CerBung : Han! Aku Cinta Padamu (33)

Cerpen, Fiksiana148 Dilihat

Cerbung ini khusus persembahan penulis untuk mereka para mahasiswa. Namun juga untuk mereka yang masih berjiwa muda. 

TIGA PULUH TIGA

Kami makan siang di Kantin itu kemudian sholat Dzuhur di mushalla kecil dekat laboratorium kimia. Hanya tinggal 15 menit lagi ujian skripsiku mulai. Setelah berdoa maka aku bergegas segera menuju lantai tiga diikuti Alan dan Aini.

Tepat pukul 13.00 WIB aku sudah duduk tenang di ruang ujian. Didepanku ada 5 orang Dosen Penguji. Aku duduk bak seorang terdakwa.

Bismillah. Ada 5 pertanyaan dari Dosen Penguji I. Tiga dosen Penguji lainnya mengajukan masing-masing 3 pertanyaan. Sedangkan Dosen Penguji yang kelima adalah Pembimbingku sendiri yaitu Profesor Soetrisno.

Alhamdulillah semua pertanyaan dapat aku jawab dengan meyakinkan. Hampir dua jam waktu yang dipakai untuk ujian itu namun selama itu lebih banyak habis karena kami terlibat diskusi begitu asyik tentang satu topik tertentu. Oleh karena itu waktu dua jam tidak terasa. Ujianpun usai dan ketika aku berdiri di pintu keluar ruang ujian itu dengan wajah cerah, aku mengucapkan: “Alhamdulillah.”

Aini menghampiriku sambil menjabat tanganku. Aini memandangku dengan senyum kedamaiannya dan matanya yang indah itu seolah menambah kesejukan meresap dalam hatiku. Sementara itu Alan menjabat tanganku dengan erat sambil memelukku.

Rasanya beban berat itu telah aku jatuhkan dan aku campakkan jauh-jauh berganti dengan kelegaan dan kegembiraan. Aku punya perasaan skripsiku nilainya A. Mengapa tidak? Semua pertanyaan Penguji dapat aku jawab dengan sangat meyakinkan.

Esoknya giliran Aini menempuh ujian. Aku dan Alan seperti biasa hadir untuk memberikan   semangat. Aini masuk Ruang Ujian pukul 8.00 WIB tadi dan sekarang sudah hampir 2 jam berlalu masih belum ada tanda-tanda ujian selesai.

Bahkan 3 jam sudah berlalu. Ngapain saja mereka, pikirku. Beberapa saat kemudian Aini muncul, berdiri di depan pintu keluar Ruang Ujian.

Wajahnya berseri dan senyumnya merekah semakin menawan sehingga membuat gadis ini bertambah cantik saja. Kami menyalami dan mengucapkan selamat.

“Aini! Ujianmu hampir tiga jam seperempat. Lama benar ya! Setelah aku pikir-pikir, oh pantas saja Dosen Pengujinya betah menguji kamu karena kamu cantik. Sampai- sampai para Dosen Penguji itu lupa waktu!” Alan mulai menggoda.

Seperti biasa Aini yang digoda dengan tenangnya tersenyum sambil berkata, “salah sendiri kenapa gadis cantik seperti aku, skripsinya harus diuji.

Padahal sudah jelas skripsiku itu bermutu tinggi dan salahnya lagi sudah bermutu tinggi yang punya skripsi juga cantik. Jadi harusnya enggak usah diuji tapi langsung diluluskan saja,” kata Aini sambil tertawa.

Mendengar jawaban gadis ini, Alan hanya bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sementara aku tertawa berderai bersama Aini.

“Oh ya kalian nanti malam ba’da Isya aku undang ke rumah ada acara syukuran,” kata Aini. Aku dan Alan mencoba menebak ada acara apa yang melatar belakangi syukuran tersebut.

“Syukuran apa dulu Aini?” Alan bertanya namun nampaknya ini kesempatan dia mulai menggoda Aini lagi.

“Tentu saja syukuran keberhasilan kita ini menyelesaikan ujian skripsi dengan lancar dong,” jawab Aini singkat.

“Oh aku pikir syukuran kamu mau dilamar Han!” Kata Alan mulai usil lagi.

Kurang ajar, Si Alan ini ngawur. Namun penasaran aku ingin tahu bagaimana sikap Aini mendengar candaan Alan ini.

Dengan tenangnya Aini menjawab “Oh kalau acara itu tentu saja aku tidak akan mengundang kamu.” Kata Aini kepada Alan sambil gadis ini tertawa lepas tanpa beban.

Bukan main Aini. Dia tetap terlihat wajar dan tidak tersipu menghadapi godaan Alan. Kembali Alan harus garuk garuk kepala yang tak gatal itu. Mati kutu dia.

Aku sebenarnya mengharapkan Aini tersipu-sipu mendengar selorohnya Alan itu tapi ternyata tidak. Sikap Aini yang wajar itu menguatkan dugaanku bahwa Aini selama ini memang hanya menganggapku hanya seorang sahabat seperti dulu.

Aku juga semakin yakin bahwa Aini rupanya masih mengangapku sebagai seseorang yang pernah menjadi kekasih Erika, sahabat karibnya. Jadi? Han jangan terlalu berharap muluk-muluk ya, kata hatiku protes.

Hati kecilku selalu mengajak untuk menginjakkan kakiku di bumi. Apalagi Iqbal almarhum, calon suaminya dulu tentu tidak mudah begitu saja hilang dalam kenangannya.

Untuk menggapai cinta Aini Mardiyah bagai Pungguk merindukan Bulan. Apakah aku harus menyerah? Tidak.

BERSAMBUNG Bab 34. 

@hensa.

Ilustrasi Foto by Pixabay.

Teman-teman bagi penggemar novel sila baca novel di bawah ini, klik saja tautannya.

BACA JUGA Kisah Cinta Jomlo Pesantren.

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar