Awan berarak, tak tentu arah. Kakiku melangkah tak tentu rimbanya. Derasnya airmata bagaikan airbah yang melanda buana. Laut aku mencari laut, ingin aku tenggelamkan derita jiwa dan ragaku disana. Tiba – tiba aku mendengar suara mobil yang melaju kearahku, seketika itu juga aku hanya merasakan badanku melayang sepertikan terbang. Aku terbang, kini semuanya gelap aku tidak ingat apa – apa lagi.
Flashback
Dalam gelapnya suasana subuh, aku sudah terbiasa terjaga. Memandang sekilas sosok perkasa disebelahku yang tertidur pulas karena mengharuskannya pulang malam dalam 2 tahun kebelakangan ini. Selalunya kami akan sama – sama bertahujud dalam indahnya kebersamaan meminta yang terbaik darinya untuk rumah tangga kami semoga sampai ke jannahpun kami bersama, amin.
Perlahan aku menurunkan tubuhku dari ranjang milik bersama, aku tidak mau membangunkan tidurnya, aku takut sedikit suara akan membuatnya murka, ya murka. Aku sudah lelah mengajaknya untuk kembali seperti di awal tahun kebersamaan kami, tapi itu belum membuahkan hasil,
“Tidak bisa pelan.”menganggu tidur orang saja
Hardikan itu hampir setahun ini selaluku dengar jika tidurnya terganggu karena sholat malamku. Pernah sekali aku bertanya, apa yang menyebabkan dirinya selalu pulang malam akhir – akhir ini tapi jawaban yang kuterima sungguh menyakitkan.
“Jangan samakan aku dengan lelaki hidung belang, yang mencari kesenangan diluar rumah.” Bentakkanya membuat luka mendalam dihatiku.
“Semua aku lakukan untuk keluarga kita, aku bosan hidup miskin.” Lanjutnya berkata.
***
Tubuh yang masih terlena dialam mimpinya, aku hanya bisa memandangnya saja. tak ada keberanian untuk membangunkannya. Sudah hampir 1 jam aku memandang tubuh yang tidak lagi bisa aku ajak untuk bercanda dengan sejadah malam guna mendapatkan ridhonya. Lelah akhirnya aku berfikir lebih baik aku kedapur saja, netra ini tidak bisa aku pejamkan lagi. seribu tanya tapi tak ada jawabanya, lebih baik aku memulai aktivitas pagiku, walaupun jam baru menunjukkan pukul 3 pagi.
Melangkah lemah dapur yang kutuju tapi pikiranku buntu, memasak air untuk kopi susunya tidak mungkin terlalu lama kopinya menungtttgu. Membuat nasi goreng juga terlalu padi, dingin waktu dimakan sudah tidak enak lagi. akhirnya aku memutuskan untuk duduk di meja makan menompangkan kedua tanganku dimuka memandang lemah tak ada tujuan. Pikiranku melayang. Apakah nasib rumah tanggaku akan sama dengan cerita di TV, suami gila kerja banyak harta akhirnya mendua.
“Astafilullahalazhim,” aku mengucap.
Tidak ini tidak boleh terjadi, tapi apa dayaku untuk membalikkan kata – katanya saja aku tidak berani bagaimana aku harus menyadarkannya bahwa dirinya sudah jauh dari sang pencipta.
Entah karena lelah berpikir, akhirnya aku tertidur dimeja makan.
***
Suara geseran kursi membuatku terbangun, mengucek mataku mengembalikan separuh jiwaku yang masih di alam mimpi. Netraku menangkap sosok laki – laki yang bergelar suamiku, pancaran netranya membuatku bergidik. Pasti marah, akhirn – akhir ini dia selalu marah ada saja yang tidak kena, ada saja yang salah, batinku.
“Sudah bangun, bang.” Aku berusaha menenangkah jantungku yang berdegup kencang.
“Tidak nyaman tidur di kamar, sampai tidur di meja makan.” Katanya ketus
“Habis sholat malam tidak bisa tidur, kedapur mau buat sarapan kepagian. Jadinya tertidur.” Aku mencoba menjelaskan.
“Tidak usah masak, kita sarapan diluar saja.” ucapannya membuatku ternganga tak percaya.
“Sekarang bang?” tanyaku masih tidak percaya
“Iyalah…masak besok.”Katanya ketus, meninggalkanku menuju garasi.
“Cepat, bersiapnya tidak pakai lama.” Perintahnya
Aku berlari menuju kamar untuk siap – siap. Tidak butuh waktu lama, aku bukan tipe perempuan yang menghabiskan waktu lama untuk berdandan. Allah sudah memberikan kecantikan alami, cukup bedak tipis dan lipstick pink yang kupakai. Jilbab yang menambah kecantikan tidak lupa kupakai.. memandang sekilas penampilanku dikaca kemudian berlari berhampuran menuju garasi mendapatkan suamiku.
***
Selama perjalan, sesekali pandangan mata kami bertemu tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.
“Astafirullahalazhim.” Aku memekik teringat anakku tertinggal dirumah.
Suamiku sampai meminggirkan mobil mendengar aku mengucap,
“Ada apa.” tanyanya panic kepadaku
“Cahaya bang. Cahaya…Tertinggal di rumah.” Kataku gugup
“Masih tidur, kita hanya sebentar.” Ujarnya sambil menjalankan lagi mobil kami
Tak lama kami sampai di warung langgan semasa kami masih hidup susah. Aku memandang sekeliling tidak banyak yang berubah, tempat yang dipojok langganan kami masih kosong. Sambil meraih tanganku, kami berjalan menuju pojokkan.
“Mau makan apa?” tanyanya sambil memberikan senyuman yang sudah lama aku nantikan
“Nasi goreng kampung dan kopi susu encer.” Kataku, menu yang selalu kami pesan jika suamiku mendapatkan gajian.
Dia melambaikan tangannya kepada pelayan, memesan sarapan kami. Tatapan matanya memandangku penuh dengan cinta
“Maafkan abang selama ini lalai mengejar harta dunia.” Dia menjeda ucapannya
“Untung saja, istriku masih setia dengan sejadah dan mukenanya dalam shalat malamnya.” Ada kabut dimata perkasanya.
“Terima kasih sudah menjadi istri yang menyejukkan hatiku.” Katanya bergetar, membuat aku menitiskan air bening disudut mataku.
Tangan kasar itu meraih air bening yang belum sempat jatuh ketanah. Mengusapkan pelan sambil berkata
“Jadilah istriku untuk selamanya dari dunia sampai akhirat.”
Tak perlu emas permata, makan di warung seperti ini saja sudah membuat aku bahagia. Hilang sudah kegundahan akan hilangnya suamiku karena harta. Itu kenangan terakhir diriku dengan dirinya.
Mobil sialan itu entah kapan dia datang, tiba – tiba saja ia menghantam pojok warung tempat kami duduk. Tak aba – aba suamiku mendorongku sekuat tenaganya, membiarkan dirinya saja yang ditabrak mobil sialan itu, aku menjerit histeris berjalan menuju jalan raya mencari bantuan.***