?” Tanya si rese adikku

“Cari saja sendiri.” Sambil aku memandang kea rah Balqis calon istriku.***

 

Tinggalkan Balasan