Hidup Dalam Secangkir Kopi

Kuliner0 Dilihat

Filosofis Lain dari Kopi

Seorang teman mengajak saya ke rumahnya pada suatu waktu. Di depan teras rumahnya yang teduh “terparkir” sebuah pohon mangga yang rindang. Basa-basi mengawali pertemuan kami ketika itu. Secangkir kopi terhidang bersama ubi goreng, sahabatnya. Begitulah dia mengandaikan dua jenis hidangan yang sering hadir bersama-sama itu. Tentu saja tak perlu mendapat tawaran untuk kedua kalinya, jemari saya menyeruput kopi itu lalu menjumput sepotong sahabatnya. Hmm… nikmat sekali. Lidahku tak berhenti menari-nari memporakporandakan penganan itu dan mendorongnya masuk. Hmm… nikmat sekali. Bonus yang nikmat. Bonus? Ah, sabar… nanti akan saya beritahu.

Lidah-lidah yang terbiasa dengan makanan impor biasanya akan sulit meresapi kenikmatan seperti itu. Perlu pengalaman baru untuk dapat merasakan apa yang saya rasakan ketika itu. Secangkir kopi saja sudah memberi kesenangan tersendiri bagi mereka yang menikmatinya. Pagi, siang, dan malam adalah saat terbaik bagi saya untuk menikmatinya. Eits…nanti dulu, ada momennya. Pertanyaannya: mengapa kopi itu terasa nikmat?

Dulu saya kurang menyukai kopi. Pahitnya rasa kopi, tidak mengenakkan, walau diberi tambahan gula. Rasanya aneh. Ketika seorang rekan kerja memberi petunjuk tentang penyajian kopi yang benar, persepsi saya berubah tentang kopi. Saya mulai menyukainya karena aromanya yang khas mewangi. Dia pula yang memberitahu saya “mengapa memilih kopi”. Hidup kita mirip seperti kopi yang dihidangkan itu. Jika pengolahan dan penyajiannya tidak tepat, maka belum tentu dapat diterima orang lain. Seperti kopi yang direbus bersama air putih, Air putih itu adalah pribadi yang dilahirkan polos itu. Kopi adalah pengalaman pahit yang diolah dalam pribadi. Jika pengalaman pahit itu tidak dikelola dengan baik, tentu akan dibuang sia-sia. Pengalaman pahit itu terhidang bersama pengalaman manis secukupnya, tidak banyak, hanya cukup memberi kesan manis di tengah kepahitan. Karena pahit itu telah diolah dalam panasnya maka aromanya menjadi wangi bukan caci maki.

Tidak banyak orang yang menyukai manisnya pengalaman entah sedikit atau banyak. Mereka memperoleh kenikmatan dan makna hidup dari pahitnya pengalaman hidupnya. Setiap orang dapat melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Hal yang perlu dipahami adalah bagaimana mereka dapat memaknai dan menikmati hidupnya dengan penuh arti dan bermanfaat bagi orang lain.

Ngopi yuk …!

Seruput, 18 Okt 2020, pk 9.57

Tinggalkan Balasan