Siapkah Indonesia Menghadapi Epidemi dan Pandemi di Masa Depan?

Sosbud234 Dilihat

Berolak dari pengalaman Indonesia hadapi epidemi HIV/AIDS dan pandemi Covid-19, siapkah Indonesia menghadapi epidemi dan pandemi di masa depan?

Jika langkah pemerintah di masa depan tetap seperti menghadapi epidemi HIV/AIDS di awal tahun 1980-an dan pandemi virus corona (Covid-19) sejak awal tahun 2020 yaitu dengan mengedepankan norma, moral, dan agama, maka nasib bangsa ini pun akan sama seperti ketika menghadapi HIV/AIDS dan Covid-19.

Padahal, penemu vaksin Covid-19 Oxford-AstraZeneca, Sarah Gilbert, mengatakan pandemi di masa depan bisa lebih mematikan (BBC News Indonesia, 6 Desember 2021). Lebih lanjut Gilbert mengatakan: …. (pandemi) yang terjadi berikutnya bisa lebih buruk. Kemungkinannya bisa lebih menular, lebih mematikan, bahkan dua kemungkinan itu bisa terjadi bersamaan.

Epidemi HIV/AIDS yang tidak ‘seganas’ virus corona saja kematian di Indonesia sejak HIV/AIDS diakui pemerintah (1987) sudah menelan korban sebanyak 24.000 (aidsdatahub.org). Sejak tahun 1987 sampai dengan Maret 2021 jumlah kumulatif HIV/AIDS di Indonesia mencapai 558.618 yang terdiri atas 427.201 HIV dan 131.417 AIDS. Kasus HIV/AIDS dilaporkan oleh 498 (97%) kabupaten dan kota dari 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Untuk itulah perlu kiranya belajar dari pengalaman (buruk) menangani epidemi dan pandemi, dalam hal ini HIV/AIDS dan Covid-19, sebagai bagian dari materi komunikasi publik pemerintah. Soalnya, selama menjalani epidemi dan pandemic informasi yang disebarluaskan pemerintah tidak komprehensif, terutama karena dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga mengaburkan fakta medis.

Seperti diketahui HIV/AIDS dan Covid-19 adalah fakta medis yaitu bisa diteliti di laboratorium dengan teknologi kedokteran untuk menemukan pencegahan, vaksin dan obat.

Memang, sampai Maret 2022 belum ditemukan vaksin HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Misalnya, sub-type virus (HIV) banyak yaitu A-O sehingga kalua ada vaksin untuk HIV sub-type A belum tentu bisa untuk HIV sub-type B dan seterusnya

Tapi, ada ‘vaksin sosial’ yaitu melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS, antara lain: menghindari perilaku (seksual) yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, tidak menyuntikkan Narkoba dengan jarum suntik yang dipakai Bersama-sama dengan bergantian, tidak menerima transfusi darah yang tidak diuji HIV dan tidak meminum air susu ibu (ASI) yang mengandung HIV.

Celakanya, kondom sebagai alat untuk menghindari perilaku (seksual) yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS justru dipolitisasi dengan pijakan moral dan agama. Hal ini disampaikan oleh (mendiang) Prof Dr Masri Singarimbun, pakar antropologi sosial serta ahli dalam bidang studi kepedudukan di UGM, Yogyakarta, dalam beberapa kesempatan wawancara dengan penulis.

Akibatnya, penolakan terhadap kondom pun meluas. Kondisnya kian runyam karena program penanggulangan HIV/AIDS antara lain melalui peraturan daerah (Perda) mengedepankan kondom dalam kondisi sosialisasi kondom yang tidak objektif karena dibalut dengan norma, moral dan agama.

Penanggulangan dan Perda AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand. Ada lima program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand yang dijalankan secara simultan dengan dukungan media massa. Kondom adalah yang kelima. Artinya, sosialisasi dijalankan agar masyarakat paham tentang kondom. Langka di Indonesia terbalik. Kondom di depan tanpa sosialisasi yang memadai yang akhirnya muncul penolakan dan dampaknya penyebaran HIV/AIDS seperti layaknya ‘bom waktiu’ yang sewaktu-waktu bisa jadi ‘ledakan AIDS.’

Begitu juga dengan Covid-19. Saya sering mendengar warga yang marah dan protes: Mengapa kita dilarang salaman!

Penjelasan sangat ilmiah tanpa fakta empiris sebagai realitas sosial di social settings. Disebutkan kalau di tangan ada virus corona, maka bisa menular melalui tangan, sepeti menggosok hidung, mulut dan mata.

Tapi, tidak ada contoh yang konkret yang dialami oleh banyak orang. Maka, larangan salaman itu pun akan jatuh ke ranah norma, moral dan agama.

“Aneh, masjid ditutup tapi mal dibuka.”

Nah, ini pun tidak ada penjelasan yang konkret berupa realitas sosial yang bisa menjangkau warga dengan latar belakang frame of reference (kerangka referensi) dan field of experience (jangkauan pengamalan) yang beragam.

Jauh sebelum ada vaksin Covid-19 sudah ada ‘vaksin sosial’ untuk menurunkan risiko tertular Covid-19 yaitu 3M (memakai masker, menjaga jarak dan sering mencuci tangan), tapi sosialisasi 3M terbentur karena di awal pandemic Covid-19 di Indonesia (cara) penularan virus corona sudah dibalut dengan norma, moral dan agama yaitu mengait-ngaitkan penularan virus corona dengan maksiat, dalam hal ini dansa.

Padahal, tidak ada bukti medis bahwa kasus pertama Covid-19 yaitu Pasien 01 tertular Covid-19 ketika sedang dansa. Close contact bisa saja dalam berbagai kegiatan, seperti ngobrol sambil ngopi.

Penjelasan pemerintah yang bisa jadi sumber terpercaya bagi setengah orang akhirnya menggiring opini bahwa virus corona itu menyebar melalui kegiatan yang terkait dengan moral. Akibatnya, sosialisasi 3M berhadapan dengan ‘tembok’ moral yang berujung pengabaian ‘vaksin sosial.’ (Sumber: tagar.id, 7 Maret 2022). *

Tinggalkan Balasan