Mengukur Kekasaran Kata “Anjay”

BUKU, Sosbud177 Dilihat
polemik kata anjay yang sempat viral (blogpendidikan.net)

 

Kata “anjay” benar-benar menjadi viral. Ini berkat laporan dari Lutfi Agizal, yang melaporkan bahwa kata Anjay dapat merusak moral bangsa. Banyak yang menilai bahwa Lutfi Agizal sang YouTuber itu hanya berupaya melakukan pansos atau panjat sosial, artinya ia melontarkan kata agar ia menjadi semakin terkenal meskipun dengan cara yang bagi netizen tidak elok.

Sepengetahuan penulis anjay itu hanya penghalusan dari anjing. Kadang saking tidak teganya memaki dengan memakai kata anjing maka dihaluskanlah menjadi Anjay, ada yang sedikit lebih kasar lagi anjrit, atau anjir. Anak-anak remaja sekarang ini kadang sering kelepasan saat main game, saat berdebat dengan teman dekatnya. Di Jakarta (kaum urban, terutama anak-anak kampung, juga anak kompleks perumahan sering bercanda dan mengumpat dengan kata anjing).

Nah karena sering ditegur untuk tidak menggunakan kata anjing muncullah anjrit, anjay. Bahkan bukan hanya anjay. Kata-kata najis, amit-amit sompret, cilaka duabelas sering muncul spontan. Itu baru dari grup binatang. Masih banyak lagi yang muncul dari pergaulan remaja yang kadang bagi orang tua bikin geleng-geleng kepala. Ada istilah Kontol, Ngentot,yang tidak asing di telinga diucapkan oleh anak-anak dan remaja.

Banyaknya kata umpatan itu memang cermin pergaulan remaja yang kurang mendapat asupan nasehat dari orang tua atau sebuah sentilan dari guru-gurunya. Kata-kata pungutan itu sering muntah begitu saja saat anak sedang kesal atau marah. Bahkan iblis, setan pun ikut nimbrung muncul.

Lalu apakah hanya mengatakan kata anjay lantas mencerminkan rusaknya moral bangsa dan akhirnya KPAI turun tangan dan mewanti-wanti agar kata itu tidak dipakai lagi karena bisa menimbulkan usaha perisakan, perundungan atau istilah asingnya bullying.

Sayangnya penulis bukan ahli bahasa dan masalah bahasa serahkan saja pada Mas Khrisna Pabichara yang jago atau Ivan Lanin. Karena latar belakang penulis itu seni rupa dan sering dulu gaul sama seniman dan orang-orang teater maka saya menulis berdasarkan batasan pemikiran yang saya kuasai.

Apakah saya berbondong bondong tidak setuju apabila KPAI meresmikan kata anjay berpotensi menjadi kata bulian? Di kalangan seniman kata kata anjing, anjrit, asu, iblis, kutukupret, bangsat itu sering enteng saja diucapkan.

Kata kata Oasuwok itu menjadi ciri khasnya seniman Jogja seperti mas Butet Kertaraharja. Itu kata nyaman senyaman-nyamannya untuk menandai bahwa pergaulan seniman memang tidak berjarak. Umpatan makian yang tidak bermakna kasar.

Lalu apakah kata anjay memang harus dilarang? Yang dilarang sebenarnya adalah memperlakukan kasar lawan bicaranya, dan mendorong lawan bicaranya tersinggung dengan perkataan kita entah baik dengan kata kasar bahkan dengan kata- kata halus saja seseorang bisa tersinggung dan merasa diejek.

Di Jawa banyak sekali umpatan halus yang bisa saja akhirnya menurut perasaan menjadi kasar.

“Oh, panjenengan pancen segawon (Oh, anda memang anjing)” Kalau dimaknai ucapan itu benar-benar kasar meskipun dengan memakai bahasa kromo inggil.

Tapi, ada yang mengatakan dalam sebuah dialog lucu, dari pelawak. Contoh “Oalah Su, asu, kok datang saja tidak kabar-kabar tak kiro wis matek (kukira sudah mati)?!” Apakah  dialog ini bernada kasar?

Jika seseorang sedang berdialog dengan teman dan mengatakan, “Anjaay kenapa lo tidak bilang bilang punya pacar secantik ini?”

Jadi benar kata Khrisna Pabichara bahwa kata-kata kasar itu tergantung konteksnya. Tidak bisa mewakili kata perkata. Sebab anjay, anjing, anjrit, iblis, setan, asu… adalah produk kata. Titik masalahnya adalah bagaimana kita menggunakan kata. Jika digunakan benar tidak akan membuat seseorang tersinggung, namun sehalus apapun bahasanya jika disengaja untuk mengejek dan membuli itu yang salah.

Namun saya maklum apapun saat ini bisa menjadi viral, menjadi ladang pembicaraan, karena pengguna medsos itu jutaan dan apapun bisa menjadi viral.

Padahal kalau disadari kata umpatan tiap suku, dengan bahasa daerah yang beragam dengan tingkat sensifitas masing-masing berbeda antara daerah satu dengan yang lain. Anjay masih lebih halus dari anjrit lebih sopan dari anjing dan asu. Tentu susah menghakimi orang gara-gara menggunakan kata yang dianggap kasar namun jika diucapkan dengan tersenyum dengan tujuan tidak marah bagaimana?

Jadi KPAI sebaiknya tidak langsung bereaksi melarang sebuah kata diucapkan. Ada banyak titik singgung jika melarang kata tidak boleh diucapkan.

Yang penulis setuju itu adalah menekan dan memberi nasihat pada remaja, ABG atau siapa saja untuk menggunakan kata-kata itu sebagai umpatan dengan tujuan membuli dan merisak atau merundung. Anjing, anjay jangan disalah-salahkan karena mereka tidak berdosa, yang salah  manusia mengasosiasikan anjing sebagai binatang yang berkonotasi kasar, dan menjijikkan.

Tugas orang tua dan orang-orang dewasa untuk menegur agar perkataan-perkataan remaja dan anak-anak itu tidak menyinggung perasaan lawan bicaranya. Duh, Njenengan lagi ngomong apa sih, hati hati lo nanti jika ngomong, Anjing, Anjay kena pasal perbuatan tidak menyenangkan lo…

Padahal komentar di medsos nama-nama binatang sangat enteng diselibkan untuk sekedar membuli bahkan mengumpat kepala negaranya sendiri. Bagaimana ukuran moral masyarakat medsos sih? Kalau di media sosial saja jarang yang menjaga perkataan bagaimana generasi muda, anak-anak, ABG bisa menghindari untuk berkata kasar. Salam damai selalu.(  sudah ditayangkan  di Kompasiana, 2 September 2020)

 

 

Tinggalkan Balasan