Anak tak tahu di untung, pergi kau susah payah aku memberimu makan bukan untuk meminta balasan tapi belum bisa kau mencari uang sudah begini kau buat diriku. Lebih baik aku tidak punya anak daripada membuatku luka dan malu. Prak, bunyi piring kaleng jatuh menimpa lantai bersemen kasar. Sudah beberapa hari ini aku mendengar pertengakaran hebat dirumah sebelah. Rumah yang dihuni seorang bapak tua dan anak bujang tanggung yang duduk dikelas terakhir SMA.Bukannya aku menguping, tapi tempat tinggal kami yang hanya berbatas tembok membuatku mau tidak mau mendengarkan mereka bertengkar setiap harinya.
Aku yang notabene hanya ibu rumah tangga, selalu mendengarkan mereka berargumentansi keras. Bapak dan anak yang menurutku sama kerasnya, seperti pagi ini belum juga subuh menjemput aku sudah mendengar argument keras keluar dari rumahnya
“Aldi.” Suara serak si bapak membentak anaknya.
“menjelang subuh kau pulang, kemana perginya otakmu.” Emosi si Bapak tak terbendung
“Mau berhenti sekolah kau, bodoh macam bapakmu. Apa yang kau harapkan dari ijazah SMP mu. Jadi kuli seperti diriku.” Suara si bapak terdengar
“Cukup aku yang merasa susah tidak punya pendidikan, kerja serabutan gaji kecil. Ibu sampai tega meninggalkan kau yang masih kecil sehingga menetek dengan lembu dirimu. Tak kah kau mau berubah keadaan ini.” Si bapak mencoba menasehati anakknya.
“Kalau tanya kepadaku saat ini, apakah aku menyesal tidak sekolah dulu. Dengan tegasku menjawab iya. Aku menyesal.” Iba aku mendengar penuturan si Bapak.
“Kau tahu, sewaktu sekolah guru kelasku selalu berkata. Anak – anak biarkan orangtua kalian dengan nasib dan takdrinya. Kalian harus bangkit jangan biarkan apa semaunya berlalu begitu saja tidak, ingat hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Ayah masih malu sama diri Ayah sendiri jika mengingat bagaimana Ayah juga seperti dirimu sekarang ini, menggangap sekolah tidak penting, sadarlah.” Suara lelah si Ayah dari sebelah rumah, aku bisa membayangkan betapa kusut ekpresi wajah si Ayah.
Lama aku tidak mendengar percakapan dari rumah sebelah, aku jadi memikirkan bagaimana nasib anak – anakku kelak. Akankan mereka bernasib sama seperti Ayah mereka yang menjadi buruh dipasar yang rezekinya kais pagi makan siang, kais sore makan malam bagaikan ayam.
Menetes airmataku, beginikah nasib anak – anakku nanti.
“Aldi, kau dengar perkataanku.” Seperti gledek terdengar lagi suara dari rumah sebelah.
Tiba – tiba bunyi pintu dibanting sangat keras, aku sampai mengurut dada mendengarnya untung anak dan suamiku tidak terjaga atau mungkin sudah terbiasa sehingga menganggap bantingan pintu sebagai irama pengantar nyenyaknya tidur mereka . Jika pintu itu bisa berbicara aku yakin dan pasti dia akan berkata. Kau akan menyesal telah membuat Ayahmu kecewa. Sunyi mencekam, sekali lagi aku melihat wajah suami dan anakku mereka masih tertidur lelap.
Bunyi keras terdengar lagi dari rumah sebelah, bukan bunyi piring kaleng yang dilempar tapi lebih keras dari itu, hatiku menjadi kacau. Si Ayah yang sudah ku anggap sebagai orang tua membuatku cemas, keluh kesahnya selalu sampai ke telingaku jika Dia sudah merasa tidak mampu menampungnya sendiri, maka aku menjadi tempat tumpahan keluh kesahnya. Jika adikku masih hidup umurnya akan sama dengan anak si Ayah.
“Bang bang bang bangun.” Aku menguncang badan suamiku untuk membangunkannya.
Aku sangat khawatir dengan kondisi si Ayah di rumah sebelah.
“Ada apa sih, biarkan saja mereka.” Ucap suamiku masih mengantuk
“Tapi ini beda Bang.” Aku tetap kekeh
“Apanya yang beda, setiap hari juga seperti itu kata suamiku
“Bangunlah Bang, kita kesebelah sebentar. Hatiku tidak enak.” Aku mengutarakan perasaan hatiku
Dengan kesal suamiku bangun, melangkah ke rumah sebelah aku mengikutinya bagaikan anak ayam yang mengikuti induknya. Mengucapkan salam, tapi tidak ada jawaban dari dalam, suamiku meraih gagang pintu dengan nekannya tidak terkunci, mendorongnya sedikit pintu terbuka
“Astafirullah.” Suaraku dan suami bergema
Di depan kami terlihat bapak sebelah terbaring di lantai rumah, berlari mendapatkannya. Suamiku meletakkan jari di depan hidung si bapak kemudian memegang nadinya.
“Cepat telepon ambulance.” Perintah suamiku
“Tidak ada pulsa Bang.” Jawabku lirih
“Tunggu disini, abang ke rumah pak RT.” Ujar suamiku
Netraku berat, kantungnya sudah berisi airmata, pelan tapi pasti mulai meneteskan airmata. Ya Allah jangan biarkan anak – anakku menjadi seperti anaknya, banyak lagi doa yang ku baca hanya untuk meminta pada yang Maha Kuasa semoga mereka anakku menjadi anak yang sholeh dan sholehah menjagaku serta suami sampai ke usai senja.***