Aku mengejar langkah kecil menuju kamar, bukan maksudku untuk pulang terlambat hari ini, tapi yang namanya bawahan tentu harus patuh dengan atauran perusahaan.
“Ma kenapa Hana tidak punya Ayah seperti teman – teman yang lain kalau ada Ayah tentu Ayah akan menemani Hana jika Mama sibuk bekerja.” Suara itu sungguh membuatku hiba.
“Hana mau Ayah.” Isaknya membuat hatiku pilu
Melihat sinar mata yang berbinar redup, sungguh aku tidak sanggup untuk mengatakan tidak padanya. Hidupku hanya untuknya setelah selama ini aku bertahan hanya untuknya, tapi hari ini aku harus kalah dengan permintaannya yang sungguh akan membuat hatiku hancur berkeping – keeping dan tak bisa di tata lagi.
“Ma.” Suara kecil itu membuatku melupakan sejenak rasa sakit yang pernah ditorehkan oleh lelaki yang bergelar Ayah untuknya. Aku memeluk tubuh kecil yang selam ini menemani hidupku setelah Ayahnya menduakanku.
Bukannya aku tidak mau di madu, jika Dia memintanya baik – baik aku pasti akan mengabulkan permintaanya. Tapi alasannya memduakanku sungguh membuatku merasa tidak berharga. Dengan mengatakan aku tidak bisa memberikan keturunan kepadanya dia menikah, padahal saat itu aku sedang mengandung calon anaknya. Rahimku tumbuh benihnya yang sudah mulai bergerak bagaimana tidak sudah lima bulan ini aku dinyatakan hamil, sungguh terlalu.
Sejak itu pula dia tidak pernah pulang ke rumah, rumah istri mudanya yang menjadi istana hidupnya. Tanpa pernah memikirkan anak yang dalam kandunganku membutuhkan sosok Ayah.
Ya Allah tolong Aku, bagaimana mengatakann kepada bocah berusia tiga tahun bahwa Ayahnya tidak pernah menganggap dia ada.” Batinku.
Pernah sekali kami bertemu di puskesmas, ketika Hana sakit, bukannya dia mendekat menanyakan kabar Hana, tidak usah menanyakan kabarkupun aku tidak apa – apa. Malah seperti melihat setan dia menghindar, sungguh membuat hatiku yang terluka bertambah luka dibuatnya.
***
“Ma, Kepala Hana pusing.” Rintihannya membuat sudut mataku berair
“Hana pengen di peluk Ayah.” Keluh kesahnya beberapa hari ini, selalu meracau minta dipeluk Ayahnya.
Akhirnya pertahananku bobol, air mata tak bisa lagiku tahan. Sambil menyembunyikan air mataku sengaja aku mengendong Hana dengan meletakkan kepalanya di bahuku sehingga Hana tidak melihat air mataku yang turun dengan derasnya
“Ayah belum bisa pulang sayang.” Ucapku tersendat dalam kebohongan yang aku ciptakan. Semenjak Hana sakit dan selalu bertanya tentang Ayahnya terpaksa aku berbohong dengan mengatakan Ayahnya sedang bekerja di luar negeri sebagai TKI dan belum bisa pulang.
Aku memandang langit dari jendela Hana, memikirkan bagaimana caranya membuat Hana tidak bertanya mengenai Ayahnya, ingin aku mengatakan bahwa Ayahnya sudah meninggal tapi hati kecilku tidak tega. Hana yang dalam pelukanku terus merasa gelisah tidurnya terganggu oleh igauan yang selalu menyebut ingin dipeluk Ayahnya.
***
Menunggu nomor antrian di rumah sakit, sudah setengah jam aku menunggu gilaran untuk Hana diperiksa, ketika aku tersadar ada sepasang mata yang memperhatikanku. Langkahnya semakin mendekat kearah Aku dan Hana, seakan tak percaya sosok lelaki itu ternyata Ayahnya Hana. Tangannya terulur memegang pucuk kepala Hana dan mengelusnya, seperti tahu Ayahnya ada, Hana membuka mata dan memadang kearah sosok yang mengelus kepalanya.
“Ayah, Ma Ayah sudah pulang.” Suara lemahnya berkata, tapi aku masih belum bisa berkata – kata.
“Sayang sakit.” Ucapan Ayah Hana yang langsung di iyakan Hana dengan cara mengoyangkan kepalanya.
“Sini gendong sama Ayah.” Tanpa meminta persetujuanku Hana sudah beralih tangan, Hana sekarang dalam gendongan Ayahnya.
Mataku terus menatap ke arah mereka, Hana tenang dalam gendongan Ayahnya. Kepala Hana kecil bersandar pada dada Ayahnya, dada yang dulu menjadi sandaranku jika sendang ingin dimanja, tapi itu dulu. Entahlah dada itu tidak lagi membuatku merasa nyaman di dekatnya, seakan tersadar dari kenyataan secepat kilat aku merebut Hana dari gendongan Ayahnya setelah mendengar nama Hana di panggil untuk giliran diperiksa dokter.
Langkahku besar, meninggalkan Ayahnya Hana. Aku duduk di depan dokter sambil menerangkan apa yang di rasa Hana menurut apa yang aku lihat, dokter minta perawat untuk meletakkan Hana di tempat periksa. Aku menatap pintu ruangan Dokter, netraku seakan tidak percaya aku melihat Ayahnya Hana berdiri di sana, dan melangkah masuk serta duduk di kursi sebelahku. Memandangku dengan pandangan yang sulit aku artikan, setelah memeriksa Hana dokter duduk kembali di hadapanku.
“Saya Ayahnya Hana.” Suaranya terdengar begitu netra dokter yang menjadi langganan Hana berobat melihat kepada Ayah Hana.
Tatapan dokter beralih kepadaku, hanya anggukan kecil yang bisa aku berikan ketika aku melihat tatapan dokter Bela bertabrakan dengan netraku.
“Hana hanya merindu Ayahnya saja, untunglah bapak sudah ada sekarang. Silakan ambil vitamin di apotik untuk membantu suplemen buat Hana.” Dokter Bela berkata.
“Terima kasih dokter.” Sambil mengucapkan itu Aku mengambil Hana dari tempat periksa, tapi langkahku kalah cepat, sekarang Hana dalam pelukan Ayahnya. Aku tidak mau membuat keributan di ruang periksa akhirnya aku mengikuti langkah Ayah Hana yang sudah mendahuluiku.
“Aku antara Kamu dan Hana.” Ucapnya Ayah Hana ketika kami sudah keluar dari ruang periksa.
“Tidak, terima kasih berikan Hana kepadaku.” ucapku sambil berusaha mengambil Hana dari gendonganya
“Aku tahu aku salah, Sha. Berikan aku kesempatan untuk menebus salahku.” Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut suamiku. setelah dia mengantungku tanpa tali mau dibilang janda tapi aku tidak pernah mendapatkan surat cerai darinya.
“Pertimbangkan kesehatan Hana, aku mohon.” Aku akhirnya harus mengalah dengan kondisi Hana.
Aku melihat Hana terlelap dengan nyenyak dalam dekapan Ayahnya, akhirnya aku mengikuti langkah suamiku menuju mobil yang diparkir.
***
Aku memandang gundukan pusara belahan jiwaku, netraku penuh dengan butiran air mata yang tidak mau berhenti menetes, ada sebak yang sangat menyakitkan dadaku. Pelayat sudah satu jam yang lalu pulang hanya tinggal aku yang masih memandangi pusara ini.
Flashback
Hana sudah tertidur di kamarnya, sudah setengah jam Bang Irwan di rumahku setelah mengantarkan aku dan Hanan pulang ke rumah dari rumah sakit.
“Maafkan Abang, Shanaz.” Ucapan yang sebenarnya tidak lagi aku tunggu dari mulut Bang Irwan.
“Biarkan Abang menebus kesalahan Abang, biarkan Abang dekat dengan Hana mulai sekarang.” Lanjut Bang Irwan dengan raut muka bersungguh – sungguh. Tapi sedikitpun hatiku tidak tersentuh dengan ucapannya.
“Pulanglah Bang, kami tidak membutuhkan Abang. Kami bisa hidup sendiri.” Ucapku datar
“Tapi Hana membutuhkanku, Hana rindu Abang, itu yang membuat dirinya sakit.” Ucap Bang Irwan seperti mengingatkanku ucapan dokter Bela ketika memeriksa Hana tadi.
“Jangan memanjakan Hana dengan kehadiran Abang yang hanya sementera. Shahnaz tidak mau nanti kekecewan Hana bertambah besar ketika abang meninggalkannya lagi.” Ucapku dengan kesal yang mendalam.
“Abang tahu ini memang kesalahan Abang Sha, tapi Abang tidak mau kehilangan anak lagi.” Ucapan Bang Irwan membuatku tersenyum sinis. Aku sudah mendengar, anak bang Irwan baru saja meninggal dunia karena deman berdarah.
“Itu yang Aku tidak mau Bang, biarkan kami sendiri. Abang masih bisa punya anak lagi, nanti setelah abang punya anak lagi, pasti abang akan meninggalkan Hana.” Ucapku ketus dengan nada tinggi.
“Shinta tidak bisa punya anak lagi Sha.” Ucap Bang Irwan dengan nada sendu
Aku terkejut mendengarnya, tapi aku sudah terlanjut sakit.
“Cari saja lagi istri yang bisa memberi Abang anak.” Ucapku
“Sha kau.” Ucapan Bang Irwan terputus ketika aku bersuara
“Bukankan itu yang dulu abang lakukan, kenapa sekarang tidak bisa abang lakukan lagi.” sekarang suaraku agak serak karena menahan pedih yang mendalam di hatiku.
Akhirnya Bang Irwan pulang setelah hampir dua jam kami bersitegang urat, keputusanku tetap aku tidak mengizinkan Bang Irwan menemui Hana.
“Hana maafkan Mama, bukan ini yang Mama inginkan.” Isakku dipusara Hana, ada sesal dihati dengan tidak mengizinkan Bang Irwan menemui Hana. Sekarang Hana tidak hanya menjauh dari bang Irwan tapi aku juga harus kehilangan Hana, belahan jiwaku meninggalkanku sendiri dalam penyesalan yang mendalam.***