Lelaki yang Mengutuk Kegelapan

Fiksiana, YPTD0 Dilihat

Monolog Badar | Mabuk Maksud #2

Dalam hidup ini kalau semua kita persoalkan, maka apa pun akan menjadi persoalan. Ada orang yang hidup berkecukupan, melompati waktu kewajaran, dan menggugah akal dan kewarasan, biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhan.

Kalaupun kita bisa, ya silahkan lakukan. Jangan bilang kalau hidup yang demikian bukanlah hidup dalam batas kewajaran. Mereka yang sanggup melakukan itu, tentunya sudah memikirkan resiko dari sebuah perbuatan.

Jalani saja apa yang menjadi tugas dan kewajiban. Hak dan hajat hidup orang lain jangan dipikirkan, apalagi dijadikan persoalan. Setiap kita sudah memiliki bagian, dan kelebihan yang mereka dapatkan jangan dilihat sebagai sebuah kesenjangan.

Jadikan persoalan hidup begitu ringan, itu kalau masih memiliki keimanan. Masing-masing kita sudah diberikan jatah sesuai dengan jatah dan kebutuhan. Berprasangka buruk terhadap orang lain hanya akan memberatkan beban pikiran.

Kalau masih percaya dengan keadilan Tuhan, maka syukuri apa yang sudah kita peroleh, nikmati itu sebagai sebuah kebaikan Tuhan. Hidup kalau senantiasa membandingkan dengan orang lain, maka setiap saat akan merasa tidak berkecukupan.

Cukup itu karena merasa sudah sesuai takaran. Kalau berlebihan harus bisa berbagi dengan yang membutuhkan. Begitulah hidup dalam keseimbangan. Mampu menjaga keutuhan dalam persatuan. Mampu mewaspadai gejala perpecahan.

Begitulah kesadaran yang dimiliki oleh seorang Badar, seorang lelaki yang terus berpikir, dan dia tuangkan dalam syair-syair satire, dia ingin menggugah kesadaran dan nalar, agar bisa berpikir dan melihat secara realistis.

Kegelisahan Badar terhadap orang-orang yang senang mengutuk kegelapan, diungkapkannya dalam sebuah puisi, yang dia bukukan dalam antologi puisi yang tak pernah selesai dia bukukan. Syair dari puisi ini merefleksikan dirinya sendiri, seakan-akan dialah tokoh yang dia tuliskan sebagai Lelaki yang mengutuk kegelapan.

Ketukan mesin ketik Badar tak lagi nyaring terdengar, yang muncul hanyalah desah kegelisahannya terhadap keadaan,

Dialah lelaki yang lisannya penuh sumpah dan serapah, marah tidak ada junterungan karena ketidakberdayaannya mengatasi keadaan. 

Baginya dunia adalah kegelapan, yang tidak memberinya ruang cahaya, padahal dia membutakan matanya untuk melihat cahaya yang begitu terang

Lelaki yang terus mengutuk kegelapan, menyempitkan pandangannya hanya sebatas ruang pikirnya yang sempit, yang dihimpit keadaan diluar bayangannya

Meski berkali-kali terjerembab, dia tetap tidak pernah siap untuk bangkit dan berlari, yang konsisten dia lakukan cuma mengutuk kegelapan

Lelaki itu tidak mampu mengubah keadaannya, cuma bisa meratapi nasib tanpa pernah tahu bagaimana untuk menyalakan lilin, agar keluar dari kegelapan

Dialah lelaki yang tidak pernah bersyukur, atas nikmat hidup yang di berikan secara cuma-cuma, dia hanya menggantang kesenangan tanpa pernah berusaha untuk meraihnya

Jakarta, Juli 2020

Serasa tak sanggup Badar terus menuliskan tentang keburukan dirinya, karena dia terbiasa mengutuk keburukan orang lain. Mesin ketiknya lama terhenti, dia tidak lagi punya referensi kata-kata untuk menghujat dirinya sendiri.

Badar serasa berada dalam ruang pengap nan gelap, inspirasinya tiba-tiba mati, dia kehilangan akal untuk memaki dirinya sendiri. Badar tidak bosan-bosan menghadirkan dirinya dalam antologi puisi yang dia tuliskan. Baginya cara paling ampuh untuk menertawai orang lain, adalah dengan menertawai diri sendiri.

Sepanjang perjalanan hidupnya yang lebih setengah abad, Badar memiliki banyak kegelisahan melihat Berbagai keadaan, dan dia tidak ingin menganggap itu sebagai kesalahan orang lain. Itulah makanya Badar sangat menikmati bisa memaki dan menertawai dirinya sendiri, refleksi itulah yang ingin dia sampaikan.

Bagi Badar, bagaimana mungkin kita bisa menikmati terang, sementara hanya bisa mengutuki kegelapan. Sama seperti menyediakan cermin bagi orang lain, sementara dirinya sendiri tidak pernah bercermin.

Badar melihat hal-hal seperti itu dalam kehidupan, yang hanya mampu dia ungkapkan dalam puisi, bagi Badar berpuisi adalah cara menuangkan gagasan dan pemikiran, meskipun harus merefleksikannya lewat diri sendiri. Menurut Badar, ada ada orang lain yang siap dicaci making lewat puisi, selain dari diri sendiri.

Hidup sekali harus berarti, Setelah itu baru mati, karena hidup harus memberikan arti, memberikan manfaat, sebaik-baiknya manusia adalah yang banyak memberikan manfaat, baik bagi orang banyak, maupun bagi diri sendiri.

Hidup kalau hanya memburu tepuk tangan, maka jadilah orang yang sekedar dipuja dan dipuji. Hidup yang seperti itu lebih gampang untuk dilakukan, cukup punya uang dan populeritas, maka akan dipuja dan dipuji melampaui batas.

Banyak orang yang hidup seperti itu, tapi hati dan jiwanya kosong. Dia hanya terasa hidup saat dipuja dan dipuji, saat sedang diatas dengan penuh populeritas, tapi Setelah itu dia akan kehilangan segalanya, bahkan kehilangan kepercayaan diri.

Hidup tidak sekedar memburu tepuk tangan, Hakikat hidup adalah pengabdian. Mengabdi kepada pemberi kehidupan, lewat relasi mahluk-mahluk ciptaan-Nya. Hidup adalah tenggang Rasa dan kepedulian. Peduli terhadap sesama mahluk ciptaan-Nya.

Biasa dipuja akan sulit menerima hinaan, kebiasaan dipuji akan menumpulkan rasa empati. Tidak perlu melambung karena pujian, dan tidak harus jatuh karena hinaan. Hidup haruslah seimbang, dan mampu menjaga keseimbangan.

Kalau hidup hanya mengaharap tepuk tangan, akan selalu merasa bertepuk sebelah tangan. Ingin dipuja namun tidak pernah memuji. Ingin dipuji tapi tidak ingin dicaci. Hidup selalu merasa diatas angin, tidak pernah berpikir jatuh diterpa angin.

Badar sampai pada defenisi hidup yang selalu dia perjuangkan, baginya berpuisi adalah berjihad lewat kata-kata. Badar sangat yakin kalau puisi-puisinya mampu mengubah keadaan. Tidak ada perbuatan yang sia-sia, selama di lakukan penuh ketulusan, dan itu jauh lebih baik dari pada hanya mengutuk kegelapan.

Masih menggumpal dalam benak berbagai pertanyaan. 

Saat waktu sudah lama berjalan sejak lahir dan menjadi tua. 

Pertanyaan demi pertanyaan yang seharusnya tidak lagi perlu dipertanyakan. 

Kalau saja bisa menghargai setiap perbedaan.

 

Kita lahir dari satu rahim penciptaan, itu adalah rahmat, 

yang tidak bisa dipisahkan oleh perbedaan apapun. 

Itu adalah satu hal yang tidak patut dipertanyakan, 

jika masih menghargai keguyuban, 

yang akhirnya akan terpisah karena satu pertanyaan.

 

Suku, Agama dan Ras adalah kekayaan semesta, 

yang diciptakannya sebagai keberagaman, 

yang mewarnai kehidupan agar menjadi Indah. 

Keberagaman adalah penjaga keseimbangan, 

satu terpisah, maka seluruhnya akan terpecah.

 

Tidak perlu dipersempit sesuatu yang sudah diluaskannya. 

Tidak perlu dipisahkan sesuatu yang sudah dipersatukannya, 

dengan pertanyaan yang pada akhirnya akan memisahkan, 

antara satu dengan yang lainnya. 

Itulah kesejatian yang diinginkannya.

 

Tinggalkan Balasan

2 komentar