Seribu Rasa (3)

Terbaru93 Dilihat

Suara terahim terdengar dari toa masjid yang lumayan dekat dengan rumah membangunkanku, menilik sebentar di atas ranjang. Mata kami beradu, sungguh aku tidak berharap Bang Zikra sudah bangun. Mengalihkan netra secepat mungkin, meletakkan bantal di ranjang. Kakiku ku ayun menuju kamar mandi.

“Al, mengapa tidur di bawah.” Ucapan Bang Zikra mengema sebelum aku masuk ke kamar mandi.

“Tidak ada tempat di ranjang untuk Alia.” Ucapku sambil menutup pintu kamar mandi.

Setelah dengan ritual mengosok gigi dan mengambil wudhu, aku berjalan mengambil perlengkapan sholat.

“Al, tunggu Abang kita sholat bersama.” Ucap Bang Zikra yang sempat membuatku menolehkan padang padang tak percaya, hanya anggukan kepala yang aku berikan.

Selesai mengaminkan doa yang dipanjatkan Bang Zikra, aku bergegas membuka mukena. Mukena lolos dari kepalaku, tangan Bang Zikra bertenger di depan hidungku. Dengan malas aku meraih dan menciumnya.

“Lepaskan tangan Alia Bang.” Ucapku ketika tanganku tidak dilepaskan Bang Zikra

“Duduklah.” Suara perintah yang selalu diberikannya padaku, tidak ada nasa mesra sedikitpun

Aku kembali duduk, kami berhadapan, tidak ada niatku untuk memandang Bang Zikra, netraku menatapn gambar Ka’bah yang terpampang.

“Alia marah?” ucapnya singkat

“Tidak ada hak Alia untuk marah.” Ucapku singkat

Jeda terlalu lama di antara kami, aku berusaha tenang walaupun ada sakit yang sungguh di luar batas kemampuanku.

“jangan menangis.” Batinku menahan air yang ingin keluar jika mengingat bagaimana mesranya Bang Zikra dengan gadis entah siapa kemaren.

“Jika tidak ada yang lain, Alia kedapur dulu bantu Ibu membuat sarapan.” Ujarku sampbil berdiri dan mengemas peralatan sholatku.

“Al.” Tarikan tangan Bang Zikra tak menghentikan niatku untuk ke dapur.

Tidak pernah aku sesakit ini, jika bisa menjerit akan aku laungkan sakit yang sungguh membuatku merasa jijik dengan perasaanku sendiri. Aku hanya meminta tolong jaga perasaanku, tatapan mata dua orang guru sahabatku yang menemani kala itu sungguh membuat harga diriku menjadi jatuh. Ya, kemaren kami berniat melepas lelah dari rutinitas mengajar.

“Al, dengarkan dulu Abang.” Sekali lagi bentakan di pagi hari yang aku terima, tidakkah Bang Zikra tahu bahwa doa pagi meminta kebaikan dalam menjalankan hari sudah dia nodai dengan memberikan bentakan kepadaku.

Aku menghentikan langkahku yang sudah mendekati pintu kamar, membalikan badan, Bang Zikra sudah berdiri dibelakangku. Tangannya meraih tanganku menarik diriku untuk duduk di atas ranjang kami, aku melepaskan tangan Bang Zikra, menatapnya sekilas.

“Apa yang ingin Abang jelaskan?” ucapku lirih seiring sakit di ujung hatiku.

(bersambung)

Tinggalkan Balasan