Pak Daud datang untuk merisik.” Dor jantungku seperti terkena tembakan yang membuat sekujur tubuhku merasa sakit, dan yang paling sakit adalah hatiku.
Pak Daud yang seumuran Pak Cik berniat melamarku menjadi pendamping hidupnya, hartanya memang banyak tapi aku bukan orang yang tergila akan harta. Walaupun aku masih sendiri bukan berarti aku harus menerima pinangannya. Hidup menumpang bukan berarti Mak Cik bisa semena – mena dengan hidupku, ada benda cair panas di sudut netraku, ku hapus dengan cepat jangan sampai Mak Cik melihatnya.
“Pak Daud nak merisik siapa Mak Cik.” Ucapku berpura – pura tak tahu.
“Merisik Kak Mira Mak Cik.” Lanjutku lagi
“Eh merepek apa pulak kau Sinta, tak mungkin Pak Daud merisik Mira pulak.” Berang Mak Cik dengan intonasi naik satu oktaf.
“Mira lebih tua tiga tahu dari Sinta Mak Cik, sudah sepantasnya Kak Mira yang menikah dulu.” Ucapku prontal berusaha menekan tutur kataku.
Aku melihat Pak Daud memandang Kak Mira, dan tersenyum.
“Maaf Pak Daud, saya baru dipromosikan naik jabatan, dalam waktu dekat ini saya tidak boleh menikah oleh pihak perusahaan. Jika Pak Daud datang untuk merisik Saya, terpaksa Pak Daud menunggu tiga tahun lagi, tapi jika merisik Kak Mira, insyaallah dalam waktu dekat pasti bisa menikah” Ucapku setenang mungkin.
Aku melihat paras wajah Mak Cik yang memerah dengan netra yang sudah mau keluar dari cangkangnya.
Aku berlalu meninggalkan semua yang berada di ruang tamu dengan perasaan kesal yang mendalam.
***
Sejak magrib tadi aku mendengar suara ribut antara Pak Cik dan Mak Cik, tak niatan untuk keluar kamar mendengarkan apa yang mereka ributkan.
Sayup – sayup aku mendengarkan ketukan di pintu kamarku, aku melepaskan headphone dari telingaku. Benar ada yang mengetuk pintu kamarku, aku membangunkan diriku dari posisi tidur dan berjalan menuju pintu. Panel pintu terbuka, aku melihat wajah Kak Mira yang kesal
“Di panggil Ayah tu.” Ucapkan singkat dan meninggalkanku begitu saja.
Aku melangkah menuju ke tempat Pak Cik dan Mak Cik berada. Aku mengambil kursi yang kosong di antara mereka berdua. Aku memandang wajah kesal Mak Cik sebentar kemudian beralih memandang wajah Pak Cik.
“Sinta benar dipromosikan naik jabatan.” Ucapan Pak Cik ku balas dengan senyuman.
“Alhamdulillah, Pak Cik bersyukur. Pindahlah dari rumah ini, hiduplah dengan bahagia Nak.” Netraku membulat mendengar ucapan Pak Cik
“Mana boleh macam tu, Bang. Trus Pak Daud bagaimana?” suara galau Mak Cik bergema
“Itu bukan urusan Aku, Awak yang berjanji. Jangan hancurkan masa depan keponakan Aku yang sudah banyak berkorban selama ini.” Setelah mengucapkan itu Pak Cik berlalu, meninggalkan Aku dan Mak Cik. Akhirnya aku menyusul Pak Cik meninggalkan Mak Cik sendiri menuju kamarku.
***