Ada yang berbeda dengan Bang Dahlan, sekarang bagaikan makan obat saja buatnya, sehari tiga kali menelepon menanyakan kabar Dani padahal dulu jangankan menelepon, mengirim chat saja jika terdesak saja. Sekarang ada saja alasan untuk melakukan video call, yang membuatku tambah pusing jika Bang Dahlan menelepon pas jam aku mengajar, sebelum ku angkat akan terus berbunyi, jadi risih sendiri.
Hari ini aku sedikit lega setelah menelepon tadi pagi sebelum aku mengajar tidak ada telepon masuk dari nomor Bang Dahlan. Seperti biasa sebelum pulang aku mengemasi meja kerjaku, menyusunnya rapi, meraih tasku menuju pintu majelis guru.
“Assalamualaikum.” Suara berat menyapaku
“Walaikumsallam.” Jawabku dengan netra membesar.
Bang Dahlan mengendong Dani di depanku, Dani kecil melihatku dengan senyum khasnya sambil berusaha meraihku. Dani kecil kini beralih dalam dekapanku, menciumku seperti sudah lama tidak berjumpa.
“Ada apa sampai datang ke sekolah Bang?” ucapku
“Menjemput Mama, sudah waktu pulangkan?” aku terkejut mendengar ucapan Bang Dahlan.
“Hana bawa motor Bang.” Ucapku lagi
“Mana kuncinya, biar dibawa Udin saja.”
Aku melihat pesuruh sekolah berdiri tidak jauh dari kami, anggukan kepalanya kepadaku membuatku merasa malu, pasrah aku memberikan kunci motorku kepada Bang Dahlan.
Aku duduk di samping Bang Dahlan yang lagi menyetir, mobil Bang Dahlan berjalan membelah jalan menuju entah kemana, yang pasti bukan jalan menuju rumah.
“Mau kemana kita Bang?” ucapku
“Temankan Abang Makan, Abang belum makan siang.”
“Sudah jam dua lebih Abang belum makan?”
“Pas jam makan siang Mak menelepon, Dani rewel dari sejak Hana berangkat sekolah, jadi Abang menjemput dan mengajak Dani bermain dulu sambil menunggu jam Hana pulang sekolah.” Ucap Bang Dahlan panjang lebar. Tak butuh waktu lama, kami sampai di daerah costal area duduk di salah satu gerai makan yang menyediakan bermacam jenis makan dari makanan lokal seperti gulai asam pedas ikan, kangkung belacan, ikan bakar, tomyam dan banyak lagi. Aku memperhatikan saja ketika Bang Dahlan memesan makanan dengan bermain bersama Dani yang sesekali mengusap dan mencium wajahku membuatku geli sehingga tertawa. Setelah makan siang yang terlambat, kami pulang ke rumah.
***
Belum selesai aku melipat perlengkapan sholat, ketukan terdengar dari pintu kamar.
“Hana ada Dahlan di depan.” Suara Ayah terdengar
Tidak seperti biasanya Bang Dahlan datang, biasanya setelah Dani tertidur baru aku menelepon Bang Dani untuk menjemputnya.
“Sebentar Yah.” Jawabku sambil meriah jilbab sarung dan memakainya serta berjalan membuka pintu dan menuju ruang tamu, sebelumnya aku meletakkan bantal di kiri dan kanan Dani yang baru saja tertidur sebelum aku menunaikan sholat magrib.
“Dani baru tertidur Bang, mau dibawa sekarang.” Ucapku setibanya di ruang tamu.
“Abang nak bicara dengan Ayah dan Hana, boleh?” bukannya menjawab pertanyaanku malah bang Dahlan nak bicara dengan Ayah dan Aku membuatku sedikit merasa bingung.
“Hana panggilkan Ayah sebentar.” Ucapku sambil berjalan menuju tengah. Ayah duduk sambil menonton acara favoritnya.
“Ayah, Bang Dahlan nak bicara dengan Ayah.” Ucapku
“Ada masalah Apa Hana.”
“Hana tidak tahu Yah.” Ucapku sambil mengangkat bahuku tanda tidak tahu.
Aku dan Ayah beriringan berjalan menuju ruang tamu, senyum tersungging di bibir Bang Dahlan ketika melihat Aku dan Ayah tiba di ruang tamu. Aku duduk di kursi sebelah Ayah, di depan Bang Dahlan berbataskan meja tamu.
“Ada apa Dahlah, nampaknya penting sekali sehingga nak berjumpa Ayah tak seperti biasanya datang hanya menjemput Dani saja.” ucap Ayah setelah kami duduk berhadapan.
“Sebelumnya Dahlan minta maaf jika Dahlan salah dalam bertutur kata Pak Ngah.” Suara Bang Dahlan tegas, aku melirik ke arah Bang Dahlan kemudian aku mengalihkan lagi pandanganku ke bawah kakiku yang menjadi objek pandangan setelah duduk di ruang tamu bersama Ayah.
“Dahlan nak minta izin Pak Ngah untuk melamar Hanai menjadi Mama dan Istri Dahlan, jika Pak Ngah berkenan.” Aku langsung memandang Bang Dahlan lekat pandangan kami bertemu, sejenak kami saling tatap, aku bingung dengan perasaanku sendiri akhirnya aku kembali memandangi kakiku.
“Kalau Pak Ngah tak ada masalah, yang nak berrumah tangga Dahlan dan Hana. Bagaimana Hana bersedia menjadi Mama Dani dan Istri Dahlan?”
“Kalau Hana setuju, Abang akan meminta Mak melamar Hana secara Adat.” Suara Bang Dahlan lagi.
“Ayah.” Ucapku gugup
“Ayah terserah Hana saja.”
“A Hana.” Ucapku terbata
“Kalau tak mau, tinggal bilang saja, sepertinya Hana tidak setuju Dahlan. Mungkin kalian belum berjodoh.” Tanpa dosa Ayah mengucapnya
“Ayaaah, Hana belum menjawabnya lagi.” ucapku merajuk.
“Lama sangat Hana, biasanya kalau lama berarti tidak setuju. Hari dah malam, perut Ayah dah lapar biasanya habis magrib kita makan, ini dah nak masuk isyak.” Canda Ayah
“Cepat jawab, kalau tak Ayah anggap Hana tak terima pinangan Dahlan.” Sekali lagi Ayah berucap.
“Hana tunggu Mak Long datang meminang Hana.” Ucapku malu dan bergegas meninggalkan Ayah dan Bang Dahlan menuju kamar. Dani tidur dengan senyum yang selalu membuatku merasa bahagia, apakah bahagia ini akan terus menjadi milik kami, bukan hanya ucapan si kecil Dani saja tapi Ayahnya Bang Dahlan juga akan memanggil aku Mama, sungguh ajaib jalan cintaku. Bukan satu tapi aku mendapatkan bonus dari titipan cinta dari yang Maha kuasa untukku.***
Selamat Bu Siti Nurbaya sudah siap dibukukan kumpulan cerpennya.