Merdeka Menulis

Saat masih duduk di bangku kuliah (sekitar 10-11 tahun lalu), saya pernah mengikuti workshop jurnalistik. Kala itu, pematerinya adalah salah satu wartawan senior di salah satu surat kabar ternama. Satu kalimat yang diluncurkan pemateri telah mengubah pandangan saya terhadap pers.

“Saat ini … tidak ada berita yang 100 persen murni.” Begitu kurang lebih kalimat yang disampaikan.

Saya lalu teringat peristiwa Musyawarah Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia yang diadakan di kampus. Perbedaan pendapat saja diberitakan media telah terjadi baku hantam. Ckck … saya sampai geleng-geleng kepala. Rupanya benar, tak ada lagi berita yang bisa 100% dipercaya.

Sejak saat itu, saya lebih sering membaca scanning surat kabar. Cetak maupun digital. Tak lagi menikmati lembar demi lembar.

Saya menjadi lebih senang membaca tulisan-tulisan fiksi. Karena fiksi sudah jelas ‘bohong’nya. Sekalipun diangkat dari kisah nyata, karya fiksi tetap saja dibumbui dengan unsur imajinatif. Otak kita telah memahami dan menerima itu. Tak seperti berita yang bisa jadi tampak fakta padahal hanya bungkus luarnya saja.

Belum lagi bila ditambah dengan karya-karya para buzzer. Dalam kehidupan normal, para buzzer ini biasa digunakan untuk promosi barang dan jasa. Karena memiliki pengaruh kuat di media massa serta kemampuan copywriter atau public speaking yang baik, tentu penjualan suatu produk bisa meningkat dengan adanya buzzer.

Namun, di dunia perpolitikan (terlebih pada masa kampanye) maupun ekonomi, banyak yang menyewa jasa para buzzer untuk melempar opini ke publik. Memberi isu-isu terbaru yang sayangnya tak selalu bernilai positif.

Para buzzer yang memiliki pengikut setia di berbagai media sosial, sangat mudah menggiring opini publik. Terkadang, mereka melempar isu negatif untuk menaikkan branding tokoh yang lain.

Jika Anda cermati, beberapa kasus di negeri ini terkadang timbul tenggelam bahkan sebelum ditemui titik terang. Menurut hemat saya dan diskusi dengan beberapa teman, itu adalah ulah buzzer.

Entah siapa dalang di balik mereka, tapi sekali lagi, fakta ini membuat saya sadar bahwa tulisan yang terserak di berbagai media wajib untuk ditelaah terlebih dahulu.

Bukan salah media jika harus meramu dan membumbui tulisannya. Bukankah mereka harus tetap hidup demi menghidupi orang lain? Tentu ada banyak pihak yang harus dinafkahi sebagai kompensasi atas kerja keras mereka menggerakkan roda perusahaan, bukan?

Tak hanya demi sesuap nasi, kebebasan media yang sempat mencekam telah membatasi ruang gerak media itu sendiri. Mereka belum merdeka menulis.

Jikalah media adalah makhluk hidup, mungkin saat berulah (terutama yang menyinggung pemerintah), ia akan segera ditangkap. Sama seperti para mahasiswa zaman orba yang dibuntuti aparat negara. Diculik bahkan dijebloskan ke penjara. Ya, masa-masa itu pernah ada.

Saya sendiri pernah mengalaminya (meski tak berhadapan dengan tentara). Saat menjabat Dirjen Kajian Kementerian Dalam Negeri BEM REMA UPI, salah satu program yang saya cetuskan mengharuskan saya memasuki gedung rektorat. Tapi, saat itu memang tak ada niatan buruk. Klarifikasi. Itu yang diinginkan pihak kampus. Maka, saya jelaskan.

Syukurlah saya tak diculik lantas disiksa untuk bicara layaknya para spionase yang ada di film-film. Hehe. Saat itu, saya masih duduk di sofa empuk di ruang kerja yang tertata rapi. Bertatap muka dengan salah satu pejabat yang diutus dalam menanggapi aksi 1000 surat untuk rektor. Tenang … tenang … Saya keluar gedung dalam keadaan baik dan sehat tak kurang apa pun.

Tampaknya, hal-hal tersebut yang sedikit banyak mempengaruhi gaya tulisan saya. Saya menjadi lebih senang membuat karya fiksi. Meski demikian, saya tak menampik pentingnya membaca atau menulis berita. Karena menambah wawasan itu perlu.

Kini, segala gerak gerik tak hanya diawasi di dunia nyata. Pergerakan kita di dunia digital pun ada yang mengawasi. Anda mungkin pernah menerima informasi untuk berhati-hati saat mengirim pesan chat atau ketika posting di media sosial.

Hmm, saya jadi teringat film Eagle Eye. Betapa kehidupan manusia telah dipantau dengan sistem operasi komputer cerdas.

Yaps, berhati-hatilah karena kini tak hanya polisi yang bisa mencegah/menindak tindakan kriminal. Di dunia digital pun ada yang namanya cyber army. Singkatnya mereka bertugas mengawasi lalu lintas dunia maya.

Saat ini, sepertinya pers mulai bisa bernafas lega. Di acara puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2021 di Istana Negara, 9 Februari lalu, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pers menjadi ruang diskusi dan kritik untuk penanganan dampak pandemi yang lebih baik.

“Pemerintah terus membuka diri terhadap masukan dari insan pers.”, begitu ujar orang nomor satu di Indonesia ini sebagaimana diberitakan Kompas.com.

Meski para buzzer antikritik menentang keputusan ini, setidaknya hal ini tetap menjadi angin segar bagi dunia jurnalistik. Sepertinya merdeka menulis akan segera didapat tak hanya untuk kaum elite, namun juga bagi kita sebagai rakyat jelata. Semoga saja opini tak lagi berujung jeruji.

Merdeka menulis bukan berarti menyilakan siapa pun untuk berujar apa pun, sekehendak hati dan/atau seenak jidatnya. Ada proses berpikir yang mesti dilalui. Bahkan mungkin perlu renungan mendalam sebelum tombol publish sebuah tulisan di klik. Sebelum sebuah email diluncurkan. Sebelum sebuah surat dilayangkan.

Menjadi penulis bijak amatlah diperlukan agar segala sesuatu tak terasa hambar apalagi ambyar. Tebar manfaat dengan selalu dibalut kejujuran.

Ingat, bukan buzzer atau cyber army yang patut diwaspadai. Karena sesungguhnya segala tindak tanduk kita memang telah ada yang mengawasi.

Jika kau takut pada segelintir manusia, maka lebih takutlah pada Sang Pencipta yang tak pernah lelah maupun tidur dalam mengawasi kita.

Ya … sejatinya, kita memang selalu diawasi, sedari dulu bahkan sampai kita mati.

Semoga bermanfaat dan menginspirasi,

Salam literasi, salam merdeka menulis!

Ditta Widya Utami, S.Pd.

NPA. 10162000676

 

Tinggalkan Balasan