Bapak tidak hanya mengajariku bersabar. Ia juga mengajariku bersyukur. Meski jumlah anggota keluarga banyak, kami masih bisa makan secara teratur, Itu artinya diberikan cukup rizki oleh Allah swt. Bapak juga mengajariku untuk bisa kreatif memanfatkan apa yang ada untuk memenuhi kebutuhan kami. Misalnya saja kami butuh sapu. Maka bapak tidak akan menyarankan kami untuk membeli, ia meminta kami untuk membantunya menyisiri lidi, memisahkan lidi dari daun kelapa yang sudah tua, kami menyebutnya dengan istilah Blarak. Jika lidi dari blarak sudah terkumpul banyak, maka bapak akan mengikatnya dengan so, semacam hasduk besar dari anyaman kulit luar tangkai blarak. Pada bagian tengahnya, bapak akan menyisipinya dengan tongkat kayu. Sehingga sapu lidi yang dihasilkan kokoh dan bagian bawah bisa mekar terbuka. Jika sapu tidak bisa terbuka atau kempel jadi satu maka akan sulit digunakan untuk menyapu.
Bapak juga mengajari kami untuk membuat sapu seblak dari janur, lidi dari daun kelapa yang masih muda berwarna hijau. Sapu seblak membutuhkan lidi yang lebih lentur. Sebab seblak digunakan untuk menyapu kotoran yang lebih lembut, seperti debu dilantai. Sehingga kami pun seharian akan membuat dua macam sapu, yaitu sapu lidi dengan tangkai atau kami menyebutnya sapu garanan untuk di halaman rumah, dan sapu seblak untuk di dalam rumah. Semua itu dibuat tanpa biaya, hanya butuh tenaga, kesabaran, dan kreativitas saja.
Bapak juga telah mengajari kami beternak, bertani, dan berkebun. Kami memiliki beberapa jenis hewan peliharaan, seperti angsa, itik, ayam kampung, bebek, dan kucing. Kami memiliki sebuah kendang besar yang dibuat dari tumpukan batu bata dan kayu bakar di bagian belakang rumah. Di atas kandang besar tersebut terdapat tumpukan kayu bakar dan sepet yang tinggi hampir menyentuh atap. Semua unggas peliharaan kami masuk di dalamnya. Campur jadi satu. Hehe… dulu kubayangkan pasti seru di dalam sana. Beragam unggas bercengkrama menghasilkan irama suara yang beraneka rupa kala pagi menyapa. Aku paling suka bagian membuka kandang ketika pagi tiba. Wuzz…. bagaikan parade unggas yang berebut menyerbu keluar kandang. Kakakku bagian mengambili telur unggas di dalam kandang sana. Saking besarnya, kakakku bisa berjalan membungkuk di dalamnya mengambili telur-telur itu untuk dimasak.
Beranjak remaja, bapak mulai mengajari kami tentang ilmu agama. Bapak sering memintaku membaca banyak buku agama yang dipinjamnya dari madrasah tempat ia bekerja. Bapak juga memberi kami tantangan adu cepat membaca Al Qur’an. Bapak tak pernah jera mengajak kami sholat berjamaah di mushola kami.
“Imanmu yang akan menjadi pelindungmu di kemudian hari,” pesannya.
Hingga aku beranjak dewasa, bapak tak pernah berubah. Ia masihlah bapak yang senantiasa menularkan banyak ilmu pada anak-anaknya. Bahkan setelah sepeninggal ibu sejak aku berusia 10 tahun, bapak masihlah sosok ayah yang sabar, ikhlas, dan legowo. Ia tak ingin menikah lagi. Ia mengabdikan hidupnya untuk anak-anaknya. Satu per satu dari kami menikah dan meninggalkannya tetap tinggal di rumah tua kami bersama adikku, anak ragilnya.
Tubuhnya yang kian renta tak membuat kehebatannya memudar. Hingga tahun 2012, sepulang haji, tubuhnya semakin rapuh. Allah pun lebih menyayanginya. Allah memanggilnya. Kami harus ikhlas melepaskan bapak tercinta kami. Kini, di tahun 2021 ini, ketika jemari ini menari di atas tuts laptop menguraikan kisah tentangnya, aku masih saja merindukannya. Sejak kepergian bapak, banyak hal seolah hilang dariku. Ia tiada disaat aku sedang membutuhkan banyak ilmu darinya untuk menjalani profesiku sebagai guru Bahasa Jawa, Mata pelajaran tambahanku dulu di samping tugas pokokku sebagai guru Bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Bantul.
Namun segala hal yang kuperoleh darinya kini sedikit demi sedikit kuajarkan pula pada anak didikku di tempat yang sama ia mengajar dulu. “Gurunya Guru” julukan itu sepertinya cocok untuknya. Semoga segala ilmu bernilai jariyah ya, Pak. Aamiin.