Catatan: Langkah ini yaitu mengirim kembali “barang kiriman” ke orang-orang yang terlibat dalam pengiriman santet merupakan bagian dari upaya mencegah fitnah. Dengan pengiriman kembali akan bisa diketahui siapa-siapa saja yang terlibat dalam pengiriman santet. Penulis.
“Ada yang kirim santet!”
Inilah pernyataan, sebut saja Ny. X, tentang benda sebesar jempol jari kaki berbalut kain putih (ini kain kafan orang yang mati bunuh diri) yang ditemukan di tempat tidurnya (2008).
Mendengar kabar itu saya sujud syukur karena itu merupakan salah satu petunjuk terkait dengan sindikat atau gerombolan kaum musyrik yang mengirim santet ke saya dan putri saya sejak belasan tahun yang lalu.
Bu Haji (Pandeglang, Banten), Pak Markoi (Serang, Banten), Pak Haji (Kota Banjar, Jabar), Pak Dadang dan Pak Enjum (Kab Tasikmalaya, Jabar) dan Pak Ajie (Cilegon, Banten) selalu mengingatkan saya agar bersabar dan menerima semuanya dengan ikhlas.
”Pak, tenang saja. Jangan marah-marah. Nanti stroke. Kalau Bapak stroke ‘kan repot. Itulah yang mereka (komplotan pengirim santet-pen.) harapkan.” Inilah nasihat Bu Haji yang selalu disampaikannya jika saya berobat ke rumahnya.
Memang, ketika saya mengetahui ada kiriman santet setiap kali pulang berobat saya selalu marah-marah di rumah. Kesal karena tidak bisa dibuktikan secara hukum pengirim santet tsb. Celakanya, tidak ada satu pun dari pihak keluarga yang membantu saya. Mereka justru mencaci, mencerca dan menghina saya dengan menyebut saya sebagai orang bodoh dan musyrik.
Usul saya mengembalikan benda-benda yang dikirim ke dukun santet atau orang yang membayar dukun santet mereka, orang-orang yang membantu saya, juga menolak karena: ”Ya, itu sama saja kita dengan mereka. Musyrik.”
Tapi, ada yang punya pandangan lain yaitu mencari tahu dan membuktikan dugaan siapa(-siapa) saja yang terlibat dalam komplotan pengiriman santet ke saya.
Maka, kami sepakatilah salah satu benda yang ditarik dari rumah kontrakan saya di bilangan Petak Panjang, Pisangan Lama III, Kel Pisangan Timur, Jakarta Timur, dikirim kepada pihak-pihak yang terkait langsung, tanpa menyebut nama, dengan komplotan yang membayar dukun untuk menyantet saya.
Tapi, benda itu tidak akan mencelakai sehingga hanya sebagai tanda bahwa benda itu dikirim melalui ilmu ghaib ke saya dengan bantuan orang-orang yang menerima kiriman balik tsb.
Benda itu berisi bagian-bagian tubuh dan potongan pakaian saya dan bahan-bahan lain. Benda itu menjadi ’terminal’ bagi makhluk yang menjaganya untuk memasukkan benda-benda, seperti jarum, paku, padi, dll., bahkan binatang hidup ke tubuh, saya melalui perintah dukun santet yang mengirim benda itu.
Rupanya, Ny X ingin memanfaatkan ’penemuan’ tsb. untuk menunjukkan kepada tetangga bahwa dialah yang disantet.
Tapi, sekali lagi, Alhamdulillah, kabar tentang penemuan benda itu justru membuktikan bahwa Ny X terlibat langsung. Tapi, dia tidak menyadarinya bahwa benda itu yang justru sebelumnya mereka kirimkan ke saya. Rupanya, Ny X sudah dimanfaatkan oleh yang memelihara buto ijo untuk pesugihan sehingga semua yang dilakukannya terjadi di bawah sadar.
Tapi, yang jelas Ny X tahu persis dan menerima imbalan yang tidak sedikit karena mau menjadikan suami dan dua anaknya sebagai tumbal atau wadal untuk pesugihan.
Keterlibatan Ny. X, al. memberikan nama gadis (alm) ibu saya kepada dukun santet (jika sasaran santet laki-laki maka bin atau bintinya adalah nama gadis ibu kandung). Ny X bisa mengetahui nama gadis ibu saya dari saudara-saudara saya. Selain itu juga menyiapkan benda-benda yang saya pakai, seperti kaos kaki, CD, baju, dan bagian-bagian tubuh, bahkan, maaf, rambut kemaluan.
Untuk menguatkan ’penemuan’ itu dipanggillah tetangga dan Pak RT di lingkungan tsb. Dan, ini lagi-lagi menguatkan fakta keterlibatan ybs. karena benda itu adalah benda yang dikirimkan ke saya melalui dukun santet dari salah satu kota di bagian selatan Jabar.
Maka, guru mengaji anak-anak pun menjadi corong Ny X untuk meyakinkan bahwa ybs. justru korban santet. Kepada saya guru mengaji itu pernah mengatakan bahwa dia justru ragu siapa sebenarnya yang mengirim santet.
Padahal, guru mengaji itu tahu persis saya sering ke Banten untuk ’berobat’. Maka, dia pun sesumbar: ”Bapak jangan pergi ke dukun di Banten.”
Astaga! Saya tidak pernah ke dukun. Yang ke dukun justru komplotan yang menjadikan saya dan putri saya sebagai wadal atau tumbal untuk pesugihan.
Belakangan, putri saya mendapat kabar dari ibunya bahwa suami guru mengaji itu memakai susuk. Hal itu mereka ketahui ketika si suami sakit yang akhirnya meninggal.
Mengirimkan benda yang ditarik dari kontrakan saya ke komplotan yang membayar dukun santet tidak sulit karena sudah ada ’jalur’-nya yaitu dengan memberikan ’umpan’ kepada makhluk halus yang semula membawa dan menjaga benda itu. Saya hanya perlu menyediakan minyak Turki sebagai ‘bahan bakar’ untuk mengirim balik benda tsb.
Ini salah satu cara membuktikan siapa saja yang terlibat dalam suatu permufakatan jahat, dalam hal ini mengirim santet. Penyelidikan dan penyidikan bisa dilanjutkan melalui isi benda tersebut , tapi hukum di Indonesia tidak bisa menjangkau lim ghaib (Kompasiana, 11 Agustus 2013). *