Kasih ibu kepada beta, Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali, Bagai sang surya menyinari dunia
Sebuah lirik lagu yang telah akrab di telinga kita. Sebuah lagu yang melukiskan kasih sayang seorang ibu. Ya, siapa yang bisa menampiknya? Seorang ibu memang sosok yang begitu berjasa dalam hidup kita.
Berbicara tentang seorang ibu, teringat dalam benakku sosok tinggi kurus putih dengan berbagai penyakit yang bersarang di tubuhnya. Masih belia usiaku kala itu, 8 tahun. Usia dimana seorang anak belumlah mengerti cara berbakti, usia di mana seorang anak baru membutuhkan banyak bimbingan dan belaian seorang ibu untuk pertumbuhan dan berkembangan kognitifnya. Usia dimana seorang anak baru ingin merasakan dipeluk dan dimanjakan oleh ibunya.
Begitu banyak obat yang menemani hari-hari ibuku. Di usia beliauku aku menyaksikan bagaimana ibu terbatuk-batuk dengan tangan gemetar hendak meraih cangkir minumnya. Lantas aku berlari ke arahnya untuk mengambilkannya. Ibu tak banyak tersenyum, dahinya sering kali berkerut. Wajah cantik ibu tampak tirus dan pucat. Rambut Panjang ibu yang baru sedikit beruban digelung di belakang. Ia kerap duduk bersandar di sandaran tempat tidurnya untuk mengatur nafasnya usai terbatuk-batuk. Kamar itu kurang cahaya matahari.
Di kamar besar itu terdapat dua tempat tidur berukuran 160x 200 cm dengan dua buah almari baju masing-masing di ujungnya, dan sebuah meja kerja besar milik ayah di antaranya. Kala itu aku sering tidur bersama ayahku di tempat tidur berkelambu, sedangkan ibu tidur di tempat tidur kayu berpagar di bagian tepinya bersama adik perempuanku yang saat itu berusia 6 tahun.
Di atas tempat tidurku terdapat jendela kecil beruji kayu. Di sanalah aku sering memanjat tempat tidur dan mengintip aktifitas teman-temanku di luar sana. Dari balik dinding kamarku jendela itu tampak tinggi, sehingga sering temanku melempari batu sembari memanggilku ketika hendak mengajakku bermain. Mungkin ia malas memutari rumah sebesar itu untuk mengetuk pintu. Aku pun harus berlari menuju pintu keluar dari arah kamarku ketika ada tamu. Untuk membuka pintu ruang tamu, aku harus melintasi pringgitan.
Rumah yang kami tempati berbentuk rumah joglo dengan beberapa kamar berderet di kanan dan kiri kamarku. Aku anak ke 7 dari 8 bersaudara. Jika berkumpul di meja makan di ruang tengah, maka sungguh meriah. Saat itu ibu pasti duduk di kursi kesayangannya sembari tersenyum mengamati perilaku putra-putrinya. Belum pernah kudengar perkataan kasar keluar dari bibir manisnya. Ibu seorang yang lembut namun tegas. Ia memiliki cara unik untuk mengingatkan putra-putrinya tanpa suara. Cukup dengan tatapan mata tajam tanpa kedip dan sedikit alis berkerut di dahinya, sudah membuat putra-putrinya mundur teratur tidak jadi melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya.
Ibu tidak menyukai pertengkaran, maka ia pun seringkali hanya memendam masalah yang dihadapinya di dalam hati saja. Jarang kudengar ibu bertengkar dengan ayah.
Kudengar kabar dari seorang tetangga yang sudah renta, ibuku dulu adalah kembang desa. Dengan postur tinggi semampai dan tubuh padat berisi mampu memikat banyak jejaka di sekitarnya. Namun yang beruntung adalah ayahku, seorang guru muda dengan tinggi badan sedang dan tegap. Begitu aku mengingatnya dari foto masa muda ayah yang pernah kulihat.
Sri Sutarmi, seorang kembang desa, anak semata wayang dari Bapak Mangku Suprapto, akhirnya berhasil jatuh hati pada Kasijo Hadi Suhardjono, BA. Atau sering disingkat dengan K.H. Suhardjono, BA., seorang guru pendiri di madrasah yang kini menjadi tempatku mengabdi pada negeri. Dari seorang anak tunggal lantas dikaruniai 8 anak dari pernikahannya dengan si guru muda. Dengan 8 putranya, tentu ia merasa lelah yang tiada terkira. Hampir setiap dua tahun ia kembali harus menimang bayi, sembari mengurus anak-anaknya yang masih balita. Tubuhnya yang dulu indah dipandang mata, lantas menjadi kurus dengan beberapa penyakit yang bersarang di tubuhnya.
Delapan tahun usiaku saat itu, aku tahu ibuku sakit. Sudah tidak mengagetkan kala suatu ketika pulang sekolah, kudapati kabar bahwa ibu dibawa ke rumah sakit. Lantas beberapa hari kulalui dengan kamar yang sepi. Hanya untuk tidur aku dan adikku. Sedang kakak-kakakku berada di kamarnya sendiri-sendiri. Kala ibu sudah kembali ke rumah, aku pun harus ingat tidak boleh berisik di kamar itu, sebab akan mengganggu istirahat ibu.
Aku tahu ibu pun lelah, sering ia mengajakku keluar rumah dan duduk di taman depan joglo. Aku menemani sambil bermain bersama adikku di sisinya. Aku dan adikku sering dibuatkan baju kembar oleh ibu. Baju andalan kami adalah dress putih dengan motif polkadot dengan renda pada tepi roknya. Secara bergiliran kami duduk di depan ibu agar rambut kami ditatanya dengan memasangkan pita. Rambut kami yang sebahu pun jadi tampak cantik dibuatnya.
Saat-saat seperti itu, aku merasakan ibu begitu menyayangiku. Ya tentu saja ia juga mengasihi anak-anaknya yang lain. Hanya saja dengan kedua tangannya yang mulai melemah itu, tentu ia sudah tak sanggup lagi untuk membuai seluruh anaknya di pangkuannya.
Ibuku tak pintar bernyanyi, namun ia pintar menari. Aku tersenyum kala melihat ayah diam-diam menertawai ibuku yang tengah bernyanyi untukku. Si kembang desa itu tak bisa bernyanyi semerdu ayahku. Namun tubuh langsingnya tampak begitu gemulai kala ia menari. Itu juga hanya cerita dari seorang tetangga renta yang sering kupanggil simbok. Simbok bercerita jika dulu sering melihat ibu menari di pendopo. Seketika anganku melejit… membayangkan sosok cantik ibu menari di pendopo dengan aura khasnya. Ah sungguh berkelas sekali, seperti putri keraton yang sedang menikmati suasana dengan tarian klasiknya.
Bu Mangku Suprapto ada keturunan dari keraton, ia tak mau menggunakan Rr. di depan namanya. Sempat kudengar juga simbok bercerita tentang nenekku. Aku pun kaget dibuatnya. Ntah berita itu benar atau tidak, tidak ada yang pernah merunutnya. Aku yang masih berusia 10 tahun saat itu juga tidak memikirkannya terlalu jauh atau menanyakannya pada ibuku. Aku lebih mengkawatirkan Kesehatan ibu. Ia seringkali batuk hingga tak kudengar suaranya karena terlalu lelah untuk bersuara. Hingga kembali saat itu ibu dibawa ke rumah sakit. Aku sudah merasa seperti kelihangannya.
Diam-diam aku menangis di balik bantalku. Aku tak mau adikku terbangun mendengar tangisanku. Pada tengah malam aku sering terbangun dari mimpi burukku. Aku bermimpi ada sosok tinggi besar berambut lebat yang masuk ke kamar ibu. Sosok itu menangkapku hingga sulit bagiku untuk berlari atau berteriak memanggil ibu dan ayahku. Namun aku tak pernah menceritakannya. Aku menyimpannya dan menganggap bahwa aku kurang banyak berdoa.
Senin pagi itu aku berangkat sekolah dengan tubuh lesu. Aku memikirkan ibu. Ibuku tengah melawan rasa sakitnya di rumah sakit. Seusai upacara kami belajar Bahasa Indonesia. Pelajaran berlangsung menyenangkan hingga seorang tetangga datang untuk menjemputku. Aku seolah tahu kabar apa yang dibawanya. Aku tak menunggunya untuk menggandengku, aku lantas berlari menuju rumahku. Tiba di ujung jalan kulihat banyak warga sibuk membersihkan halaman rumahku. Bendera putih itu menguatkan dugaanku.
Aku berlari dan meraung memanggil nama ibu. Jenazah ibu belum lama tiba di rumah joglo itu. Kulihat adikku menangis dalam pelukan kakakku. Kini kami telah kehilangan sosok ibu yang penuh kasih dan memiliki kesabaran seluas Samudra. Banyak bulir air mata kudapati pada beberapa pasang mata pelayat yang memandangi kami, kedelapan anaknya.
Keranda jenazah itu berlalu. Aku berlari mengejarnya, hingga sepasang tangan lembut mengendongku sembari berjalan menuju pemakaman. Darinya aku mendengar bahwa ibuku kini tidak sakit lagi. Ibu sudah bahagia di sisi Allah swt, dan aku harus menjadi anak yang dapat mengiriminya hadiah berupa doa agar ibu mengingatku di sana. Selamat jalan ibu.
Kini 38 tahun usiaku. Aku juga telah menjadi sosok ibu dari kedua putra-putriku. Mereka cucu-cucumu yang lucu, ibu. Inysaallah, akan kujadikan mereka ahlul Qur’an sebagaimana harapanmu dulu terhadapku.