Cinta yang Hilang
Nina Sulistiati

Muslim sejati itu adalah saat dia diberi ujian tidak pernah putus harapan. Dia yakin bahwa setelah hari ini akan ada hari esok, di antara kesulitan Allah akan memberikan kemudahan, dan dibalik kepedihan kelak akan ada kebahagiaan. Banyak kenyataan yang terjadi dalam hidup kita adalah mimpi-mimpi kita kemarin, maka tetap bersyukur dan bertawakallah kepada-Nya.

Hani menulis kata-kata tersebut dalam buku diarynya. Kalimat bijak yang dapat menumbuhkan kembali semangatnya jika sedang terpuruk.

Enam bulan sejak kematian Bunda, Hani mencoba untuk bangkit dari keterpurukan. Dia tak ingin memelihara luka lebih lama lagi. Baginya kepergian Bunda adalah takdir Allah yang harus diterimanya dengan ikhlas.
Sejak kematian Bunda, hubungan Hani dengan Ayah kurang bagus. Dia sudah lama tak bertemu dengan laki-laki itu. Terakhir Hani bertemu dengan Ayah saat ada rapat pembahasa proyek tiga hari yang lalu.

Mereka tak banyak membicarkan hal-hal pribadi. Berbeda saat mereka masih bersatu dan Bunda masih ada. Sebagai anak semata wayang Hani selalu mencurahkan masalah atau perasaan kepada kedua orang tuanya. Kini hal itu tak pernah terjadi. Jika ada masalah Hani lebih sering mencurahkan kepada Mbok Nah atau kepada Ummi Aisyah, guru ngajinya, yang sudah dia anggap sebagai ibu angkatnya.

“Assalamualaikum, Neng Hani. Ada tamu yang mencari Neng Hani,” seru Mbok Nah dari balik pintu kamar Hani.

“Iya, Mbok. Sebentar saya akan keluar,” ujar Hani seraya merapikan gamis dan hijabnya, kemudian nongol di depan pintu kamarnya.

“Siapa, Mbok?” tanya Hani pelan. Mbok Nah tidak menjawab, dia langsung pergi ke dapur. Hal itu membuat Hani penasaran.

Hani bergegas ke ruang tamu. Di sana dia melihat ada wanita bersama seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun setengah.

“Assalamualaikum, Hani,” sapa perempuan itu yang tak lain adalah isteri baru ayahnya. Usianya mungkin tak jauh berbeda dengan Hani, mungkin hanya terpaut tiga atau empat tahun saja.

“Waalaikumusalam. Mau apa Anda datang ke rumah ini?” tanya Hani ketus,” Anda mau mengusik kehidupan saya juga setelah Anda menghancurkan hidup ibu saya?”

“Saya datang ingin meminta maaf kepadamu, Hani. Saya tahu sudah melukai hatimu dan Bundamu. Tapi saya menganggap ini adalah qadarullah yang harus saya terima,” ujar perempuan itu pelan. Namanya saja Hani tidak tahu.

“Perkenalkan, nama saya Alesha, Kakak Hani,” tiba-tiba anak kecil yang bersama perempuan itu mendekatinya dan menjulurkan tangannya kepada Hani.

Hani memandang gadis kecil yang ternyata bernama Alesha, yang nota benenya adalah adik tirinya dengan tajam. Namun binar bola mata Alesha membuat hati Hani luluh. Kemudian Hani menerima jabatan tangan Alesha, tanpa berbicara apa-apa.

“Saya datang ke sini karena ingin memberitahukan kondisi Ayah. Kini Ayah sedang sakit, tetapi dia tidak mau dirawat di rumah sakit. Saya ingin kamu menengoknya dan membujuk ayah untuk dirawat di rumah sakit,” jelas isteri baru Ayah itu pelan.

Hani tercenung saat mendengar perkataan perempuan itu. Hani tidak pernah tahu jika Ayahnya sakit keras. Selama ini Ayah tidak pernah berbicara atau pun mengeluh apa-apa kepadanya.

“Ayah sakit apa?” tanya Hani pendek. Sebenarnya terbersit rasa khawatir di hatinya.

“Ayah terkena kanker hati. Baru terdeteksi setahun lalu. Seharusnya dia dirawat dan diobati intensif, tetapi Ayahmu tidak mau,” papar perempuan itu.

Hani kembali termenung. Biar bagaimana pun Ayah adalah orang tua kandungnya. Dia tetap menyayangi laki-laki itu, meskipun pernah menorehkan luka dalam di hati Bunda dan Hani.

“Sekarang ayah ada di mana?” tanya Hani mulai bernada cemas.

“Ayahmu ada di rumah. Kemarin dia pingsan saat memaksakan diri pergi ke kantor. Saat akan dibawa ke rumah sakit, Ayahmu menolak dan meminta untuk dibawa pulang. Dokter Hardi yang akhirnya merawat ayahmu di rumah.

“Kakak Hani, nanti kakak menengok Papa, ya, di rumah,” ujar Alesha dengan suara cadel. Hani tak menjawab ucapan adik tirinya itu.

“Ya, sudah. Kedatangan saya hanya ingin memberitahukan ini kepadamu. Sebenarnya Mas Hanung melarang saya memberitahukan ini kepadamu, tetapi saya takut disalahkan jika terjadi sesuatu kepadanya,” kata ibu tirinya sambil berdiri dan pamit.

Setelah kepergian mereka, Hani terduduk lemas di sofa. Dia tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh perempuan itu. Minggu lalu Hani masih bertemu dengan Ayah saat ada presentasi tender proyek gudang di Cikarang. Ayah terlihat sehat-sehat saja.

Sejak pernikahan Ayah dan wanita itu, Bunda depresi. Bunda sering bepergian untuk menghilangkan kepedihannya. Hari itu Bunda pergi ke Bandung bersama teman-temannya. Mobil yang dikendarai Bunda kecelakaan. Bunda tak dapat tertolong.

Sejak saat itu Hani tak mau bertemu dengan Ayahnya apalagi wanita itu. Rasa sakit karena kepergian Bunda masih tertanam di hatinya.

“Loh, mana tamunya?” tiba-tiba Mbok Nah muncul sambil membawa minuman dan pisang goreng hangat.

“Mereka sudah pulang, Mbok.Mereka memberitahukan jika Ayah sakit keras. Ayah terkena kanker hati dan kini sedang terbaring di kamarnya,’ jelas Hani sedih.

“Sudahlah, Neng Hani. Lebih baik Neng Hani mengalah. Tengoklah ayah di rumahnya. Hilangkan amarah di hati Neng Hani,” nasehat Mbok Nah pelan sambil menyentuh bahu Hani.

Sepeninggal Mbok Nah, Hani termenung di sofa. Hani baru mengetahu jika ayahnya menikah lagi setelah Bunda meninggal. Ayah dan ibu tirinya itu datang melayat. Dia sempat histeris dan memaki ibu tirinya. Amarah memuncak saat itu. Dia mengusir perempuan itu.

Sekarang Hani merasa ragu dengan hatinya. Kekecewaan dan kemarahannya selama ini juga tak akan menghidupkan Bunda kembali. Hati kecilnya mengatakan dia tak ingin kehilangan Ayahnya.

Mengalami kehilangan memang bukanlah hal yang mudah. Kesedihan akan menghampiri saat orang yang kita cintai pergi dari hidup kita. Orang-orang yang biasa bersama dan mengiringi kita tiba-tiba pergi meninggalkan kita. Ketika hidup tak lagi mampu menemani, hanya sesal yang tersisa di hati. Penyesalan karena tak dapat menghabiskan waktu bersama, kesedihan karena harus hidup seorang diri, duka yang berkepanjangan karena telah menyakiti hati orang yang terkasih. Hani tidak mau merasakan itu lagi.

Benar kata Mbok Nah, memaafkan Ayah adalah jalan yang terbaik jika tidak ingin kehilangan dia. Hani ingin memberikan kebahagiaan di sisa hidup Ayahnya. Biarlah luka yang pernah tertoreh di hatinya, hanyut bersama hujan yang mulai turun ke bumi.

Kadang manusia harus sampai kepada titik kehilangan untuk mengerti arti sebuah kehadiran, kasih sayang seseorang. Hani tidak mau berjalan sampai pada titik itu. Dia tetap ingin bersama Ayahnya, meskipun hanya sesaat hingga tiba pada waktunya nanti.

Allah SWT memberikan ujian berupa kehilangan pada kita untuk mengajarkan hikmah didalamnya pada kita.
Cibadak, 14 Februari 2023

Tinggalkan Balasan

1 komentar