Dari jalan Imogiri kilometer 12 kenuju ring road Waja, kulalui selama 20 menit. Aku turun dari bus dan berpindah menaiki bus jalur 2 menuju lembah UGM. Di bus jalur 2 ini aku baru bisa bernafas lega. Belum banyak penumpang sebab bus ini baru saja keluar dari arah terminal Giwangan. Di bus ini aku baru sempat sarapan. Biasanya aku membawa beberapa biji risoles yang kubuat untuk cemilan jika tidak sempat makan pagi. Badanku yang dulu kurus membuatku merasa cepat kenyang setiap kali makan. Dalam bus jalur 2 ini aku sempat membaca buku catatan kuliahku. Kuulang berbagai materi yang hari sebelumnya kami pelajari, sebagai modal pengetahuan untuk mengikuti perkulihan selanjutnya. Waktu menjadi demikian berharga. Untung saja saat itu, kami belum terinvensi dengan perkembangan teknologi seperti gawai dan medsos, sehingga mudah untuk fokus pada suatu hal.
Memasuki area Kota Baru Yogyakarta, bus yang kutumpangi mulai penuh. Banyak anak kuliah yang kos di area itu juga menaiki bus menuju kampus, entah UGM atau UNY. Kedua kampus besar itu memang berdampingan. Turun dari bus kota, aku mulai berlari menyeberangi lembah UGM menuju kampus FBS UNY. Ketika tiba di gerbang biasanya keringatku bercucuran, belum lagi aku harus naik ke lantai 3 untuk mengikuti perkuliahan. Bahagia apabila sang dosen terlambat datang. Aku jadi tidak telat, meski aku harus duduk di bangku depan, barisan disisakan untuk mahasiswa telatan bukan teladhan.
Seringkali aku merasa teman-teman kuliahku begitu beruntung. Mereka bisa menikmati waktu mereka dengan leluasa dan belajar sepuasnya. Namun aku tetap bersyukur karena merasa mudah mencerna materi kuliah meski waktu belajarku terbatas. Aku senang apabila ada jeda waktu antar perkuliahan. Biasanya aku meluncur ke warnet atau ke rental komputer untuk mengerjakan tugas kuliahku. Tak lupa secara bertahap aku meminjam buku panduan mata kuliah untuk kufotokopi Ya, aku hanya mampu untuk fotokopi, tak mampu membeli buku. Sebab uangku hanya cukup untuk ongkos bus dan makan satu kali di kampus yang murah meriah. Aku menyadari aku harus berbagi dengan saudara-saudaraku. Oleh sebab itulah, uang saku kami hampir tak pernah sisa ketika sampai di rumah. Aku rajin mencatat materi kuliah, sebab biar lebih hemat, tidak fotokopi materi yang sudah dibahas. Julukan keren pun diberikan padaku, ‘The Quen of photocopy’. Dulu biaya fotokopi tak semahal sekarang.
Sebelum pukul 5 sore aku sudah berkemas terlebih dahulu, sehingga ketika kuliah selesai aku segera berlari ke arah lembah UGM lagi. Aku tak mau ketinggalan bus menuju kampung nantinya. Aku kembali menaiki bus jalur 2, kemudian terkulai. Lelah kurasakan. Selama di bus adalah waktu untuk beristirahat, sebab sampai di rumah aku harus kembali pada rutinitasku, risoles.
Aku memilih berhenti di Pojok Beteng Wetan, lantas menanti Bus jalur Parangtritis, bus Jatayu namanya. Jika sudah menjelang Maghrib, bus itu yang terakhir, sehingga bus berhenti lama untuk menanti penumpang. Saat itu aku sama sekali tak bisa woles, tidak bisa santai, sebab lagi-lagi aku harus mengakhirkan sholat Maghribku nantinya. Bus Jatayu melaju sedang. Mendekati area Manding penumpang sudah berkurang. Aku pun bersiap untuk turun. Kepala bertalu tak kurasa, Pukul 18.30 aku turun daru bus. Aku segera mencari mushola, masjid, atau ke rumah teman SMP untuk numpang sholat maghrib.
Setelah sholat Maghrib, aku merasa lega sekaligus lelah pastinya. Aku pun menuju telpon umum untuk menelpon kakakku agar segera menjemputku pulang. Jarak dari tempatku menunggu hingga rumah sekitar 650 meter. Tidak terlalu jauh, tetapi tentu saja aku sudah terlalu lelah untuk berjalan kaki menuju rumah, belum lagi nanti masih harus membuat kulit resoles. Begitu sampai di rumah, tak ada perlakuan istimewa, kecuali kakakku sudah memasak makan malam untuk kami sekeluarga. Aku segera mandi dan makan bersama. Kami ngobrol sejenak. Di meja makan inilah percakapan tentang hasil jualan kami terjadi. Bahagia rasanya apabila risoles habis tak ada yang sisa dari warung tempat kami menitipkan dagangan. Berarti risoles buatanku enak. Aku tersenyum penuh rasa syukur. Uang hasil penjualan tentu saja dikelola oleh kakakku, untuk ditukar dengan bahan baku makanan.
Ya, begitulah rutinitasku dulu sebagai penjual risoles. Waktu demikian berharga di sela kuliah dan segunung agenda harianku. Hari Minggu atau tanggal merah nasional menjadi hari istimewaku. Aku tidak kuliah, waktuku luang untuk memanjakan diriku bersantai dengan buku-bukuku. Aku malas bepergian, sebab rasa lelah setelahnya membuatku kembali tak bisa woles. Risoles membawa makna tersendiri dalam hidupku. Banyak hal dapat kupetik dari rutinitasku itu. Hidup memang penuh perjuangan, namun apabila dijalani dengan ikhlas dan rasa syukur atas nikmatNya, insyaallah akan mengantarkan kita pada kesuksesan. Kini, ketika melihat risoles di meja atau pada kardus snackku pada suatu acara, aku seperti sudah merasa kenyang duluan sebelum memakannya, meskipun aku yakin rasanya tetap lezat seperti biasanya. (Selesai)