Alat ukur apa yang kita pakai untuk mengukur kadar keimanan orang lain, sementara keimanan sendiri kita tidak berhak untuk mengukurnya.
Jangan mengambil alih hak Prerogatif Allah Swt, hanya untuk mengatakan bahwa kita lebih beriman dari orang lain. Sungguh manusia yang luar bisa jika seseorang bisa mengukur kadar keimanan orang lain.
Tidaklah seseorang bisa membaca isi sebuah buku hanya melihat dari sampulnya, karena untuk mengetahui isi sebuah buku haruslah juga membaca isinya dan memahami kandungan isinya.
Tidak bisa kita menilai keimanan seseorang hanya cuma mendengar lisannya juga sekedar melihat apa yang dilakukannya.
Seorang Ibnu Muljam kurang apa, padahal dia sholatnya rajin, hapalan Al Qur’an nya bagus, namun wafat dalam keadaan Su’ul Khotimah, hanya karena memenggal leher Imam Ali Allaihi Sallam saat sedang sujud kepada Allah.
Begitulah kuasanya Allah Azza Wajalla, yang Berhak penuh menilai keimanan seseorang. Bagaimana kita menilai keimanan seseorang, menjaga lisan saja kita tidak bisa. Padahal umpatan dan caci maki itu hakikatnya akan kembali kepada diri sendiri.
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat, 49:15)
Siapa yang meragukan kebenaran ayat ini, sangat benar berjihad dijalan Allah itu dengan harta dan jiwa, tanpa pamrih apa-apa Lillah semata karena Allah.
Kalaupun orang-orang yang berjihad seperti ini dengan niat tulus kepada Allah, pastinya Allah akan mencatat amalnya tersebut, namun ada yang memanfaatkan untuk mengumpulkan Massa atas nama Jihad demi kepentingan lain, maka apa yang di dapat? Wallahu’alam.
Apa yang salah dari Seorang Ibnu Muljam, sehingga wafat dalam keadaan Su’ul Khotimah, dalam pandangan manusia, pastinya orang yang ibadahnya luar biasa seperti itu adalah ahli surga, tapi dalam pandangan Allah berbeda, itulah Rahasia Allah yang tidak diketahui manusia.
Ternyata hanya karena kesombongannya dalam beribadah, dia merasa lebih baik dari Imam Ali, hanya kesalahan dalam menilai perbuatan Imam Ali, dia membunuh Imam Ali, di saat sedang menghadap, dan berserah diri kepada Allah, padahal perbuatan tersebut sangat dimurkai Allah.
Ibadah dan atribut tidak menjamin seseorang untuk wafat dalam husnul khotimah, soal keimanan dan ketaatan seseorang tidak diukur dari sekadar ibadah dan atribut yang dikenakannya. Allah ta’ala memiliki Hak secara absolut yang tidak bisa dicampuri dan diukur oleh manusia. Hanya Allah yang berhak Mengetahui diterima atau tidaknya amal baik umatnya, bukanlah sesama manusia yang mengukurnya.
Iblis itu tergolong ciptaan Allah yang paling taat dan patuh kepada Allah, pernah hidup di surga selama 40 ribu tahun. Hanya karena kesombongan atas ketaatannya, dan tidak ingin tunduk kepada Nabi Adam Alaihissalam, iblis pun harus terbuang dari surga, dan selamanya menjadi penghuni neraka.
Janganlah sampai mentang-mentang pernah jadi alumni Monas, terus dengan entengnya mengukur keimanan orang lain yang bukan alumni Monas, sebagai bukanlah umat Islam yang sejati, yang seolah-olah bukanlah umat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wa Sallam. Ini kan salah satu bentuk kesombongan dalam beragama.
Setiap orang punya cara pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu, ada yang melihat urgensinya, dan yang memang memandang kebersamaan. Tapi itu semua tetaplah menjadi penilaian Allah Subhannahu Wa Ta’ala, tidak ada hak manusia untuk memberikan penilaian terhadap Ibadan orang lain.
Urusan ibadah itu wilayah privat kita terhadap Tuhan, bukanlah sesuatu yang perlu di ketahui orang lain, apa lagi untuk dipamerkan, itulah riya’ dalam beribadah. Yang sudah menginjak Tanah Suci Mekkah pun belum tentu lebih baik dari yang lainnya, kok cuma Alumni Monas sudah merasa lebih dari yang lain.