Kabar Cinta

Reuni akbar mungkin bukah hal baru, pernak perniknya melebihi masa sekolah dulu, bagaimana tidak waktu putih abu – abu dengan kantong kosong modal dari orang tua saja sudah berani membuat baju seragam dengan budget pas – pasan, apalagi sekarang yang semua sudah punya penghasilan tebal maka acara gala tentunya lebih meriah bagi yang tebal kantongnya tentu menjadi incaran panita untuk menyumbang lebih, biasa untuk menambah meriah acara dengan pemberian souvenir sebagai tanda kenagan telah dibuat acara reuni akbar tentunya.

Senyum mengembang, reuni tahun ini sepuluh angkatan akan berkumpul tentu saja hati ini berbunga – bunga bagaimana tidak senior dikala itu aku baru duduk di kelas satu jatuh hati pada pandangan pertama setelah pramos melihat wajah yang entah mengapa langsung terpatri lekat diingatan susah dilupakan.

Sudah sewindu kami berpisah tapi hatiku tak goyah, bagaiman pohon beringin yang kokoh sampai ribuan tahun, dua hari yang lalu, entah siapa yang memasukkanku dalam whatspps grup reuni, mengajak bergabung untuk menyukseskan acaranya.

“Asslamaualaikum Ibu guru, masih ingat Bang Aan, maksudnya Andalus Jaya ketua osis angkatan X.” sapanya ramah di chat pertama.

“Walaikumsallam.” Balasku singkat

“Ada acara reuni akbar, tepatnya di sekolah ibu guru, mau ya jadi panitia intinya.” Chatnya lagi

Ya aku mengabdi pada sekolah yang telah mengantarku menjadi mahasiswa undangan di UNRI, titel Sarjana Pendidikan melekat padaku dengan mata pelajaran Akuntansi.

“Bu Guru, jam berapa tidak mengajarnya, biar tidak menganggu jam ibu mengajar.” Ku baca chatnya dengan melihat roster mengajar yang tertempel manis meja kerjaku.

“Setelah pulang sekolah saja Bang, kebetulan besok full ngajarnya.” Balasku

“Tidak ada yang marah jika pulang terlambat.” Mengernyit keningku membaca chatnya, ups aku jadi lupa sudah lama tidak berjumpa tentu saja dia tidak tahu kabar terbaruku yang gagal menikah karena, ah tidak usah di kenang lagi, seperti lirik lagu dari Negara jiran Malaysia.

“Tidak.” jawabku singkat membalas chatnya.

“Ok, besok pukul 15.00 sudah berada di sekolah.” dengan memberikan emoticon tangan ditangkup dan jempol

Aku hanya tersenyum melihatnya tidak ada niat untuk membalasnya lagi.

***

Ini pertemuan kedua kami, sungguh terkejut ketika Bang Aan mengatakan statusnya yang duda. Cerita mengalir yang tak ku sangka ternyata belum diwisuda Bang Aan meningkah baru setahun ini bercerai mati karena istrinya meninggal karena sakit kanker payudara, duda keren istilah anak sekarang. Bagaimana tidak keren jabatan tinggi di perusahaan swasta di kabupeten kami yang bekerja sama dengan Negara asing, dengar – dengar gaji perbulan 25 juta karena dia S2 sarjana teknik.

“Sarah jadi sekretaris Abang ya.” ucapnya pada pertemuan pertama membuat netraku membulat tak percaya

“Eh maksudnya sekretaris reuni akbar.” Membenarkan ucapannya sehingga kami tersenyum canggung.

Satu persatu personil panitia tiba setelah hampir satu jam hanya aku dan Bang Aan yang datang terlebih dahulu.

“Kami yang terlambat atau kalian yang kecepatan.” Ucapan Bang Andra membuatku melirik Bang Aan, jangan – jangan aku di bohongi Bang Aan sewaktu menjemputku tadi.

Rembukan yang memakan waktu lebih kurang empatnya sejak jam delapan pagi aku keluar rumah akhirnya tuntas, azan zuhur berkumandang. Kami sepakat sholat berjamah di Masjid Baitul Rahman Kabupeten yang bentuknya sengaja seperti masjid Madinah.

Setelah sholat rencananya kami akan makan siang bersama di rumah makan Raja Hasan yang terkenal di kabupaten kami, rumah makan yang menyajikan lauk baru masak sehingga menggugah selera pelangan yang datang walaupun harus menunggu lebih kurang dua puluh menitan untuk menyantapnya. Tapi semua panitia inti seperti kompak mengatakan tidak bisa, sehingga sekarang hanya tinggal aku dan Bang Aan yang makan siang.

Sebenarnya aku menolak karena tidak enak, tapi Bang Aan mengatakan sudah membooking tempat, tidak enak rasanya membatalkannya. Makan siang yang canggung akhirnya terpaksa aku alami siang ini sehingga seleraku hilang padahal aku sudah membayangkan akan menikmati ikan pari bakar dan sotong bakar.

Belum makan berakhir telephon Bang Aan berbunyi.

“Ya, Ma Aan jemput Intan sekarang.” Aku mendengar sekilas percakapan Bang Aan di telephone entah dengan siapa.

“Sarah ada kegiatan lagi?” hampir aku tersedak air kepala yang langsung disajikan dari buahnya

“Tidak Bang, ada apa?” ucapku malu sambil mengelap air kelapa yang muncrat keluar dari bibirku.

“Temani Abang menjemput anak Abang Intan dirumah Mak. Mau ya?” ucapnya dengan nada penuh harapan, dengan terpaksa aku mengangguk sekedar membalas budi karena sudah ditraktir makan siang ini.

Hanya memakan waktu dua puluh menit kami sampai di rumah Mak Bang Aan aku turun menganggukkan kepala kepada Mak Bang Aan.

“Bukannya ini Ibu gurunya, Nina.” Ucap Mak Bang Aan membuatku terkejut.

Nina adik bungsu Bang Aan memang bersekolah ditempatku mengajaran kepala kepada Mak Bang Aan.

“Bukannya ini Ibu gurunya, Nina.” Ucap Mak Bang Aan membuatku terkejut.

Nina adik bungsu Bang Aan memang bersekolah ditempatku mengajar. Aku mengambil anak perempuan yang mungkin berumur satu setengah atau dua tahun yang disodorkan oleh Mak Bang Aan.

Sungguh menakjubkan dia diam dalam gendonganku, tangan mungilnya meraba seluruh wajahku sambil memamerkan senyum lucu yang membuatku gemas memandangnya.

“Ini Sarah Mak, adik kelas Aan sewaktu SMA. Kami akan mengadakan reuni akbar, tadi pertemuanya.” Jelas Bang Aan kepada Maknya.

“Sudah sana bawa anakmu pulang Mak dah terlambat acara wirid yasinya.” Ucap Mak Bang Aan siap melangkah meninggalkan kami menaiki mobil yang sudah menunggunya sejak tadi.

***

Mobil berhenti di masjid Baitul Rahman sekali lagi, azan azar sudah berkumandang.

“Maukan menemani Abang jalan – jalan sore.” Aku terpaksa mengangguk lemah, ini bukannya meminta izin tapi pemaksaan, sebenarnya aku sudah curiga ketika mobil meninggalkan rumah Mak Bang Aan, kenapa jalur ke coastal area yang menjadi pilihan jalan Bang Aan, tapi karena bermain dengan anaknya Intan aku lupa menanyakannya.

Setelah bergantian sholat azar karena tidak mungki berjamah karena Intan terlalu kecil untuk tinggal sholat.

Mobil berjalan menuju pusat wisata di Kabupatenku coastal arean, hari minggu tentu banyak mengunjung ada yang hanya berjalan mengisi hari ada juga yang berolah raga sore, jalan panjang yang lenggang karena tidak ada transportasi umum melewatinya hanya mobil dan motor pribadi memungkinkan menjadi tempat oleh raga sore, baik yang menaiki sepeda ataupun jalan santai.

Mobil diberhentikan Bang Aan di pinggir jalan yang ada kursi santi yang disedia oleh Pemda. Setelah aku duduk disana, Bang Aan permisi untuk membeli makan kecil dan minuman yang katanya untuk menemani duduk santai kami sore ini.

Sambil menunggu Bang Aan, wajah imut Intan membuatku banyak tersenyum sore ini, kasihan sekali anak sekecil ini harus di tinggal Ibunya, batinku sedih sambil terus mengajaknya bermain. Suara kecil yang entah apa maksudnya membuatku merasa gemas dan berulang kali menciumnya.

“Abang membeli otak – otak, kue karipap dan air tahu hangat untuk Sarah dengan Intan, Abang yang dingin.” Ucapnya menjelaskan sambil meletakkan semua yang dibelinya pada bagian kursi kosong tempat kami duduk, aku hanya tersenyum melihatnnya dan meneruskan bermain bersama Intan anaknya.

“Sarah kenapa belum menikah?” ucapanya membuatku melirik sekilas dan meneruskan bermain bersama Intan kecil.

“Maaf jika Abang menyingung perasaan Sarah, tidak perlu dijawab.” Ucap Bang Aan sambil menyerup air tahu dari pipetnya.

“Belum di temukan jodoh yang tepat sama yang diatas.” Jawabku sekenanya.

“Menikah dengan Abang, mau?” aku tertawa canggung tanpa berani melihat Bang Aan, untung ada anaknya Intan, yang bisa menjadi penutup gugupku saat ini.

“Memang Abang jodoh Sarah?” asal aku mengucapkannya.

“Iya, Abang yakin Abang jodoh Sarah.” Tegas jawabanya sambil mengambil Intan dari gendonganku membuatku terkejut karena tangan kami bersentuhan, ada rasa aneh yang tiba – tiba menyusup direlung hatiku dan memberikan rasa hangat.

Lama kami dalam keadaan diam, rasa canggung membuat kami saling membisu, hanya suara Intan yang mengoceh khas balita yang belum fasih bicara yang terdengar saat ini.

“Mama.” Spontan aku dan Bang Aan melihat kepada Intan yang mengatakan Mama mencoba melepaskan diri dari Bang Aan dan berusaha mengapai diriku.

“Iya sama Mama.” Ucap Bang Aan yang membuatku malu setengah mati, tapi tetap mengambil Intan yang berada dalam gendongan Bang Aan.

“Mau ya jadi Mamanya Intan.” Suara Bang Aan terdengar lagi.

“Jawab Iya Sarah, malam ini juga Abang datang meminang.” Ucapanya langsung membuat jantung berpacu cepat, semu merah langsung menjalar wajahku. Menutup Maluku, aku menyembunyikannya di badan Intan yang berada dalam dekapnku saat ini.

“Memangnya sudah ada persiapan untuk masuk meminang.” Ucapku malu

“Sudah, semuanya sudah dipersiapan, semua tentang Sarah sudah ada di tangan Abang, tak ada kabar tentang sarah yang Abang tidak tahu .” Jawabnya mantap.

Aku menantap lekat netra dengan manik warna coklat pekat, menanyakan kabar cintaku apakah akan berlabuh padanya. Senyumku mengembang seirign anggukan kepala menjawab bersedia menjadi Mama untuk Intan anaknya.***

 

Tinggalkan Balasan