Di kalangan Senirupawan siapa tidak kenal Sindudarsono Sudjojono ( S. Sudjojono). Salah satu pendiri PERSAGI yang sangat kritis bila menyangkut seni lukis dan seni rupa pada umumnya. Selain sebagai pelukis ia maestro, pengetahuan seninya juga luas, terbukti dengan banyak tulisan mengenai kritik seni yang sempat dibukukan.
Sudjojono bisa dikatakan Pujakusuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatra) karena lahir di Kisaran Sumatera Utara, 15 Mei 1913 meninggal dalam usia 72 tahun 25 Maret 1986. Dibawa oleh bapak angkatnya Joedhokoesoemo seorang guru HIS ke Jakarta. Di Yogyakarta S Sudjojono berguru pada Raden Mas Pirngadie.S. Sudjojono sempat menjadi guru di Taman Siswa atas rekomendasi Ki Hadjar Dewantoro, tetapi akhirnya ia memutuskan menjadi pelukis.
Ia sering mengkritik aliran lukisan sebelumnya yaitu lukisan yang pemandangan, lukisan yang menampilkan keindahan alam, perempuan cantik, kehidupan kaum bangsawan seperti yang dilukiskan para pelukis Belanda dan Eropa yang sering menggambarkan Indonesia dalam wujud lukisan naturalisme.
Ada pelukis AAG Payen dari Belgia, dari Indonesia sendiri sebutlah Abdullah Sr, Wakidi, Basuki Abdullah. Pada waktu itu mereka yang masuk dalam barisan pelukis naturalisme disebutnya Mooi Indie (Hindia molek). Istilah itu sebetulnya sebuah sindiran untuk mereka para pelukis yang tidak mencerminkan nilai- nilai kebangsaan.
Maka S. Sudjonono mengeluarkan konsep seni lukis sebagai Jiwa Kethok. Pengertian Jiwa Ketok sendiri menurut penulis adalah representasi jiwa pelukisnya, atau katakanlah merupakan cerminan jiwa pelukisnya. Sedangkan menurut sumber referensi terutama dari pengamat dan penulis serta kritikus seni rupa Sanento Yuliman Jiwa Kethok artinya Lukisan Jiwa yang nampak.
Awam menganggap lukisan pemandangan alam jauh lebih indah dari lukisan- lukisan abstrak dan berbagai aliran seni yang kurang dimengerti masyarakat umum. Sedangkan waktu itu sebelum kemerdekaan S. Sudjojono, sering melakukan penentangan terhadap lukisan pemandangan, yang dikatakan sangat teknik. Sedangkan S. Sudjojono menanggap dan berkeyakinan bahwa pelukis hendaknya bebas dari kaidah- kaidah, agar jiwa bisa tercurah isinya dengan sebebas- bebasnya.
Lanjut menurut S. Sudjojono pelukis harus terbebas dari ukuran kecepatan melukis obyek, tetapi lebih menekankan pada unsur kegemasan. Ukuran kegemasan artinya hubungan subyek obyek dapat terlihat dari garis garis yang disapukan di atas kanvas.
S Sudjojono sendiri menurut pengamat sering disebut pelukis realisme. Apa sebenarnya realisme itu. Realisme lebih menggambarkan kenyataan atau realisme kehidupan di sekitar tanpa ditutup tutupi. Artinya obyek apa adanya. Ketika S. Sudjojono gabung dengan PERSAGI ia melihat realitas hidup manusia terjajah. Masih banyaknya kemiskinan dan ketimpangan sosial masyarakat.
Banyak lukisan S. Sudjojono yang menggambarkan realitas kehidupan di antaranya lukisan di balik Kelambu dan Tjap Go Meh yang melegenda. Ia melukiskan bukan dengan warna- warna yang indah namun makna dibalik lukisan tersebut yang menampilkan sisi realitas dari obyek yang dilukiskannya. Sampai sekarang lukisan Tjap Go Meh masih sering dijadikan topik diskusi masyarakat pecinta lukisan.
Kekritisan S. Sudjojono memang terbukti dari literature yang sering ia kirimkan di media massa waktu itu. Sayangnya setelah gabung dengan Lekra pelan- pelan pamor S. Sudjojono redup. Namun jejak lukisannya sampai sekarang masih terus dicari.
Ia bersama Hendra Gunawan, Affandi, Kartono Yudhokusumo, DJajengasmoro,Trubus, Basuki Resobowo, Suromo, Surono, Otto Djaja, Agus Djaja, Mochtar Apin, But Muchtar dan masih banyak adalah pelopor seni rupa yang menonjol waktu itu. Mereka ikut berjuang di jalur kesenian.
Mengingatkan betapa pengaruh kebudayaan terutama kesenian mampu membangkitkan kebangsaan dan kecintaan pada tanah air maka penulis mengetuk hati pembaca untuk mengingat kembali sejarah perkembangan seni lukis dan seni rupa. Pada rangkaian artikel saya akan banyak memberi warna dan sedikit pengetahuan tentang seni rupa.
Ada masa ketika seni rupa mengalami booming, atau masa ketika seni sempat terperosok dan disangkutpautkan dengan organisasi terlarang komunisme. Ada masanya kesenian jaya dan menjadi ujung tombak perekonomian. Saat ini dari beberapa polemik tentang karya seni, warisan budaya ada beberapa pihak yang ingin mendegradasi keberadaan dan warisan budaya tanah air yang adiluhung.
Kesenian bagaimanapun memberi sentuhan rasa pada manusia. Dengan mengenal seni maka mengenal tepo seliro atau tenggang rasa. Bagaimana menghidupkan toleransi dan kemanusiaan. Tidak kaku bergaul akibat fanatisme sempit. Semoga tidak ada lagi yang mencampuradukkan keyakinan dan warisan kebudayaan Nusantara yang kaya raya ini.
Pemikiran S. Sudjojono, pemikiran para seniman merupakan upaya lintas budaya, yang tidak meruncingkan dikotomi budaya dan agama. Meskipun tidak banyak pengaruhnya lewat tulisan ini semoga memberi pencerahan bagai segenap bangsa untuk selalu bisa berkomunikasi lewat bahasa budaya.
Penting agar tidak terpengaruh dengan kebudayaan luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Indonesia sekali lagi adalah bangsa majemuk, banyak suku bangsa, agama yang bisa bersatu dan saling menghargai perbedaan.