Pernikahan dan rumah tangga butuh pengorbanan dalam menjalaninya, banyak onak dan duri tidak sebanding dengan rasa bahagia yang akan dinikmatinya. Semua itu butuh dua pasang hati manusia yang berjenis kelamin wanita dan pria untuk membuatnya menjadi realita rumah tangga SAMAWA.
Rumah tanggaku, ya rumah tanggaku yang sepuluh tahun lalu, aku harungi bersama suamiku tercinta, tapi apakah sekarang cintanya sebesar cintanya pada saat dia mengucapkan ijab Kabul menjadikan aku satu – satunya wanita yang bahagia saat ini, aku tidak tahu.
Detak jam dinding terdengar jelas pertanda hari sudah larut, sehingga suarannya jelas terdengar. Semua orang sudah larut dalam mimpi mereka masing – masing, sementara aku masih duduk dengan setia menanti suamiku pulang. Semakin besar jumlah tahun pernikahan kami semakin malam pula suamiku pulang kerumah. Aku menoleh sebentar ke arah jam dinding model klasik yang kokoh berdiri di sudut ruang tamu rumahku.
Entah berapa lama aku terlelap dalam tidur tidak nyenyakku di sofa ruang tamu, tubuhku meringkuk kedinging yang membuatku terjaga, melirik sekilas ke jam dinding, astafirullah pukul tiga pagi, batinku. Kemana suamiku, sudah jam segini belum juga pulang kerumah. Aku menatap nanar gawaiku di meja tamu, meraihnya dan ingin mencari informasi suamiku nama tahu menelepon. Ada satu pesan di gawaiku, tertera dari suamiku, secepat kilat aku membukanya.
“Maaf Ma, hari ini Papa tidak pulang. Tidak sempat pulang, langsung ke Batam ada urusan mendadak.” Mataku tidak percaya dengan tulisan yang aku baca, sampai segitunya suamiku, usaha sendiri tidak ada yang mengaturnya sampai tidak sempat untuk pulang kerumah dan mengabariku hanya lewat pesan saja.
***
Sudah tiga hari tidak ada kabar dari suamiku, sudah berpuluh pesan di kolom chat aku kirim, dibacanyapun tidak.
Flashback
“Alhamdulillah, sudah sah sekarang Hani sudah jadi milik Abang.” Senyumku mengembang tadi pagi baru saja suamiku mengucapkan ijab Kabul.
“Alhamdulillah.” Jawabku sambil malu – malu
“Hani harus menjaga hati Hani, mulai hari ini hati Hani hanya milik Abang.” Ucapnya sambil menatapku dengan segenap perasan cintanya yang membuatku tersanjung.
“Abang juga harus menjaga hati Abang hanya untuk Hani.” Balasku
“Abang akan selalu menjaga hati Abang untuk Hani, Abang janji.” Tangan kami saling memberikan kehangatan.
“Sudah lama Abang mengejar Hani dengan segala kekuatan cinta, dan akhirnya Abang menjadi suami Hani.” Ucapan suamiku lebih kepada dirinya sendiri, aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Hani, teruslah mencintai Abang sampai maut memisahkan kita.”
Aku hanya mengangguk menjawab permintaan Suamiku.
“Han, jika Abang khilaf dan salah jalan, ingatkan Ab”.
belum selesai ucapan suamiku, tanganku sudah menutup mulutnya.
“Hani percaya Abang akan selalu menjaga hati Abang, seperti Hani akan menjaga hati Hani hanya untuk Abang.” Ucapku sungguh – sungguh.
***
Menetes airmataku jika mengenang masa dimana Suamiku mengatakan akan menjaga hati kami, tapi semenjak kebelakangan ini, dia suamiku sudah lupa dengan janjinya.
“Han, jangan manja sudah tua. Anak – anak sudah besar.” Ucapanya sungguh membuat hatiku meringis
“Bang sudah lama kita tidak pergi berdua.” Aku memelas kepada suamiku
“Sekarang lagi banyak pekerjaan, rugi kalau pergi sekarang.” Tanpa bersalah suamiku berkata ringan.
“Kita tidak pernah punya masa berdua lagi Bang.” Aku memasang wajah memelas
“Waktu kita masih banyak. Setiap hari Abang melihat wajahmu hampir bosan.” Sungguh aku tergangga mendengar perkataan suamiku yang menusuk hati.
“Abang.” Kalimatku terputus melihat suamiku melenggang meninggalkan diriku tanpa bisa aku mencegah kepergiannya.
***
Kini hati kami tidak bisa bersama, hati yang katanya akan saling menjaga, hanya tinggal aku yang menjaganya. Sementara suamiku seakan lupa akan menjaga hatiku. Aku memandang ke luar berharap luas pandanganku akan membuat hatiku menjadi lebih ringan, tapi nyatanya hatiku tambah berat dengan semua perbuatan suamiku. detak jantungku seakan lupa dengan kenyataan dua hati kami semakin jauh. Langkah mendekat tidak membuat aku peka, tidak seperti biasanya hatiku akan tahu jika suamiku menghampiri.
“Abang akan ke Batam seminggu.” Bukan meminta izin hanya pemberitahuan saja diteligaku
“Hani ikut ya Bang?” ucapku spontan
“Ada urusan usaha, kamu pasti bosan.” Jelas suamiku mengelak mengajakku
“Hani sudah tua Bang, pasti bisa mengatasi rasa bosan Hani.” Aku berkeras untuk ikut
“Anak – anak butuh kamu di sini Hani.” Masih saja suamiku tidak berniat mengajakku dengan memberikan alasan.
“Ya sudah, Hani ajak Salwa saja biar ada yang menenami Hani.” Aku masih mencari cara untuk ikut.
“Salwa sekolah, jangan di ganggu belajarnya.”
Aku mengerjitkan keningku, ternyata sudah terlalu jauh hati suamiku bukan hanya dari hatiku juga keluarganya.
Mataku memerah, bagaimana tidak biasanya liburan sekolah anak kami Salwa, selalu kami habiskan dengan berwisata ke Negara jiran jika tidak ke Malaysia kami akan ke Singapur. Jika tidakpun kami akan ke Batam, dan sekarang libur sekolah.
“Bang Salwa lagi libur sekolah.” aku mengingatkannya
“Sudah libur Salwa, Bang.”Suamiku berusaha menutupi raut terkejutnya dengan suara yang benar – benar terkejut mendengar ucapanku.
“Ya sudah Hani pergi berdua dengan Salwa saja, apa tidak perlu takut kami tidak akan menganggu kencan Abang.” Ucapku kesal dan meninggalkan suamiku dengan langkah besar sambil menahan sakit di ujung hatiku yang mulai mengeluarkan darah.
“Hani, kamu itu bicaranya jangan sembarangan.” Jerit suamiku tapi tidak aku pedulikan.
Sambil membanting pintu kamar kami. Aku berlari menuju garasi meraih motor scoopy dan berlalu meninggalkan rumah.
***
Hatiku luka, sudah lama aku memendam rasa. Sudah cukup hatiku yang terluka, lebih baik aku memikirkan hatiku daripada hanya menjaga hatinya. Kubuka lagi foto yang terkirim ke gawaiku, teganya suamiku memeluk wanita selain diriku, senyumnya yang lama hilang di rumah kini hanya milik perempuan dalam foto ini. Senyumnya mengembang sempurna buat wanita itu,tapi untuku senyum itu sirna.
“Maaf, jika aku sekarang yang memiliki hati suamimu, besok kami akan berlibur ke Batam. Aku harap kau tidak akan menghalanginya ke Batam bersamaku” Isi chat yang ku terima setelah sebelumnya foto yang masuk ke gawaiku. Hatiku benar – benar hancur, tapi aku masih bersabar, ku pujuk hatiku untuk menanti suamiku mengatakan kebenaran dari gambar serta chat yang ku terima, tapi kita aku yakin hati kami tidak satu lagi tapi dua. Tak ada yang dibisa dipertahankan dari hati yang mendua, lebih baik aku menjaga hatiku dari terluka lebih jauh, sejauh motor scoopyku meninggalkan rumah***