Pagi itu, Sri melepaskan penatnya di taman. Ia memetik berbagai sayuran yang masak atau telah tua dan ia simpan di kulkas. Tak lupa Sri juga merawat tanaman obat seperti jahe, kunyit, kencur, temulawak, jeruk nipis, sereh, dan tanaman lainnya.
Ia sedang mencabuti rumput di sekitar tanaman ketika tiba-tiba saja ia mendengar teriakan pak Rahmat.
“Nduk… Sri!!” Tergopoh-gopoh pak Rahmat menghampiri.
“Den Yanto melihat Pardi di bank dekat pasar. Ayo cepat kita kesana bareng Den Yanto saja. Pakai mobil!” jelas Pak Rahmat ngos-ngosan.
Sri terhenyak. Mas Pardi di bank? Tanpa pikir Panjang ia segera mengikuti pak Rahmat. Rupanya Yanto telah menunggu di seberang jalan.
“Ayo, Dek. Segera! Semoga kita bisa menjumpai Mas Pardi. Banyak hal bisa ia jelaskan sebelum kita gegabah melangkah,” ujar Yanto bijak.
“Njih, Mas. Maaf saya malah merepotkan Mas Yanto dan Pak Rahmat,” Sri tak henti bersyukur Allah mengirimkan orang-orang baik ini untuk menolongnya.
Sampai di pertigaan depan bank, mas Yanto menghentikan mobilnya. Ia mengamati sekitarnya.
“Kita berhenti di sini, kalian di dalam mobil ini saja. Aku yang akan masuk ke dalam dan sebisa mungkin kubawa Mas Pardi ke sini menemuimu, Dek Sri.” Jelasnya.
Sri hanya dapat mengangguk. Bersama Mas Yanto ia merasa tenang, seolah semua masalah bisa diatasi. Ia mengamati punggung tegap itu berlalu. Hampir satu jam berlalu, Mas Yanto tak kunjung datang. “Ya Tuhan, semoga saja ia berhasil bertemu Mas Pardi.” Sri berharap cemas.
Sri hampir melotot ketika melihat mas Pardi keluar bersama pria setengah baya bule sambil tersenyum lebar. Tampak Mas Pardi menggendong tas ransel andalannya dan menjabat erat tangan turis itu dengan senyum bahagia. Di saat yang sama Mas Yanto muncul di belakang mereka. Setelah turis itu berlalu, Mas Yanto menepuk bahu Mas Pardi. Lama mereka tampak diskusi serius. Setelah itu, Mas Pardi tersenyum dan mengikuti Mas Yanto menuju mobil.
Jatung Sri berdegup kencang. Ia gugup. Perasaan marah, kesal, sekaligus rasa sayang memenuhi rongga dadanya.
“Saya harus bagaimana, Pak Rahmat?” Sri bimbang.
Pak Rahmat meremas bahu Sri. “Jika ia menjelaskan dan meminta maaf, maka maafkanlah ia, Nduk.” ucap Pak Rahmat bijak.
Mas Yanto membuka pintu mobil. Ia memberi kode pada Pak Rahmat agar keluar, sebagai gantinya ia meminta Mas Pardi masuk ke dalam mobil. Sri pucat. Ia menunduk semakin dalam ketika mas Pardi duduk di sampingnya.
“Sri…” sapa mas Pardi. Sri menoleh. Menatap satu-satunya keluarganya yang tersisa itu dengan menahan gejolak berbagai rasa.
“Maaf, aku telah membuatmu cemas. Aku bahkan begitu pengecut tak berani pulang. Aku memiliki hutang besar, 50 juta. Aku membeli lukisan, Sri. Hendak kujual lagi agar aku mendapat keuntungan besar. Aku tertipu. Ternyata lukisan itu palsu. Aku lantas memutuskan untuk tidak pulang sebelum mendapatkan jalan keluar,” ia berhenti dan menatap tajam Sri.
Sri menghela nafas, mencoba mencerna semua informasi ini. “Lalu, mas Pardi dapat jalan keluarnya? Kita hampir kehilangan segalanya, Mas. dan semua itu begitu berharga. Taman ibu…” Sri terisak. Ia sudah tak bisa menahan kesedihan yang selama ini ia pendam.
“Sri… tidak bisa melepaskan taman ibu. Itu amanah bapak dan ibu kita. Kita harus tetap menjaganya, Mas. Kita….” Sri kalap.
“Kita akan terus menjaganya, Sri! Aku janji!” Ucap Pardi lantang. Sri terdiam. Ia ternganga tak mengerti.
“Bagaimana caranya, Mas? Sertifikat rumah itu sudah Mas Pardi berikan pada orang itu. Jika kita tidak menemukan cara, Mas Yanto dan Pak Rahmat begitu baik bersedia membantu. Tapi Sri tidak ingin merepotkan mereka,” Jelas Sri.
“Allah telah membentangkan takdir ini di hadapanku, Sri. Mungkin untuk membuatku bertaubat. Alhamdulillah, percaya atau tidak aku telah berubah. Kau tahu? Mukjizat Allah telah tercurah padaku dengan mendatangkan turis itu tadi,” Senyum Pardi melebar.
“Maksud Mas Pardi?” Sri bingung.
“Turis tadi rela membeli lukisan Nyi Roro Kidulku yang sering kau ledek itu dengan harga sangat fantastis. Lukisan itu mistis menurutnya, membuatnya jatuh cinta pada mitos dan budaya Indonesia,” Saking senangnya, Pardi meremas bahu Sri, gemas.
“Cukup untuk membayar hutang Mas Pardi?” Tanya Sri ragu.
“Lebih dari cukup!” Jawabnya tegas disertai seringai khas mas Pardi.
“Setelah membayar hutang, aku masih mengantongi 10 juta, Sri.” jelas Pardi haru. Matanya memerah.
“Ini mukjizat. Allah menyayangi kita lebih dari yang kita kira.” Tak kuasa menahan rasa syukur, Pardi merengkuh Sri dalam pelukannya dan tersedu-sedu.
“Ayo, Sri. Kita bawa pulang sertifikat ini. Kau boleh menyimpannya. Aku sudah mengambilnya dari Jo di bank tadi. Aku janji akan lebih berhati-hati,” Pardi menyerahkan berkas itu ke tangan Sri.
Sri tersenyum lebar. Pardi membuka pintu mobil dan melambai pada Pak Rakmat dan Mas Yanto. Mereka pun memasuki mobil itu kembali. Sri memandang Mas Yanto dengan tatapan penuh terimakasih. Pak Rakmat tak henti-hentinya mengucap syukur.
“Pak Rahmat, sepertinya sebentar lagi taman itu akan menjadi taman cinta, Pak,” ujar Mas Pardi sambil mengerling pada pak Rahmat. Pak Rahmat yang tanggap langsung mengacungkan jempolnya.
“Waaah…. kalau itu sih Pak Rahmat senang sekali dan merestui,” goda pak rahmat pada Sri.
Yanto tersenyum penuh arti. Ia bersyukur masalah Sri terselesaikan dengan baik atas ridhoNya. Diam-diam ia melirik Sri melalui spion tengah mobil, yang entah bagaimana agak miring ke arah tempat duduk Sri di belakang. Rasa itu tak bisa ia pungkiri, dan ia tak ingin lari.
“Jadi, Kapan saya dan orang tua saya boleh berkunjung ke rumah Mas Pardi untuk melamar Dek Sri?” Ujar Yanto tanpa tedeng aling-aling yang sontak membuat semua orang di mobil itu ternganga kemudian tertawa. Kecuali Sri yang begitu merona sembari menyembunyikan senyum bahagianya dengan telapak tangannya.
“Alhamdulillah, Sri akhirnya dapat bersanding dengan pujaan hatinya,” ujar Pardi lantas tertawa, sebelum beberapa cubitan di lengan menderanya.
Yanto tersenyum lega, “Alhamdulillah, semoga Allah ridho,” ujarnya sebelum mulai menjalankan mobilnya ke arah taman cintanya.
SELESAI