KMAB-H13-Cerpen 4- Nyewu

Cerpen85 Dilihat
Seorang menggiring kambing sebelum disembelih. (dok:yis)

“Pokoknya, kalau tidak bisa lunas minggu depan, semua perabotan berharga di rumah ini akan saya sita!”
Kalimat itu masih hangat di telingaku. Nyeri mengingat mimik Bu Tejo, janda kaya raya yang bisang sangat kejam jika menyangkut masalah utang. Ya, utang memang wajib dibayar. Kata bapak utang yang tidak terbayar bisa memberati seseorang masuk surga.

“Duh, gek kepiye iki!!” Kupukul-pukul kepalaku yang berdenyut.

“Pakne, ada apa tho?”

Aku berpaling ke arah Sri, istriku dan Herman, anakku yang baru berusia 8 tahun. Mereka sore tadi pamit pergi jalan-jalan ke di lapangan Jejeran Pleret. Ada pasar malam Rebo Pungkasan. Semacam pesta rakyat yang digelar beberapa minggu sebelum malam Rebo Pungkasan.

“Ndak ada apa-apa Bune. Sini, Le. Bapak diceritakan, kamu lihat apa saja di sana?” Aku tersenyum santai pada putraku. Aku tak mau ia ikut bersedih memikirkan bahwa orang tuanya punya banyak utang. Biarlah ia merasakan kebahagiaan masa kanak-kanaknya.

“Herman beli mainan Othok-othok, Pak. Murah, hanya lima ribu saja,” Herman menunjukkan mainan dari bambu yang ketika diputar-putarkan berbunyi nyaring. Kecepatan suaranya tergantung seberapa kecepatan mainan itu diputar.

“Bapak dulu juga suka mainan itu, Le. Besok bapak buatkan mainan bedhil-bedhilan dari bambu ya.”

“Benar ya, Pak?” Mata bulat Herman membesar riang. Ya, anak itu akan dengan senang hati memainkan mainan apapun yang kubuatkan untuknya.

“Sudah, sekarang kamu mandi dulu ya, Le. Bajumu kotor tadi lari-larian di lapangan,” ucap Sri penuh kasih sayang.

Istriku itu seorang yang cerdas. Meskipun ia hanya seorang guru honorer di sebuah Madrasah Tsanawiyah Negeri Bantul, ia memiliki tekad kuat untuk membesarkan nama madrasahnya. Banyak waktunya tercurah untuk madrasah. Aku tak keberatan, sebab ia juga seorang istri yang baik, memahami kondisiku yang memang tidak bisa memanjakannya. Untuk membeli bedak pun ia harus berupaya sendiri.

“Bune, alhamdulillah… acara nyewu meninggalnya Bapak sudah terlaksana dengan lancar. Kewajiban kita sebagai ahli waris sudah kita tunaikan. Kita sudah mendoakan dan memberikan suguhan maupun berkat yang terbaik,” jelasku sambil memandangi Sri yang telah menebak arah pembicaraanku.

“Iya, Pakne. Tetapi Yu Jam yang kerja di rumah Bu Tejo itu sempat bilang kalau Bu Tejo marah-marah sebab kita dibilang pinjam uang hanya untuk hura-hura,” jelas Sri.

“Tadi Bu Tejo memang kesini bersama anak buahnya yang tinggi besar berambut kriwil itu. Katanya, jika minggu depan kita tidak melunasi, ia akan menyita barang-barang berharga di rumah ini.”

“Astaghfirullah, Pakne. Sri tidak masalah kalau harus hidup miskin dan sederhana tanpa barang-barang itu kalau memang bisa menutup utang kita. Tetapi bagaimana dengan Herman? Anak sekecil itu bagaimana kita harus memberi dia pengertian?” Ungkap Sri.

Aku mengelus kepala Sri. Istriku ini memang luar biasa. Aku bersyukur Allah persatukan aku dengannya, meskipun mahar yang kuberikan hanya sebuah mukena sederhana yang hingga kini ia rawat bak mutiara.

“Seminggu lagi, Bune. Kita harus yakin Allah akan memberi jalan keluar. Kita pertebal lagi doa kita. Niat kita mengadakan nyewu itu untuk sedekah pada orang-orang yang telah datang atau kita undang untuk mendoakan Almarhum Bapak dan juga Ibu. Kita tidak hura-hura seperti yang Bu Tejo katakana,” jelasku menenangkan Sri.

“Ngapunten, Pakne. Tapi sebenarnya kita bisa mengadakannya semampu kita, Pakne. Tidak usah harus utang seperti kata Pak Haji Ahmad. Agar tidak memberati hidup kita yang memang bukan orang berada,” Sri merenung.

“Bune. Ini adalah nyewu. Hajatan terakhir yang kita selenggarakan untuk pengetan meninggalnya bapak. Sudah semestinya kerabat dan masyarakat yang selama ini dekat dengan bapak kita undang. Sebab mereka juga tentu ingin datang. Jadi, yakinlah kita sudah melakukan yang terbaik untuk bapak. Ini wujud bakti kita, Bune. Semoga bapak husnul khotimah.”

Sri merenungkan perkataanku. Lantas ia tersenyum manis sembari menatapku dengan binar mata khasnya. Kalau sudah begini pasti ada rencana besar di benaknya.

“Pakne, Sri punya rencana. Sri punya modal tabungan sedikit di bank, uang tunjangan dari pemerintah yang tidak pernah Sri ambil. Mulai besok Sore hingga 2 minggu mendatang, ayo kita jualan aneka macam jajanan di Rebo Pungkasan. Insyaallah laris. Sri Yakin. Herman pasti juga senang bisa main terus di sana. Tapi ndakpapa tho, Istri Pak Budi ini jualan makanan?”

Wajah ayu Sri tampak berbinar penuh semangat. Aku bersyukur memiliki istri yang sholihah dan solutif seperti Sri ini. Tawa renyahnya berbaur dengan teriakan girang Herman yang bakal puas main di Rebo Pungkasan.

Tinggalkan Balasan