Hari itu tekanan darah saya ada di 140/100. Tapi, saya tidak merasakan sakit kepala, hanya kaki kiri terasa kesemutan.
“Pak, ini tensinya tinggi.” Itulah yang dikatakan tenaga medis (Nakes) di sebuah klinik swasta di bilangan Pisangan Timur, Jakarta Timur. Hari itu, 8 Januari 2022, saya ke klinik untuk meminta resep sebagai syarat memperoleh obat melalui program rujuk balik (PRB) BPJS Kesehatan.
Hari itu tekanan darah saya ada di 140/100. Tapi, saya tidak merasakan sakit kepala, hanya kaki kiri terasa kesemutan. Sebelumya pada bulan Desember 2021 tensi juga sudah naik yaitu 130/90.
Saya yakin betul tidak ada yang perilaku saya menyebabkan tensi naik karena setiap hari minum obat sejak terdeteksi darah tinggi. Sebelum Desember 2021 tensi saya ada di kisaran 120/80.
Dari klinik saya naik Mikrolet ke apotek yang ditunjuk untuk mengambil obat. Sepanjang perjalan, kira-kira 15 menit, pikiran saya kacau-balau. Dengan tensi 140/100 tentulah akan pusing dan tengkuk pegal, tapi saya sama sekali tidak merasakan sakit kepala.
Saya kabari Pak Ajie di Cilegon, Banten, tentang tensi saya. “Sebentar, Pak, saya cek dulu,” itu jawaban Pak Ajie melalui WA.
Sekitar 10 menit kemudian ada WA dari Pak Ajie: “Astaga, ada benda di tengkuk, kepala dan kaki, Pak.” Itu artinya sejak Desember sudah ada benda di badan yang ditujukan untuk menghambat atau merusak aliran darah yang berakibat tensi naik.
Waktu hari itu menjelang zuhur dan saya khawatir kalau harus naik angkutan umum (bus atau KRL dan KA) dengan tensi 140/100 ke Cilegon.
Pak Ajie bisa menarik benda di badan atau di rumah bisa juga di kantor atau tempat usaha, tapi biayanya agak mahal karena harus beli minyak (minyak khusus yang disuling dari sejenis kayu di Turki). Banyaknya, dalam gram, tergantung jarak dan jenis benda yang akan ditarik. Harga 1 gram Rp 900.000 yang dijual di Kota Bogor di toko orang Turki.
Celakanya, hari itu saya tidak ada pilihan selain minta tolong ditarik. Padahal, kalau langsung ke rumah Pak Ajie biayanya sepertiga gram.
Tapi, belakangan Pak Ajie tidak pakai minyak Turki karena mahal. Pak Ajie pakai darah ayam walik yaitu ayam dengan bulu-bulu yang mengarah ke atas. Harga ayam ini Rp 250.000. Yang dipakai hanya darah ayam walik sebagai makanan makhluk yang menjaga benda-benda di badan atau rumah. Jumlah ayam juga tergantung jenis benda di badan atau rumah, tapi bisanya paling banyak 3 ekor.
“Baik, Pak. Nanti malam saya tarik,” kata Pak Ajie.
Serbuk besi di tengkuk dan jarum di ubun-ubun berhasil ditarik Pak Ajie, tapi yang di kaki belum bisa ditarik.
Pak Ajie tawarkan akan tarik benda di kaki agar tidak kesemutan pada Minggu malam Senin, 9 Januari 2022. Tapi, saya pikir lebih baik saya ke rumah Pak Ajie sekalian silaturahmi.
Senin pagi saya naik KRL (Commuter) dari Tanah Abang, Jakarta Pusat, ke Rangkasbitung, Lebak, Banten. Selanjutnya disambung dengan KA Lokal Merak ke Krenceng, Cilegon.
Jelang lohor saya sampai di rumah Pak AJie. Rupanya, Pak Ajie agak demam karena menarik serbuk dan jarum dari badan saya sangat berat makan waktu 3 jam.
Setelah lohor Pak Ajie temui saya di ruang tamu. “Wah, itu benda besar dan sudah naik ke bahu,” ujar Pak Ajie setelah sejenak menerawang saya.
Dalam santet benda-benda mati, seperti jarum, paku, gabah, uang logam, binatang hidup, tulang binatang (ular atau kukang) oleh dukun santet dilakukan dematerialisasi (proses menjadikan materi jadi immateri dalam bentuk jeli).
Jeli itulah, yang sebenarnya benda, yang dikirim dukun santet dengan perantaraan makhluk halus dengan umpan tertentu, antara lain minyak Turki. Minimal biaya mengirim santet Rp 2,9 juta di luar jasa dukun. Jika yang dituju lebih jauh maka biaya tambah besar.
Di badan jeli itu berfungsi seperti benda aslinya tapi bisa berjalan ke sekujur tubuh sesuai dengan perintah dukun santet. Ketika benda yang ada di kaki saya, belakangan setelah dicabut Pak Aji adalah paku sekitar 5 cm yang berkarat (lihat gambar utama dengan perbandingan kapas Selection), ada di betis yang muncul kesemutan. Paku itu dijalankan duku ke atas dengan tujuan jantung atau kepala.
Tapi, Alhamdulillah Pak Aji menarik paku itu sebelum menusuk jantung atau naik ke kepala.
Tampanya, tujuan orang yang mengirim santet itu agar saya celaka. Karena hanya celakanya yang bisa, soal mati ajal di tangan Tuhan. Tanpa santet pun kalau sudah sampai ajal yang berpulang juga akhirnya. Tapi, orang-orang yang memakai jasa dukun sudah gelap mata. Seperti yang dikatakan oleh Bu Haji Emun di Mengger, Pandeglang, Banten, “Hati mereka sudah jadi arang.”
Akibatnya, mereka percaya saja kepada dukun bahwa yang disantet akan segera koit. Selain itu ada juga perjanjian dengan dukun bahwa santet tidak boleh berhenti sebelum tuntas. Akibatnya, orang-orang yang memakai jasa dukun harus terus-menerus membayar dukun untuk mengirim santet. Bayangkan kalau setiap minggu, sehingga empat kali. Jika biaya tambah jasa dukung Rp 3,5 juta, maka setiap bulan bisa mencapai Rp 14 juta.
Saya sendiri sejak tahun 1983 sudah jadi korban santet dengan berbagai macam keluhan sakit, seperti sakit kepala, bernapas sudah karena rusuk sakit, lutut sakit, dll. Cuma, saya tidak paham sehingga tiap minggu ke dokter. Beruntung biaya pengobatan ketika itu diganti 100% oleh kantor.
Belakangan dokter yang mengobat saya ‘angkat tangan’, bahkan saya sudah berobat ke Kedokteran Nuklir di sebuah RS pemerintah di Jakarta Pusat, tapi sumber penyakit tidak juga ketemu.
Awal tahun 2000-an ada petunjuk agar cari bantuan ke Kulon (Banten). Alhamdulillah ketemu Bu Haji Emun dan Pak Ajie. Keduanya tidak menetapkan mahar. Bu Hari Emun hanya perlu pisang ambon untuk menarik bentu di badan. Supaya tidak ada fitnah Bu Haji Emun selalu minta agar bawa pisang ambon sendiri. Sedangkan Pak Ajie menarik benda-benda dengan keris kecil dan dedaunan yang digiling.
Setelah saya berobat ke Banten semua terbongkar. Selain di badan, di rumah dan di kantor ada berbagai macam benda yang dikirim secara gaib. Termasuk tanah pamuragan yang membuat usaha bangkrut karena tempat usaha tidak bisa dilihat orang lain, yang menurut tetangga selalu gelap-gulita. Padahal, saya ada di dalam dan dinding depan kantor terbuat dari kaca.
Saya dan dua anak saya jadi sasaran santet sebagai tumbal pesugihan (buto ijo) kerabat. Putri saya nomor 9, saya nomor 10, dan putra saya nomor 11. Tumbal yang diperlukan untuk menjaga pesugihan 17. Tapi, lagi-lagi alhamdulillah yang mati sebagai nomor 9 dan 10 pemilik pesugihan dan saudaranya.
Sekali lagi ucapan syukur kepada-Nya karena sudah menghindarkan saya dari cedera yang fatal akibat tekanan darah yang tinggi. Saya tidak bisa bayangkan apa yang terjadi seandainya saya tidak berobat tanggal 8 Januari 2022. Tanggal 11 Januari 2022 saya kembali ke klinik, “Tensinya normal, Pak, 120/80,” kata nakes di klinik. Alhamdulillah (tagar.id, 13 Januari 2022). *