Akhirnya Bahagia Itu Datang (akhir)

Terbaru18 Dilihat

“Ain, Abang salah. Maafkan Abang.” Lirihnya

“Dengarkan Abang, biarkan abang bercerita.” Napas beratnya terdengar

“Ingat enam bulan yang lalu ketika Abang pulang kerumah ada tamu.” Aku mengingat – ingat

“Ada Faizal.” Batinku.

“Abang mendengar percakapan kalian  berdua, abang menyesal sudah hadir di antara Faizal dan Ain. Abang selalu menjadi orang ketiga di antara orang – orang yang abang sayang. Abang di jodohkan dengan Kakak Ain, ternyata Kakak Ain juga mempunyai ke kasih hati sehingga dia tidak bisa menerima Abang menjadi suaminya, tapi karena tidak mau menyakiti hati Ayah menerima perjodohan kami. Cinta Abang tidak bisa membahagiakannya, dan akhirnya dia meninggal sewaktu melahirkan Syafa buah cinta Abang kepadanya tapi tidak dengan Kakak Ain.

Dan sekali lagi Abang harus terluka ketika ternyata Abang sekali lagi menjadi penghalang kebahagian Ain dengan Faizal. Karena itu Abang selalu tidur di mes kantor, karena Abang ingin menghilangkan rasa cinta Abang kepada Ain, Abang rela menceraikan Ais walaupun Abang tahu akan terluka karenanya, tapi abang ikhlas jika Ain bahagia. Abang janji setelah masa nipas Ain, Abang Akan menceraikan Ain.” Hembusan napas berat terdengar setelah Abang Adnan mengakhiri ucapannya.

Setetes demi setetes air mata jatuh dari netraku, ada sesak di dadaku tapi ada rasa lega mendengar penuturan Bang Adnan. Aku meraih tangan Bang Adnan dan menatap lekat netranya. Pandangan kami bertemu, aku melihat luka di sana.

“Bang, seharusnya Abang bertanya kepada Ain, bukan menerka – nerka isi hati Ain. Ain minta maaf jika abang hanya mendengar sebahagian percakapan Ain dengan Faizal. Faizal masa lalu Ain, tapi Abang masa depan Ain. Kisah kami sudah berakhir ketika Ain sah menjadi istri abang. Aku merangkul Bang Adnan dan menagis di dada bidangnya

“Maafkan Ain yang ternyata melukai Abang dengan menerima Faizal bertamu di rumah. Biarkan Ain tetap menjadi istri dan bunda anak – anak Abang. Biarkan cinta selalu ada di antara kita.” Ucapku seiring mengeratkan pelukkanku kepada Bang Adnan.

Bang Adnan meraup wajahku menatap netraku lekat

“Ain jangan memberi harapan palsu kepada Abang.” Ucapnya ragu tetap mencari jawaban dari netra mataku.

“Tak ada wanita yang mau memohon minta anak jika tidak mencintai Bang.” Ucapku malu

Ciuman di mata dan keningku, hangat menjalar di seluruh tubuhku. Seakan ada asupan vitamin yang luar biasa dari ciuman bang Adnan menghilang seketika semua rasa yang membenani jiwa dan ragaku. Pelukan hangat kami terhenti ketika aku merasakan sakit yang luar biasa di perutku.

“Abang perut Ain sakit.” Rintihku.

Bang Adnan mengangkat tubuhku, seakan aku hanya segumpal kapas Bang Adnan bergegas menuju mobil dan melarikan aku ke rumah sakit.

***

“Sakit Bang.” Rintihku sambil memegang erat tangan Bang Adnan

“Sabar sebentar lagi buah cinta kita akan lahir.” Ucapan Bang Adnan menambah kekuatanku untuk mengejan.

Akhirnya dengan susah payah, suara tangis anak kami terdengar.

“Sehat, ganteng seperti Bapaknya.” Ucap dokter

“Terima kasih sayang.” Baru pertama aku mendengar Bang Adnan mengatakan sayang kepadaku, ciuman hangat hadir di keningku.

Setetes air mata bahagia mengalir, sekali lagi ciuman mampir di mataku.

“Jangan menangis, sudah cukup Abang membuat Ain menangis.” Bisiknya di telingaku.

Akhirnya bahagia itu hadir, setelah malam – malam panjang aku bermunajat di sepertiga malam untuk kebahagian dalam rumah tanggaku.***

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan