Waktuku (1)
Bukannya aku menunggu tapi aku hanya menunggu waktu yang tepat yang sudah di atur oleh – Nya .
Semua pasti menginginkan yang terbaik, bukan berarti melepaskan semua yang di depan mata, klise tapi itu adalah kenyataan. Umur terus bertambah, tapi bukan berarti pemikiran seseorang akan bertambah matang dengan bertambahnya usia. Kepalaku akan penuh dengan semua yang dibicarakannya, sungguh aku tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang di katakana Umi, wanita setengah baya dengan bobot yang lumayan besar tapi paling marah jika dibilang gendut, mengingat itu senyum pasti akan tersungging di bibir manisku.
“Hana, jangan terus memilih nanti pilih – pilih tebu terpilih ujung tebu.” Umi selalu berkias jika berbicara denganku, aku mendengus kesal. Penulis boleh menjadi hobi yang aku suka, tapi aku paling anti jika Umi berbicara denganku dengan menggunakan kiasan.
“Umi, hana tidak suka tebu.” Ucapku acuh, sekilas aku melihat raut kesal di wajah Umi. Sungguh aku tidak menginginkan Umi kesal, tapi ah entahlah.
Aku tidak suka menunggu dan tidak suka ditunggu, tiba – tiba saja kalimat itu terlintas di kepalaku. Tapi siapa yang aku tunggu, tidak ada juga yang aku tunggu, aku mulai menulis cerpen di laptopku, kalimat demi kalimat tersusun rapi.
“Panas matahari pas di ujung kepala, rasa panas sudah membuat tubuhku mengeluarkan air yang baunya lumyan menyengat, hanya map yang berada di tanganku menjadi kipas untuk mengusir rasa panas.
“Ini barang anda.” Suara serak basah dan berat mengejutkanku
Aku melihat sepintas kearah kertas yang ditunjukannya
“Terima kasih.” Ternyata surat lamaranku terjatuh ketika mapnya ku jadikan kipas untuk mengusir panas.
Setelah itu sosok yang sungguh membuatku merasa ada cimestry dengannya berlalu meninggalkan sejuta pesona. Jika saja aku bukan tipe pemalu tentu sudah aku dekati dia.”
Aku menghentikan ketikan di laptopku, meringis membaca ulang apa yang telah ku tulis, seandainya hidupku bisa seperti cerpen yang ku tulis, tentu saat ini aku tidak akan sendiri.
“beberapa minggu kemudian, tepatnya hari pertama masuk kerja. Aku melihat lagi sosok yang memberikan getaran aneh. Dengan santai berjalan di depan mejaku sebagai resipsionis baru perusahaan.
“Pagi Pak.” Aku mendengar semua karyawan memberikan salam kepadanya, akupun akhirnya memberikan hormat yang sama kepadanya.
Sebelum memasuki lift, aku melihat sosok itu sekilas memandang kearahku dengan senyum tipis menawan yang membuat jantungku seakan melompat dari tempatnya. Ada sejuta rasa yang membahana di hatiku. Merah, kuning, hijau kenapa aku jadi menyanyikan lagu masa kecilku batinku. (bersambung)