Sampai di rumah, Sila sudah disambut oleh suara batuk ibunya. Ia pun segera berganti pakaian dan menyiapkan segala sesuatunya untuk ibunya. Ibu harus sembuh, tekadnya dalam hati. Sila pun mulai menyiapkan makanan yang seadanya untuk ibunya dan dirinya sendiri. Namun, tampaknya ibunya tidak menyukai makanan yang ia siapkan.
“Dihabiskan ya Bu, lalu minum obat. Ibu harus sembuh,” bisik Sila sedih.
“Maafkan ibu ya, Nduk. Kamu jadi harus melakukan semuanya sendiri. Ibu pasti sembuh. Kamu jangan jangan sedih mikirin bapakmu lagi ya, Nduk. Kita pasti bisa hidup tanpa dia. Pokoknya kita yakin saja pada Allah. Gusti Allah pasti akan mengubah nasib kita, kalau kita mau berusaha. Allah itu Maha Adil pada setiap hambaNYa yang tetap mau menjaga ketaqwaannya.” ucap ibunya sambil menahan sakitnya.
“Astagfirullahal’adzim… iya Bu. Sila lupa. Sila sholat dulu ya, Bu.”
Selama sholat, perkataan ibunya selalu terngiang dalam pikirannya. Dalam sujud terakhirnya, Sila menangis. Ia teringat semua akan ejekan-ejekan teman-temannya, caci maki gurunya, dan nilai-nilainya. Sila menyadari selama ini ia jarang bersyukur dan kurang berusaha. Yang ia lakukan hanya melamunkan nasib buruknya saja.
Sila mengakhiri sembahyangnya dengan niat dan tekad baru di hatinya untuk merubah nasibnya sendiri dengan selalu berusaha mendisiplinkan diri dalam hal apapun dan berdoa memohon petunjuk Allah.
“Syukur alhamdulillah, ya Allah,” bisik Sila sambil tersenyum.
Setelah itu, Sila merasa sebagian beban batinnya hilang. Ia menjalani aktivitas kerjanya dengan senang. Langkahnya serasa ringan, karena ia mulai melakukannya dengan ikhlas.
Beberapa bulan telah dilalui Sila dengan baik. Ibunya pun kini berangsur sembuh. Seorang dokter yang kebetulan kerabat dekat dari pelanggan ibu juga berperan besar dalam kesembuhan ibu. Bu Yumna, ya itu namanya, pelanggan setia ibu ketika ibu berkeliling berjualan aneka kue buatannya. Ia selalu membeli meski sebenarnya sedang tidak butuh. Untuk cemilan anak-anak, katanya.
Bu Yumna datang ke rumah sore itu, bermaksud memesan kue untuk acara pertemun di rumahnya. Namun melihat kondisi ibu, ia pun jadi bertanya banyak hal dan terpaksa Sila harus banyak bercerita tentang kondisi kesehatan dan ekonomi mereka. Keesokan harinya, Bu Yumna datang bersama seorang dokter muda yang ia perkenalkan sebagai keponakannya. Ia dokter yang ramah dan cerdas menurut Sila. Diagnosisnya akurat dan obat yang diberikan terbukti bisa membuat keadaan ibu menjadi lebih baik.
Entah bagaimana awal mulanya, tetiba uluran tangan dari beberapa tetangga yang terkadang memberi sembako, terkadang lauk, dan terkadang beberapa buah-buahan membuat pmenuhan gizi ibu semakin baik. Sila bersyukur, banyak yang sayang pada mereka. Allah itu Maha Baik. Melalui orang-orang itu, Allah kabulkan doanya.
Sejak saat itu, profesi dokter menjadi salah satu profesi impian Sila, cita-cita barunya. Ia ingin ibunya selalu sehat. Ibunya adalah segalanya, satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Jadi ia akan berjuang untuk menjaganya. Sila bertekad, sekolahnya harus sukses. Ia harus menjadi anak berprestasi untuk bisa terus mendapatkan beasiswa. Dokter Sila Sanjaya, ah sebutan itu keren juga, pikirnya.
Pagi ini, Sila bersiap ke sekolah. Ibunya tampak sedang menggoreng tempe kesukaannya. Nasi hangat dan sambel mentah sudah terhidang di meja.
“Sila, jangan lupa makan dulu. Ibu lihat badanmu semakin kurus. Maafkan ibu ya, Nak,” kata ibu lembut sembari memandangi tubuhnya.
Spontan Sila pun mengamati tubuhnya. Ia ingat tadi ketika mengenakan seragam, ia harus memasang sebuah peniti untuk mengencangkan roknya. Ya, mungkin ia memang semakin kurus, ia bahkan tidak memerhatikan. Seringkali ia lupa makan, atau terpaksa harus mengalah tidak makan sebab lauk ia utamakan untuk ibunya agar segera sembuh.
“Iya, Bu. Terkadang Sila tidak merasa lapar. Tidak apa-apa, yang penting Sila sehat,” ujar Sila sembari duduk di kursi dapur mengamati ibunya.
“Ibu jangan banyak beraktivitas dulu. Istirahat saja, nanti pekerjaan rumah lainnya Sila yang kerjakan sepulang sekolah. Mohon doanya ya, Bu. Hari ini Sila ujian,” ujar Sila, bergegas ia makan dan berpamitan pada ibunya untuk berangkat sekolah.
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu semua siswa telah tiba, yaitu ujian semester. Setiap malam selama satu minggu Sila tak lupa belajar keras dan berdoa. Pikirannya sudah tenang melihat Ibunya semakin bertenaga dan dapat beraktivitas sendiri tanpa bantuannya lagi. Hal ini membantunya untuk dapat berkonsentrasi dengan baik ketika belajar sehingga paginya ia bisa mengerjakan soal dengan cemerlang. Ketika mengerjakan ujian mata pelajaran yang terakhir, Sila justru terlihat semakin ceria dan semangat.
“Aku telah berusaha semaksimal mungkin. Semoga saja nilai yang aku terima memuaskan. Alhamdulillah ya… Allah. Engkau telah membantuku menyelesaikan semua ini dengan baik,” gumam Sila lalu menyerahkan jawabannya pada pengawas dan keluar ruangan.
Ia tidak bergabung dengan teman-temannya, yang ia dengar mau merayakan berakhirnya ujian dengan berkumpul dan makan-makan bersama. Sila memilih untuk langsung pulang dan mengerjakan semua pekerjaan rumahnya kemudian mengajak ibunya jalan-jalan ke sekitar rumah. Ibunya butuh refreshing juga. Semoga ibu senang, pikirnya. (bersambung)