Hari itu berlalu demikian cepat. Bel jam pelajaran terakhir terdengar sudah. Sebelum memasuki ruang guru, aku berbelok ke arah parkir, hendak mengambil bekal makan siangku. Langkahku terhenti di lobi. Kulihat Khasna duduk sendiri memeluk sebuah gitar. Dahiku mengernyit. Lho itu kan gitar yang tadi dipakai Arifin? Pikirku. Perlahan aku melangkah menuju Khasna, sembari mengukur situasi. Jangan sampai kehadiranku membuatnya panik atau terganggu. Namun rupanya ia sedang dalam suasana hati nyaman, ujung bibirnya melengkung senang.
“Khasna…” sapaku lembut. Sejenak ia terkejut, namun kemudian tersenyum dan bergeser agar aku duduk.
“Bu Yuli… Saya pikir siapa,” jawabnya sembari meletakkan gitarnya bersandar pada tiang di sebelahnya. Gitar itu jadi tampak jumbo di tangan Khasna.
“Wah.. ternyata ini gitarmu? Bagus sekali,” sanjungku.
“Iya, Bu. Ini hadiah ulang tahun saya kemarin dari ibu. Saya ingin bisa memainkan gitar ini. Akhirnya, saya sudah janjian dengan Mbak Putri untuk latihan sebentar,” jelas Khasna tersenyum.
Ah, ya! Aku ingat Khasna pernah mengatakan ingin les gitar dan akan membeli gitar. Namun saat itu karena tidak ada guru seni musik yang bisa mengajarinya, jadi kuminta ia menemui Putri kakak kelasnya yang terampil bermain gitar. Rupanya Khasna cukup gesit juga. Syukurlah, kini mereka sudah janjian untuk berlatih.
“Alhamdulillah, Bu Yuli senang Putri bersedia mengajarimu. Jika Putri sibuk, kelak bisa minta tolong Arifin atau Pak Aditya untuk mengajari gitar ya,” jelasku. Khasna tampak berpikir sejenak.
“Iya, Bu. Tetapi saat ini saya nyaman berlatih dengan Mbak Putri saja,” sahutnya.
Aku tersenyum. Khasna memiliki semangat yang luar biasa. Kelainan jantung yang dideritanya sejak lahir, tidak menyurutkan semangatnya untuk mengembangkan diri. Satu impiannya yang sempat terucap saat mengikuti ekstra paduan suara, ia ingin menjadi pemain gitar dan mengiringi tim paduan suara atau tampil menyanyi saat wisuda.
“Baiklah, semangat berlatih ya, Khasna. Wisuda masih 2 bulan lagi. Semoga berhasil menguasai satu lagu, Sayangku,” ucapku sambil menepuk lembut bahunya. Ia pun tersenyum ceria. Aku beranjak dan berlalu.
Minggu berganti, hari Senin menjadi awal memulai kesibukan persiapan banyak hal di sela jam mengajar yang cukup padat. Meski demikian, masuk ke kelas istimewaku menjadi hal yang aku tunggu. Kali ini bukan lagi jam pertama, melainkan 2 jam pelajaran menjelang istirahat kedua. Seperti biasa, langkahku memburu. Aku tersenyum mengingat selembar kertas dalam stopmap yang telah lama ditunggu Khasna. Terbayang senyum manisnya saat menerima kertas itu nanti. Ah, aku senang melihatnya tersenyum dan mengabaikan sakit yang mendera tubuh mungilnya. Sebab, beberapa kali kulihat Khasna berkaca-kaca kala melihat teman sekelasnya bermain olahraga. Ia ingin bergabung, tetapi dengan kelainan jantung yang dideritanya, ia harus ikhlas tak pernah ikut olah raga.
Kuucapkan salam begitu memasuki ruangan. Serentak semua menjawabnya. Tanpa mengatakan apapun aku segera menyalakan laptop dan LCD untuk menyampaikan materi dan penugasan. Hehe… gunakan fasilitas yang ada untuk menghemat tinta. Yang pasti karena aku merasa tulisanku di papan tulis sebelas dua belas dengan tulisan dokter dalam resep obat yang pernah kuterima. Itulah mengapa jika terpaksa aku harus menulis di papan tanpa bantuan IT, aku lebih suka menyajikan dalam mind mapping. Hanya siswa yang menyimak dengan baik yang mampu mengulang membaca mapping di papan yang kutulis sembari menjelaskan.
Setelah semua siap, aku tersenyum dan kembali menyapa mereka. Seperti biasa pembelajaran diawali dengan tadarus Al-Qur’an, juz 30, surah Al Buruj untuk semester ini. Alhamdulillah semua siswa semangat sebab kegiatan ini sebagai penguatan program unggulan Tahfidz madrasah. Sembari bertadarus, kuamati mereka satu persatu. Lho kok bangku Khasna kosong? Ke kamar mandikah? Atau Khasna tidak masuk hari ini? Pikirku. Selesai tadarus, kubuka file lembar presensi dan langsung blok hijau nama siswa yang hadir.
“Khasna hari ini tidak berangkat, Bu.” Celetuk Amel teman sebangku Khasna.
“Amel tahu kenapa?” Tanyaku.
“Saya tidak tahu, Bu. Biasanya Khasna kirim pesan ke saya, tapi hari ini tidak,” jawabnya.
Mendengar itu aku pun penasaran ingin tahu. Mengapa anak serajin Khasna tidak berangkat sekolah tanpa keterangan seperti ini? Baiklah, coba nanti kuhubungi wali kelasnya. Siapa tahu ada kabar tentang Khasna. Lembaran not balok dan lirik lagu Mars Himne Madrasah yang sudah kusiapkan di meja pun kembali kusimpan dalam map. Mungkin besok Khasna masuk.
Aku tersenyum, pembelajaran pun berlangsung seru seperti biasanya. Tak ada suasana tenang kecuali saat ujian di kelas istimewa. Tak mengapa, masih wajar untuk anak seusia mereka dan justru jadi cukup aktif respon mereka dalam pembelajaran.
Langkahku terhenti di depan gedung Perpustakaan Raudhatul’Ulum. Kulihat putri melangkah dari arah berlawanan. Mungkin aku bisa bertanya sebentar padanya.
“Put, Ibu mau bertanya sesuatu. Ke perpus sebentar, yuk?” Tanyaku. Putri tersenyum dan mengangguk.
Memasuki ruang perpustakaan, aku spontan mendesah lega. Suasana sejuk, tenang, dan nyaman pun menyapa. Setelah mengisi daftar kunjungan online di komputer depan pintu masuk, aku menujuk tempat favoritku. Sebuah meja warna warni berbentuk unik tertata rapi di sudut ruang baca.
“Bagaimana kabarmu, Put? Lama kita tidak mengobrol ya. Di kelas IX memang jadwal lebih padat, sehingga tak memungkinkan untuk ikut ekstra lagi ya?” Tanyaku.
“Iya, Bu. Alhamdulillah kabar saya baik. Semoga Bu Yuli juga demikian. Sebenarnya kangen ingin ikutan latihan bareng klub FATWA lagi,” sahutnya tersenyum senang. Ya, Putri termasuk siswa multitalenta yang penuh semangat seperti Khasna. Alhamdulillah, beberapa prestasi pun telah diraihnya. Di kelas IX ini, ia memang harus fokus belajar agar meraih nilai terbaik saat ANBK.
“Gimana progres latihan gitarnya bersama Khasna?” Tanyaku langsung pada permasalahan yang ingin kuketahui darinya. Putri mendesah, raut wajahnya berubah. Ada kesedihan di sana.
“Emh… Sepertinya untuk menguasai lagu panjang, itu berat untuk Khasna, Bu. Saya salut dengan semangat Khasna berlatih gitar. Bu Yuli tahu? Saya sedih setiap kali melihat ujung jemari mungil tangan Khasna membiru. Ia semangat, tapi raganya rapuh. Ia tidak sekuat yang ia bayangkan. Kemarin Khasna menangis menahan sakit di ujung jarinya. Jarinya terlalu lemah untuk bisa menekan senar gitar dengan kuat saat memainkan kunci gitar,” Putri kembali mendesah.
“Apa size gitarnya kebesaran ya, Put?” Tanyaku.
“Sebenarnya itu sudah size standar sih, Bu. Bagus malah gitarnya. Hanya memang fisik Khasna yang kurang mendukung. Tetapi ia samangat mencoba menghafal semua kunci gitar dari buku yang katanya Bu Yuli beri itu,” jelas putri. Ah ya, aku ingat sebuah buku belajar gitar yang kebetulan kulihat saat books fair di GOR UNY beberapa bulan lalu.
“Apa buku itu cukup membantu?” Tanyaku.
Buku itu cukup mudah dipelajari menurutku. Tapi memang bermain gitar itu tidak mudah. Buktinya, meski ingin sejak lama, hingga saat ini aku juga tidak bisa. Ternyata Khasna lebih cekatan menjemput asanya, sedangkan aku justru mengabaikannya.
“Alhamdulillah, sangat membantu, Bu. Kami jadi tidak perlu menuliskan kunci-kunci gitarnya. Ada contoh lagu-lagu sederhana juga. Kami baru mencoba satu lagu dari buku itu. Hebatnya, Khasna sudah bisa beberapa lirik, meski belum semua. Kemarin Khasna ke rumah saya, dan kami berlatih lama. Dua bulan ke depan, semoga Khasna bisa menguasai satu lagu sederhana, Bu. Ia begitu ingin tampil menyanyi sembari memainkan gitar,” jelas Putri.
“Syukurlah, tapi hari ini Khasna tidak berangkat. Tanpa ijin malah. Putri tahu kenapa? Barangkali Khasna sempat cerita?” Tanyaku penasaran.
“Oh, tentang itu saya tidak tahu Bu. Hanya Khasna sempat cerita tentang rencana operasi ring di jantungnya. Ia menangis kemarin, Bu. Ia ingin segera sehat dan melakukan banyak hal untuk meraih semua mimpinya. Saya sedih sekaligus bangga pada Khasna, Bu. Andai semua siswa sehat lainnya memiliki semangat seperti Khasna, madrasah ini jadi luar biasa lho Bu,” ungkap Putri haru.
“Ya, betul sekali, Put. Ya sudah, terimakasih banyak sudah berbagi cerita. Saya tunggu lagi kelak kabar perkembangan latihan kalian. Ibu bangga sama kamu. Tidak hanya cantik dan smart, tapi kamu juga memilki hati yang baik. Tetap bantu Khasna ya, Nduk. Tahu tidak khasna itu ngefans berat lho sama kamu,” ungkapku tersenyum. Putri terharu.
“Justru saya yang ngefans sama Khasna Bu. Khasna itu, sosok yang inspiratif menurut saya,” sahutnya.
“Benar, kalian berdua hebat!”
Kulihat waktu istirahat tinggal 10 menit, Putri pun bergegas mohon diri dan menuju kantin. Aku masih terpaku. Syukurlah jam mengajarku telah selesai. Gawaiku bergetar, ada pesan masuk. Kubuka sejenak. Puluhan chat grup belum kubuka. Terselip chat dari nomor tidak dikenal mengirim beberapa pesan suara. Penasaran, segera kubuka. Ada kurang lebih lima pesan suara di sana. Dari nomor tak dikenal pula. Ah siapa ya? Kutekan salah satu pesan suara tersebut dan kudekatkan ke telinga.
“Assalamualaikum Bu Yul, ini saya Khasna. Saya menggunakan hp ibu saya,”
Ternyata chat dari Khasna, suaranya lembut dan lemah sekali. Ada apa dengan Khasna? Sebelum kutekan pesan suara berikutnya. Bel berdering, puluhan siswa memasuki ruang baca. Pak Aditya melenggang masuk bersama laptopnya yang terbuka. Sepertinya, ruangan akan digunakan untuk pembelajaran. Baiklah, aku berpindah tempat saja. (Bersambung)