Cinta milik siapa saja, tapi mengapa cinta tidak pernah bisa jadi milikku. Airmata sudah penuh di netraku tapi aku tidak sanggup untuk menumpahkannya, tak akan kubiarkan airmata menjadi aliran sungai dipipiku. Biarlah tidak ada ratapan tangis airmata, aku pasrah mungkin cinta bukan milikku. Izinkan aku tidak merasakan sakit yang mungkin membekas dan akan meninggalkan parut yang mungkin tidak terlihat oleh kasat mata. Tapi siapa yang pernah patah hati akan tahu bahwa tandanya akan membekas dan tidak akan pernah hilang dan tetap berdarah.
Setiap pagi lorong sempit ini menjadi saksi bisu, aku melihatmu setiap hari tanpa berani menyapa apalagi mengajakmu untuk berbicara. Lihatlah betapa kau sombong dengan semua yang ada pada dirimu, padahal kita dari kasta yang sama. Hanya genre yang membedakan kita berdua. Aku dengan segala keterbatasanku, bergelar wanita walaupun setinggi apa sekolahku tetap saja aku tidak bisa dengan leluasa mengungkapkan perasaan hatiku padamu.
Apakah kau tahu aku ada, setiap hari kita bertemu tapi kau tidak pernah melihatku. Jangankan melihat, lirikan matamu saja tidak pernah menyentuh bayangku. Hatiku menjerit tapi suaraku tidak terdengar, aku benci lorong ini. Mengapa tidak ada jalan lain yang bisa aku tempuh sehingga kau tidak perlu menatapmu dengan segala resah di dada, tolong siapapun yang mendengar jeritan hatiku, tolong aku.
Pagi ini sekali lagi aku terpaksa melihatmu dengan separuh jiwaku bagaikan terbang dan tidak ingin kembali pada ragaku. Aku seperti bayangan yang mengikuti langkahmu membawaku, sapalah aku hanya sekali menandakan kau tahu aku ada dan hidup dalam dunia fana ini. Netraku lelah memandangmu, napasku sesak setiap berpapasan denganmu tapi apa dayaku kita pasti akan selalu bertemu di lorong sempit ini. Nanar mataku, melihat kau bercengkrama dengan mereka wanita lain selain diriku, senyummu lepas tanda kau sangat bahagia. Tapi hatiku remuk melihatmu bahagia bersama mereka bukan diriku.
Jika bisa aku membuat waktu berhenti, maka aku akan memberhentikan waktu dimana kau memberikan senyum manis. Ya …entahlah aku sendiri bingung senyummu itu untukku atau bukan.
Pagi itu, aku tergesa – gesa keluar dari rumah hanya karena ingin melihatmu walaupun otak dan hatiku berkata lain tapi aku tahu hatiku akan sakit setiap melihatmu tapi aku akan gelisah jika satu hari saja tidak melihatmu. Ku kuatkan diriku berjalan dilorong itu, hujan membasahi sebagian bajuku karena himbasan air hujan yang kena selasar. Aku melihatmu diujung sana berjalan dengan tidak memakan payung tapi ada sesuatu yang kau jadikan penutup kepalamu. Sementera aku diunjung lain membawa payung tapi aku tetap basah. Sama seperti hatiku yang selalu basah jika melihat kau dilorong ini.
“Basah ya dek, bawa payung tapi masih basah.” Ucapmu sambil tersenyum, aku jadi malu karenanya.
Ya Allah senyum itu, ya senyum untukku. Ada sedih dan senang karenaya, tapi akhirnya aku sadar aku merana hanya karena tahu kau hanya tersenyum karena melihat aku yang membawa payung tapi masih juga basah.
***
Waktu berlalu kita masih sering bertemu dilorong itu, semua perasaanku hanya untuk. Kadang aku membenci diriku yang begitu saja jatuh cinta padamu, padahal aku tahu kau jauh diawang tak mungkin aku bisa mengapaimu. Aku bagaikan kembang diranting kering yang tidak mungkin menjadi perhatianmu. Harumku tidak mengundangmu untuk menciumnya, aku sekali lagi kembang diranting kering yang akan layu tanpa kau sentuh, hatiku menangis dengan rindu dan sedih menjadi satu, hanya lorong sepi yang membuatku bahagia bisa melihatmu tapi tak bisa memilikimu.***
keren ueu