Dermaga Keikhlasan (1)

Sesuatu yang bening belum tentu jernih, sesuatu yang berdebu belum tentu kotor. Aku memadangnya dengan netra yang lelah, sudah beberapa kali aku melihatnnya, entah permainan takdir seperti apa yang Allah citptakan untukku.

Melihatnya tertawa lepas, itu sudah lama sekali. Diawal pernikahan kami sampai dengan tahun ke lima pernikahan aku masih bisa melihat tawa lepas dari bibirnya. Tapi setelah itu bagaikan tertelan bumi, semua tawa bahkan senyumpun tidak lagi terlihat di bibirnya, dan lihatlah setelah bersamanya yang aku tidak tahu siapa, tawa serta senyum yang sempat ditelan bumi naik kepermukaan.

Hari ini seharusnya menjadi moment penting buak kami, angka sepuluh sejak dia mengubapkan ijab qabul atas diriku, menjadi momen intropeksi diri buatku. Apa dengan pernikahan kami, apa yang telah aku lakukan untuk pernikahan kami, sebagai istiri apakah aku sudah menjalankan kewajibaku dengan benar sesuai syariat yang telah ditentukan ketika aku menjabat status sebagai istri.

Melangkah menjauh, bukan karena aku tidak berani untuk menyapanya tapi aku mengingat betapa sebagai seorang istri kadang lupa kewajibanku, aku malu dengan diriku. Saat ini aku ingin bertanya pada diriku sebelum aku mengajukan pertanyaan kepadanya.

***

Aku mengurung diri dalam gelapnya kamar kami, sejak pulang dari sore tadi aku mengurung diri. Semua rencana yang telah aku susun, untuk menyambut annivasary pernikahan kami yang ke sepuluh seperti terlewatkan dari memoriku.

Duduk dalam diam mencari dan mengali apa saja yang telah aku lakukan selama menjadi istrinya, sepuluh tahun bukan waktu singkat tapi rasa cintaku kepadanya membuat aku takut jangan – jangan aku yang membuat dirinya tidak lagi bisa tersenyum apalagi tertawa lepas seperti tadi pemandangan langka setelah lima tahun pernikahan kami.

Bang Faisal, lelaki yang telah mengucapkan ijab qabul atas namaku. Sosok sempurna yang melengkapi hidupku.

Aku Ratih Kemala, sosok perempuan perkasa. Aku lahir dalam kekerasaan hidup, menjadi anak tertua dari tiga bersaudara setelah Ayah dipanggil oleh-Nya ketika aku berumur delapan belas tahun. Kuliah dengan biaya sendiri, karena ibu hanya ibu rumah tangga yang mengharapkan pesiun Ayah yang pegawai negeri.

Keras kepala, watakku yang mungkin tidak semua orang bisa mentoleransinya hanya Bang Faisal satu – satunya laki – laki yang dengan tegas menerimaku ketika aku mengatakan tidak ingin menjalin hubungan pertemanan tapi langsung kepernikahan kepada setiap lelaki yang mendekatiku.

Belum lagi syarat lain, dimana Ibu dan kedua adikku menjadi prioritasku untuk membahagiakan mereka. Senyumku lirih, selama ini sosok pengertian itu telah membelengu hatiku sehingga aku merasa apa yang menjadi khilafnya saat ini adalah karena diriku yang memaksanya.

***

Kamar yang tiba – tiba terang, membuat kesadaranku pulih, aku memandang ke sosok yang berdiri tegak di depan pintu kamar, senyum yang dipaksakan terlihat jelas di bibirnya. Aku memandanginya bukan maksud ingin menelanjanginya tapi aku ingin melihat lebih jelas seperti apa sosok yang bergelar suamiku saat ini.

Langkahnya menuju ke arahku, netra kami bertemu tapi aku melihat kegelisahan di sana. Semakin dekat semakin jelas aku melihat ada yang disembunyikan oleh netranya. Fikiranku melayang sudah berapa lama kami tidak saling memandang dalam cinta, apakah cinta itu telah hilang. Apakah janjinya untuk tetap menjaga cinta kami, hanya tinggal janji yang tidak bisa dia tepati sampai ajal menjemput kami.

Sentuhan tangannya di pipiku terasa dingin, tidak seperti biasanya hangat. Netra kami masih menatap, dengan terpaksa aku menyempurkan senyumku hanya untuk menyenangkannya.

“Sakit, tidak biasanya suasana kamar temaran begini.” Ucapnya memecah kesunyian diantara kami.

“Maaf terlambat pulangnya.” Aku hanya memperhatikan mulutnya yang terus mengucapkan kata.

“Ratih, kamu kenapa?” melihat aku masih diam, sekali lagi aku melihat mulutnya berucap.

“Sedikit pusing, Abang sudah makan. Pasti sudah tidak mungkin belum sudah jam sebelas malan.” Ucapku sambil melirik jam dinding.

Aku bertanya dan aku juga menjawab pertanyaanku, aku beranjak dari tempat tidur berjalan menuju pintu, terasa panas aku butuh sesuatu yang bisa menyejukkan tenggorokan dan hatiku.

Berjalan melewati Bang Faisal yang masih diam membatu setelah mendengar kalimat yang terlontar dari bibirku.

Derap langkah mengikuti jejakku menuju dapur, tak aku hiraukan. Menghidupkan saklar ruang makan. Aku lupa jika tadi aku meletakkan kue cake yang aku beli untuk merayakan hari pernikahan kami. Aku mengambil kotak kue dan akan membuangnya ke tong sampah. Tapi tangan bang Faisal merebut kotak yang aku pegang.

“Kenapa dibuang.” Ucapnya cepat, secepat tangannya membuka kotak kue, aku melihat netranya membulat setelah membaca tulisan di atas kue tersebut.

“Maaf Rat, Abang lupa. Tapi kenapa mau dibuang kita bisa merayakannya sekarang belum lewat pukul dua belas malam.” Ucapnya cepat sambil membuka kotak kue dan meletakkannya diatas meja makan.

“Karena Abang sudah melupakkanya, Ratih rasa tidak perlu kita mengingatnya lagi.” Ucapku datar.

Aku mengambil gelas dan membuka lemari es mengambil air dan menuangkannya, melesap tuntas air dalam gelas. Setelah meletakkan gelas dalam bak cuci piring, aku melangkah menuju kamar tanpa memperdulikan tatapan aneh Bang Faisal kepadaku.

“Rat, kamu marah. Ini tidak seperti Ratih yang Abang kenal. Hanya masalah sepele, Ratih marah. Ingat kita sudah sepuluh tahun menikah Rat.” Ucapnya sambil menjejeri langkahku dan berusaha meraih tanganku. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan