Baru lima hari KM Sinar Bangun tenggelam di Danau Toba, Sumut pada pelayaran dari pelabuhan Simanindo (Samosir) menuju Pelabuhan Tigaras (Simalungun) pada tanggal 18/6-2018, KM Ramos Risma Marisi kecelakaan pula pada Senin, 22/6-2018, dalam pelayaran antara Muara Nainggolan (Samosir) dan Pulau Sibandang (Tapanuli Utara) yang memakan satu korban.
Instansi dan institusi yang terkait dengan keselamatan pelayaran di Danau Toba hanya sibuk mencari bangkai kapal yang karam dan berbicara di televisi, tapi tidak melakukan upaya-upaya yang konkret untuk mencegah kecelakaan terulang.
- Jaket Pelampung
Tragedi kapal karam di Danau Toba, sekitar 180 km arah Barat Daya Kota Medan, ternyata sebelum kecelakan KM Sinar Bangun sudah terjadi lima kali kecelakaan sejak tahun 1968, yaitu: KM Toba di perairan Muara dengan korban 30 (12/2-1968), kapal pengangkut korban 30 (30/3-1968), KM Sabar Ma Hita di perairan Tuk Tuk korban 5 (19/6-1975), tabrakan kapal di perairan Muara 12 korban (15/6-2984), KM Saor Nauli di perairan Pangururan dengan korban 30 (13/4-1980), KM Peldatari I di perairan Tomok korban 84 (13/7-1997) (Kompas, 21/6-2018).
Itu artinya instansi dan institusi terkait keselamatan pelayaran tidak menjadikan kasus-kasus kecelakaan itu sebagai pelajaran. Soalnya, sampai kecelakaan KM Ramos Risma Marisi, apakah syahbandar di pelabuhan asal kapal motor itu menerbitkan manifes dan mengeluarkan izin berlayar?
Sayang, rupanya wartawan pun lebih sibuk mengikuti kegiatan pencarian kapal sebagai pola liputan reaktif daripada mencari data dan fakta tentang standar prosedur operasi pelayaran di Danau Toba sebelum dan sesudah kecelakaan KM Sinar Bangun.
Ada beberapa hal yang jadi pertanyaan besar terkait dengan keselamatan pelayaran di Danau Toba, yaitu:
(1). Apakah semua perahu bermotor, kapal motor, kapal pesiar, dll. yang beroperasi di Danau Toba sudah mengantongi sertifikasi terkait dengan spesifikasi kapal, konstruksi kapal, jenis mesin, peralatan komunikasi, pelampung, dll.?
(2). Apakah awak perahu bermotor, kapal motor, kapal pesiar, dll. yang beroperasi di Danau Toba sudah mengantongi sertifikat keahlian sesuai dengan bidangnya?
(3). Mengapa tidak ada pengawasan terkait dengan batas muatan barang dan penumpang setiap perahu bermotor, kapal motor, kapal pesiar, dll. yang akan berlayar di Danau Toba?
(4). Apakah ada aturan baku tentang penggunaan komunikasi antara perahu bermotor, kapal motor, kapal pesiar, dll. yang beroperasi di Danau Toba dengan syahbandar?
(5) Mengapa tidak ada manifes tentang jumlah penumpang, jenis barang, dan nama penumpang di syahbandar?
Kalau diteruskan tentu saja pertanyaan ini akan bertambah. Yang jelas pemilik perahu bermotor, kapal motor, kapal pesiar, dll. yang beroperasi di Danau Toba ‘memanfaatkan’ paradigma berpikir sebagian besar orang yang tidak memahami risiko kecelakaan pada transportasi air. Hal ini terjadi karena memakai analogi ‘budaya darat’ ke transportasi ‘budaya air’.
Baca juga: Kapal Tenggelam di Danau Toba, Fenomena “Budaya Darat” vs “Budaya Air”
Yang paling tidak masuk akal adalah banyak orang yang merasa malu kalau langsung memakai jaket pelampung ketika naik transportasi air, terutama air tawar. Yang perlu disosialisasikan adalah memakai jaket pelampung adalah standar baku penumpang transportasi penyeberangan sehingga semua penumpang dan awak wajib memakai jaket pelampung.
2. Syahbandar
Konstruksi kapal-kapal motor yang beroperasi di Danau Toba dimodifikasi dengan menambah dua sampai tiga lantai (dek). Celakanya, penumpang memilih di dek dua dan tiga sehingga dek bawah kosong. Kondisi ini tentu saja mempengaruhi stabilitas kapal motor ketika berlayar. Yang perlu diperhatikan adalah kapal-kapal motor itu berlayar di air tawar dengan berat jenis (BD) 1 yang tidak efektif mengapungkan benda.
Kapal-kapal motor penyeberangan dilarang menyediakan ruang tertutup karena kalau kapal karam penumpang di ruang atau kamar tertutup akan sulit keluar sehingga jadi korban bersama kapal ke dasar laut, bendungan, dam atau danau.
Kondisinya kian runyam karena awak kapal motor tidak mengindahkan prakiraan cuaca karena mereka memakai pengalaman. Tapi, pengalaman mereka ternyata tidak berguna ketika berhadapan dengan cuaca buruk dan keserakahan pemilik kapal motor yang mengangkut barang dan penumpang melebihi kapasitas.
Maka, sudah saatnya di setiap perahu bermotor, kapal motor, kapal pesiar, dll. yang beroperasi di Danau Toba ditempel pengumuman tentang daya angkut: berat barang dan jumlah penumpang. Tentu saja pengawasan yang ketat yang tidak bisa dilawan dengan uang.
Sudah sepekan berlalu, tapi semua pihak hanya pada tahap orasi politis di media massa, terutama televisi tanpa langkah konkretnya ‘big nothing’ alias nol besar. Buktinya, kecelakan pasca KM Sinar Bangun kembali terjadi di perairan yang sama.
Apakah syahbandar di pelabuhan-pelabuhan yang ada di Danau Toba sudah melakukan sosialisasi kepada pemilik perahu bermotor, kapal motor, kapal pesiar, dll. yang beroperasi di Danau Toba serta masyarakat yang akan berlayar tentang manifes penumpang, karcis, pelampung dan daya angkut kapal motor?
Dari siaran-siaran televisi belum ada langkah sosialisasi dimaksud. Semua hanya berbicara dengan bahasa-bahasa normatif yang sama sekali tidak menyentuh upaya pencegahan kecelakaan pelayaran di Danau Toba.
Lalu, sampai kapan keselamatan penumpang diutamakan pada pelayaran di Danau Toba? Apakah harus menunggu, maaf, bisikan dari atas? (Kompasiana, 23 Juni 2018). *
1 komentar