“Beberapa rindu memang harus sembunyi-sembunyi. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat doa”. Fierra Besari
Pena ini hanya untaian rasa dari frasa memori tentang sebuah sajak kerinduan. Rasa rindu adalah bara yang sulit di eja, apalagi jika rindu itu tak pernah berujung temu. Hati ini terlalu lemah karena mengemis rasa yang tak pernah memudar. Rasa sesak dari kehilangan, memang selalu terjaga dalam sirkuit pikiran.
Ia adalah sosok yang ingin aku narasikan, karena mengisi daftar memori dalam ingatan. Sosok yang pernah terisak menungguku pulang sekolah, dan gundah menanti kehadiranku. Baiklah, aku akan tarik kembali daftar memori itu. Kala itu, aku duduk di bangku kelas 1 SMP. Rumah Nenekku merupakan tempat singgah untuk menyambut malam dan menanggalkan rasa lelah. Sedari kecil, rumah nenek adalah tempatku pulang, karena sekolahku paling dekat dengan rumahnya.
Hal yang paling lekat dalam ingatan, adalah memori ketika kelas 1 SMP. Jadwal belajar di sekolahku dimulai dari jam 1 siang dan berakhir pada jam 5 sore. Jarak rumah nenek dengan sekolah sejauh 7 km. Moda berangkat sekolah biasanya naik angkot. Perjalanan pulang menjadi kendala paling besar, angkot yang sudah selesai beroperasi memaksaku harus jalan kaki menempuh perjalanan 7 km. Sebenarnya jika sudah di terminal aku bisa memakai jasa ojeg untuk pulang. Tetapi ongkos ojeg itu senada dengan jumlah uang jajanku. Artinya, apabila aku harus naik ojeg maka aku tak bisa jajan dan begitu sebaliknya. Jika aku jajan maka aku tak bisa naik ojeg.
Kali pertama jalan kaki rasa lelah tentu menjadi bumbu. Namun, rasa senang lebih gentar dalam hati karena perjalanannya sangat asik. Aku bersama teman-temanku yang memiliki arah pulang sama, saling menunggu satu sama lain. Jadi, tak ada kekhawatiran ketika pulang. Perjalanan pulang ditempuh selama 3 jam, dari jam 5 sore hingga jam 8 malam. Rumah Nenekku berada pada titik ujung, artinya ketika teman-temanku sudah membuka sepatunya, kakiku masih harus melangkah mencapai rumah. Jika melewati perkampungan aku bisa berjalan pelan, tetapi ketika sudah melewati hutan, maka aku harus sedikit berlari. Bukan karena takut dengan mahluk tak kasat mata melainkan takut ‘diculik’.
Setibanya di rumah ku pengang handle pintu dengan mengucap salam, namun tak ada jawaban. Kakiku semakin bersemangat menuju ruang tengah. Di sana kudapati wanita paruh baya dengan tangis yang sedu sedan, setelah ku hampiri dia merangkulku amat erat. Kemudian tangisnya mereda, dan menceritakan segala gundahnya menunggu kepulanganku. Hatiku terenyuh, perjalanan yang kulewati dengan asik ternyata menciptakan kehawatiran bagi sang Nenek. Ia bercerita seusai adzan magrib meminta tetangga mencariku ke sekolah karena aku tak kunjung pulang. Sayangnya, kami tak berjodoh bahkan sepanjang perjalanan tetanggaku tak mendapatiku. Ia kemudian resah dan hanyut dalam tangisan. Sejak saat itu, nenekku memutuskan untuk mencarikan ‘Kang Ojeg Abonemen’ yang dibayar bulanan.
Lima tahun berselang, kebersamaan itu mengajariku banyak hal. Tentang sebuah ketulusan dan pengorbanan, sebuah kasih sayang yang tanpa imbalan. Hingga sampai pada pucuk waktu, kebersamaan itu kemudian dipisahkan oleh garis kematian. Duniaku seperti runtuh kehilangan sosoknya yang sabar nan penyayang. Aku seperti kehilangan separuh dari diriku.
Ada yang paling aku sesali dalam hidup, yaitu sebuah perpisahan yang tanpa permisi. Bukan menyesal karena kepergiannya tetapi sesal atas kebaikan yang belum bisa aku balas. Dari cintanya aku dewasa, dari jerihnya aku menyambung hidup, dan dari kasih sayangnya aku tahu arti manusia. Terlalu luas jika harus dijabarkan.
Kini aku hanya memiliki episode merindu. Rindu yang tercipta atas sebuah perpisahan. Hingga binar di mataku menguap pada pucuk kesedihan, aku tetap terjerambab pada rindu yang yang tak tahu cara berteduh. Setampuk keinginan menarik harapan “I wanna meet you” meski harus bertemu pada dimensi lain.
Lewat narasi ini kusampaikan pesan, hargai setiap kebersamaan, hormati setiap pengorbanan dan balas dengan lautan kebaikan. Karena jika kematian menjemput orang yang paling kita sayang, kita hanya akan berkalung ‘sesal’.