Mendengar nama risoles, membuat ingatanku terlempar ke 18 tahun yang lalu. Tepatnya ketika awal aku masuk kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Risoles adalah makanan bersejarah bagiku. Hmm… penasaran kan? Pernahkah sahabat semua makan makanan yang bernama risoles ini? Risoles adalah sejenis makanan gorengan semacam pastry yang berisi daging cincang dan sayuran yang dibungkus kulit dadar, kemudian digoreng setelah diolesi telur dan tepung panir. Banyak juga yang menginginkan risoles tanpa daging, hanya diisi tumis sayur wortel dan kentang, agar harganya lebih murah. Kini, risoles sudah lebih banyak variant lagi, ada juga yang diisi sayur dan mayonnaise. Pedas atau tidaknya pun sesuai selera.
Risoles memang lezat, terutama bagi sahabat semua yang jarang melihat atau membuatnya. Namun bagiku, kenangan sebagai penjual risoles membuatku merasa jenuh dengan makanan yang satu ini. Hidupku pernah dibuat tidak ‘woles’ gegara makanan ini. Sahabat semua tahu apa artinya ‘woles’? Woles itu berarti santai atau relax, tidak terburu-buru. Kata woles merupakan kosa kata bahasa gaul yang beberapa tahun belakangan ini sering digunakan di kalangan millennial. Sebenarnya, kata woles ini diambil dari bahasa Inggris ‘slow’ (santai) yang kemudian dibalik menjadi wols dan biar lebih mudah menjadi woles.
Ya, hidupku 18 tahun yang lalu memang menjadi tidak bisa woles gara-gara risoles. Sebab, setiap hari aku harus kejar target membuat puluhan bahkan ratusan risoles untuk dijual dan dititipkan ke warung-warung. Maklum, ayahku sudah pensiun tepat sebelum aku masuk kuliah, sehingga untuk memenuhi biaya kuliah, aku dan saudara-saudaraku sepakat untuk usaha kuliner yaitu menjual aneka macam snack. Uang pensiun ayahku tak cukup untuk membiayai kuliahku dan kedua kakakku, juga adikku yang masih SMA. Jadi kami harus survive agar segala kebutuhan tercukupi. Sejak saat itu, bagiku, waktu adalah uang. Waktu menjadi demikian berharga. Ya, sejak kecil setelah ibu meninggal, kami memang dididik untuk bisa mandiri dan bekerja keras untuk mewujudkan segala keinginan kami. Kami bersyukur untuk hal itu.
Usaha kuliner kami tentu saja tidak hanya menjual risoles, kami juga menjual martabak, kue sus, mendoan, tahu susur, capjaek, nasi bungkus, pudding, pastel, dan lain sebagainya. Kami satu keluarga sudah menjadi tim koki yang solid. Kami berbagi tugas. Masing-masing dari kami bertanggung jawab membuat satu atau dua macam jenis makanan. Mulai dari bahan, produksi, pengemasan, dan managemen keuangan. Kebetulan aku selaku anak nomor 8 dari 10 bersaudara mendapat jatah membuat risoles.
Setiap makanan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Untuk risoles ini aku membagi pekerjaanku menjadi 2 tahapan. Tahapan yang pertama aku membuat kulitnya. Kulit kubuat di malam hari sepulang kuliah. Adonan kulit terbuat dari tepung dan telur yang dikocok hingga tercampur sempurna kemudian digoreng tipis-tipis tanpa minyak menggunakan teflon. Sembari menunggu adonan matang, biasanya aku mencincang sayuran yang akan kugunakan untuk bahan isi risoles. Namun, adonan kulit risoles ini kurasakan tiada habisnya ketika mata sudah mulai mengantuk kelelahan. Jam 10 atau jam 11 malam biasanya kutargetkan adonan sudah habis dan kulit siap digunakan diisi sayuran esok paginya. Sebab setelahnya, aku harus belajar sejenak atau mengerjakan tugas kuliahku.
Aku terbiasa tidur larut malam, jam 12 malam atau jam 1 pagi. Padahal aku harus bangun minimal jam 4 pagi. Syukur bisa lebih awal lagi. Pagi hari aku tak sempat belajar, aku langsung mengambil kulit dan memulai tahap kedua, membuat adonan isi. Risoles pun kuisi dan kulipat dengan hati-hati agar proporsional. Sembari mengisi, aku menggoreng risoles sedikit demi sedikit dengan api sedang. Wajahku sering terasa licin akibat minyak yang menempel di tangan berpindah ke dahi atau pipi kala aku merasa gerah. Sembari melakukan semua itu pikiranku mengembara menyusun rencana agar semua bisa terlaksana.
Saat Adzan Subuh berkumandang. Kami bergiliran untuk sholat sekaligus mandi pagi. Kami bergantian menjaga tungku agar makanan tidak gosong. Setelah semua risoles matang, aku mulai menatanya di nampan. Kujadikan beberapa nampan berdampingan dengan beberapa makanan yang lain. Tepat pukul 6 pagi kami harus sudah berdandan rapi untuk berbagi tugas mengantarkan nampan-nampan makanan tersebut ke warung-warung langganan kami. Aku memilih warung yang searah dengan tempatku menanti bus angkutan umum menuju kampus. Jarak kurang lebih 400 meter, kulalui dengan berjalan kaki. Tepat pukul 06.30 bus Koperasi Abadi yang kunanti pun tiba. Sampai di perempatan tempatku menunggu tentu saja sudah tidak ada lagi bangku kosong di bus. Bahkan aku harus berdesakan dengan penumpang lainnya yang rata-rata pelajar atau mahasiswa. Pernah suatu ketika aku hanya bisa berpijak pada satu kakiku dan berpegangan dengan satu tanganku di pintu bus. Untung saja, si kernet bus melindungiku jangan sampai terjatuh. Aku pun mencengkeram tiang hingga tanganku kesemutan. (BERSAMBUNG)