2 Januari 2006. Jam di kantor di bilangan Pisangan Lama, Jakarta Timur, menunjukkan pukul 13.30.
“Papa, cepat pulang. Ada tuyul di rumah.” Itu suara anak saya melalui telepon, perempuan, ketika itu di kelas 3 SMP.
Apa? Tuyul?
Saya meminta Pak Haji, tetangga di bilangan RW 010 Kel Pisangan Timur, Jakarta Timur, untuk melihat anak saya di rumah.
“Ya, Bapak cepat pulang.” Ini suara Oneng, pembantu di rumah yang juga ikut menelepon saya.
Lima menit kemudian saya telepon Pak Haji. “Tidak ada apa-apa, Pak,” kata Pak Haji.
Saya pun lega dan melanjutkan pekerjaan.
“Aduh, Papa pulang. Sekarang.” Anak saya menelepon lagi.
Saya pun bergegas ke rumah.
Anak saya dan dua pembantu, Oneng dan Minah (dua-duanya dari Banten), sudah menangis di depan rumah.
Sebagian orang-orang lewat dan menonton mencibir dan mengejek karena mereka tidak percaya ada tuyul, apalagi di siang hari bolong.
“Awas, Pak,” kata Oneng sambil menarik tangan saya.
Ada apa?
Rupanya, Oneng bisa melihat salah satu dari tiga tuyul yang mengejar-ngejar anak saya dan dua pembantu itu. Salah satu tuyul melilitkan ular warna kuning di lehernya. Kakek Oneng rupanya ‘orang pintar’ di kampungnya.
Menurut Oneng ular itu hendak mematok saya. Itulah sebabnya dia menarik tangan saya.
Syukurlah, ada tetangga yang membantu dengan mantera-mantera, sedangkan yang lain menonton tanpa reaksi.
Saya telepon Pak Ajie di Banten. Di rumah ada garam yang dipakai, al. untuk mengusir makhluk halus.
Pak Ajie mencoba menghalau tuyul. “Pak, segera bawa mereka (maksudnya anak saya dan dua pembantu-pen.) ke sini (ke Cilegon, Banten-pen.),” kata Pak Ajie.
Rumah saya kunci dan anak saya dan dua pembantu saya bawa ke kantor dalam kondisi pucat-pasi dan gemetaran. Kunci rumah saya titip di tetangga.
Anak saya tidak bisa melihat tuyul-tuyul itu, tapi dia merasakan tuyul-tuyul itu dekat dengan badannya.
“Huh,” kata anak saya sambil menarik napas dan mengangkat bahu setiap kali dia merasa tuyul dekat dengan badannya.
Pukul 16.00 anak saya, Oneng dan Minah saya bawa ke rumah Pak Ajie di Cilegon, Banten.
Ternyata mereka bertiga sudah dirasuki tuyul. Sasaran utama saya, tapi anak-anak itu jadi sasaran antara.
Setelah ditangani Pak Ajie anak-anak bisa tidur pulas. Pagi hari kami kembali ke Jakarta. Anak saya tidak bisa bersekolah hari itu.
Persoalan baru muncul karena alasan ke Banten untuk ‘berobat’ tidak diterima sekolah. Akibatnya, anak saya dicatat: Absen.
Tuyul-tuyul itu sengaja ditempatkan di rumah sebagai ‘terminal’ yang dijadikan orang memelihara pesugihan berupa ‘buto ijo’ dan ‘nyupang’
Baca juga: Seri Santet #15 – Astaga, Kok Ada Monyet di Tempat Tidur .…
Hal itu sudah lama yaitu sejak ada yang disebut kerabata sebagai ‘ustaz’ yang dibawa keluarga dari Kota “S” di Jabar (1996). Disebutkan Pak Ustaz itu akan memasang pagar. Karena dipasang oleh ustaz saya tidak menaruh curiga.
Tapi, setelah saya ‘berobat’ ke beberapa orang pintar di Banten, Tasikmalaya dan Banjar barulah saya paham bahwa ‘pagar’ yang dimaksud Pak Ustaz itu adalah benda-benda terkait dengan santet.
Salah satu dari ‘pagar’ saya bongkar (1996). Dibalut dengan kain putih (ini adalah kain kafan mayat yang mati bunuh diri) berisi gabah, telur ayam, paku, beling, rambut, dll.). Bersamaan dengan itu diinapkan pula tiga tuyul di rumah (dua laki-laki dan satu perempuan) serta seorang perempuan yang juga orang halus.
Semula saya tidak mempersoalkan ‘pagar’ itu karena saya tidak pernah berpikir terkait dengan santet.
Tapi, setelah berobat ke orang pintar baru saya paham tentang arti dari ‘pagar’ itu yang ternyata merupakan terminal untuk memasukkan benda-benda ke badan saya dan anak saya. Saya dan dua anak saya dijadikan tumbal untuk pesugihan dengan memelihara ‘buto ijo’.
Selain membawa penyakit, membuat hawa panas di rumah, tuyul-tuyul itu pun menjadi perantara untuk mencuri uang.
Banyak orang, seperti Ketua RW 010, Kelurahan Pisangan Timur, Jakarta Timur, (alm) Pak Yadi, ketika itu yang mengatakan bahwa rumah saya itu pengap, gelap, dll. Saya lagi-lagi tidak pernah berpikir ke hal-hal gaib.
Setelah kejadian tuyul yang menyerang anak saya, Oneng dan Minah barulah saya memahami ‘skenario’ untuk mencelakai saya dan anak saya yang mereka jadikan sebagai tumbal agar pesugihan mereka terus langgeng.
Belakangan, tuyul dan setan yang ‘diindekoskan’ di rumah ditangkap oleh Pak Dadang, salah satu yang membantu saya.
Baca juga: Seri Santet #19 – Setan dan Tuyul “Di-indekos-kan” di Rumah
Tentu saja cerita saya ini akan dianggap oleh banyak orang sebagai kebodohan. Tapi, biarlah. Saya hanya berserah diri kepada YMK.
Orang boleh-boleh saja mengejek, menghina dan mencibir karena mereka tidak pernah merasakan betapa sakit jika jadi korban santet, apalagi masuk daftar tumbal. Yang memelihara pesugihan itu butuh 17 nyawa untuk tumbal agar kekayaannya terus bertambah seiring dengan pemberian tumbal. Putri saya tumbal nomor 9, saya nomor 10 dan putra saya nomor 11. Tapi, Alhamdulillah berkat bantuan orang-orang pintar dan izin YMK tumbal berbalik ke yang memelihara ‘buto ijo’.
Baca juga: Seri Santet #17 – Derita Lahir Batin Korban Santet
Saya yakin orang-orang yang menghina, mencibir dan mengejek korban santet jika kena akan merasakan penderitaan yang lebih berat dari saya: moral dan materi hancur berantakan.
Semoga orang-orang yang mencibir, mengejek dan menghina saya dibalas-Nya dengan kebaikan untuk diri saya dan anak saya serta bagi Oneng dan Minah (mereka tidak ikut saya lagi) (Kompasiana, 2 Januari 2014). *
Komentar:
Mabate Wae (3 Januari 2014) Hehehehe jualan santet.
Syaiful W. HARAHAP (3 Januari 2014) @Mabate, maaf, saya adalah korban santet sbg tumbal untuk pesugihan. Anda boleh saja mengolok-olok krn Anda tdk merasakan sakit dan pedih ketika jadi korban santet …..
ery anto (3 Januari 2014) saya percaya dan yakin kalau hal2 spt itu nyata adanya, krn saya harus percaya dengan hal2 yg gaib sebagai bentuk keimanan saya. dan itu adalah pekerjaan org2 jahat yg bekerjasama dengan jin/setan. 🙂
Mabate Wae (3 Januari 2014) Mungkin di rumah anda ada aliran air/kali bawah tanah atau bekas sumur air yang ditutup yang berdampak pada medan magnit/listrik pada yang org yg sensitif !
Mabate Wae (3 Januari 2014) Duh jangan gitu agh, gak baik menuduh bekas sumur tertutup (biasanya ada org yg mampu mencari mata air atau lokasi bor air dgn alat ranting berbentuk Y dll) tadi bisa ditutup sumurnya, atau arah tidur dirubah arahnya, karena anak anak /wanita sangat sensitif.. ini mah cuma saran, daripada kita sudah berburuk sangka pd seseorang padahal tidak ada apa apanya, malah menimbulkan sengketa dan bisa bikin penyakit lho (stress, dll). .
dwihariyadi (7 Januari 2014) Saya yakin orang-orang yang menghina, mencibir dan mengejek korban santet akan merasakan penderitaan yang lebih berat dari saya: moral dan materi hancur berantakan. Doa Bapak yang seperti ini membuat orang yang membaca tulisan Bapak jadi berpikir, koq bisa begitu sih????