KMAB-H15-Cerpen 6-Mentari Masih Bersinar

Cerpen73 Dilihat
Husna dan ibunya. (Dok:yis)

Gemericik air hujan yang jatuh di atas payungku seolah mengepungku dari keramaian jalanan. Tak perduli akan sepatu usangku yang basah kuyup, tetap kupacu langkahku. Ya, setiap hari jalan ini selalu kulalui dengan berjalan kaki. Pilihan yang ada adalah jalan kaki atau tidak sekolah sama sekali. Meski tinggal satu tahun lagi kutuntaskan masa biru putihku, kehidupan keluargaku masih saja membuatku tak berhak untuk menikmati keindahan hidup seperti dalam cerita beberapa kawanku. Kemewahan itu semu bagiku, hanya fatamorgana.

Siang ini, hujan tampaknya tak lagi peduli dengan deritaku. Ia turun dengan derasnya. Payung rapuh inilah atapku, pelindungku. Kudekap erat tasku satusatunya ini di dadaku. Banyak harta karun di dalamnya. Buku-buku yang berisi rekaman ilmu yang berhasil kutangkap dari penjelasan guru. Buku-buku ini harus kujaga dengan baik, mengingat aku harus berjualan gorengan keliling desa untuk bisa membelinya sebelum masuk sekolah dulu.

Anganku melaju secepat langkahku, tak sabar ingin segera kutuntaskan semua pekerjaanku dan bercengkrama dengan buku-buku.

“Theeettt….. theeettt!…..”Aku tergagap.

Suara klakson motor meraung keras. Aku menoleh. Kendaraan siapa yang berhenti persis di belakangku. Sebuah senyum manis yang sudah tak asing lagi muncul dari balik penutup helm itu.

“Mentari, ayo bonceng ibu!” Suara yang biasa lembut itu memekik bersaing dengan derasnya hujan.

“Oh, terima kasih. Tetapi, Mentari jalan kaki saja, Bu,” elakku.

“Agar cepat sampai, Nak,” bujuknya.

“Tidak apa-apa, Bu. Mentari masih mau melakukan sesuatu di perjalanan,” jelasku. Sesuatu itu kan bisa bermacam-macam, pikirku.

“Baiklah, ibu duluan ya, kamu hati-hati!”

Aku mengangguk. Motor itu pun melaju membawa serta senyum bidadari itu. Bidadari? Ya, Bu Susan ini memiliki tongkat ajaib yang tersebunyi di balik goresan tintanya. Kata-kata dalam catatannya selalu menentramkan jiwa.

Dua puluh menit berselang, aku memilih mengambil jalan pintas. Akhirnya aku berputar ke kiri, siap menyusuri jalan setapak nan sepi. Entah mengapa aku tak sabar ingin segera tiba di rumah. Lima belas menit lagi sampai. Terbayang rentetan pekerjaan yang menungguku. Kupercepat langkahku setengah berlari.

Jantungku berdegup kencang, langkahku terhenti. Firasat itu ternyata benar. Sesuatu akan terjadi. Kerumunan orang di ujung gang itu, tepat di depan rumahku, telah mengabarkan sesuatu. Pak Jimin, tetanggaku yang hanya bertangan satu itu tergopoh menghampiriku. Guratan kesedihan menghiasi wajahnya yang biasa ceria.

“Mentari…. kamu sudah pulang, Nduk?” Sapanya lembut di depanku.

“Apakah…. Ayahku?” Tanyaku tajam langsung. Nanar aku menatapnya lama tak menyahut. Pak Jimin mengangguk lesu.

“Baru saja, Nduk. Lima belas menit yang lalu.”

Aku berlari meninggalkan Pak Jimin yang tertunduk di hadapannya. Aku kuat. Aku tak akan menangis. Aku tahu ayah akan pergi. Teringat jelas, tadi pagi ketika kuletakkan minuman dan obat ayah di sampingnya, ia memegang tanganku, begitu erat seolah memintaku untuk duduk berlama di sampingnya.

“Kejarlah cita-citamu, Mentari. Kau akan bahagia,” ujar ayah lemah serasa menatapku lekat.

Kuamini dan kubisikkan doa untuknya, lantas aku pamit berangkat sekolah. Berat tadi pagi aku meninggalkanmu, ayah. Namun, aku harus sekolah. Aku ingin menjadi dokter, yah, agar aku mampu menyembuhkan sakitmu.

Dalam bisu, kerumunan orang itu seperti terbuka untukku. Seseorang memegang tanganku, mengambil tasku, dan menuntunku ke kamar ayah.

“Mentari!”

Jerit ibu tak kuasa menahan derai air matanya begitu ia melihatku. Ia memelukku dan tersedu. Kubenamkan wajahku di bahunya. Tubuhku gemetar menahan keinginan untuk meraung sekeras-kerasnya. Berkali-kali kuhela nafas, agar tak pecah tangisku. Aku harus kuat, untuk Ibu.

“Mentari?”

Ia belai kedua pipiku dan menatap kedua mataku yang memerah. Sesak di dada melihat raut wajah letih ibu di depanku. Bulir-bulir bening tak dapat kubendung lagi. Kubiarkan mengalir, meski masih kusembunyikan sedu sedanku.

“Ayah telah pergi untuk selamanya kan, Bu?” Tanyaku lirih.

Kuabaikan rona tak percaya di wajah ibu, kudekati jasad ayah yang kini terbaring kaku. Kau telah meninggalkanku sebelum kuraih mimpiku, Yah. Aku tak yakin mentari masih akan bersinar untukku. Pelan kusentuh jemari ayah yang terkatup di dadanya. Belum dingin, masih cukup hangat. Tiba-tiba rasa sesal menghampiriku. Mungkin tadi aku masih belum terlambat jika mau dibonceng bu Susan. Aku dapat mendengar beberapa pesan ayah lagi untukku.

“Selamat jalan, Yah. Semoga Allah melimpahkan kebahagiaan untukmu,” bisikku di sisinya.

Perlahan kukecup kening ayahku. Meski remuk redam hati ini, namun kutahan bulir bening air mataku agar tak jatuh di pipinya. Rupanya, ini cara Allah untuk mengakhiri penderitaanmu. Kini bagaimana denganku?

Satu minggu setelah pemakaman ayah yang berlangsung sederhana hari itu, suasana rumahku tak lagi tak secerah biasanya. Wajah ibu kehilangan senyumannya. Begitu muram dengan dahi berkerut menahan kalut. Kerapkali kudapati ibu memeluk baju ayah sembari berdialog dengan dinding kamarnya dan mengabarkan deritanya. Ibu tak mau mendengarkanku. Angannya sering mengembara entah kemana. Ibu terlalu jauh mensikapi takdir Allah ini. Aku khawatir ibu tak dapat kembali.

Pagi itu, kembali kubawakan semangkuk sup yang kumasak ala kadarnya, untuk ibu. Kuantarkan ke kamarnya. Kusuapi sedikit demi sedikit, sebelum ia membentakku untuk menjauhkan mangkuk sup itu. Aku menurut. Ibu masih labil. Ia begitu mencintai ayah dan selama ini begitu setia menemani ayah sepanjang waktu. Kepergian ayah membuat jiwanya terguncang. Kekerahkan seluruh kesabaranku untuk merawat ibu. Terpaksa kukorbankan sekolahku untuk menemaninya sepanjang waktu.

Tujuh hari kutinggalkan bangku tempatku berburu ilmu. Masih kuingat pelukan hangat Bu Susan dan semangat yang ia selipkan tatkala rombongan sekolahku melayat seminggu yang lalu. Kini, kembali aku tak berhak memilih. Ibuku adalah segalanya. Ibu membutuhkanku untuk selalu di sisinya. Cita-citaku hanya sekedar fatamorgana.

Tak sadar, telah berlembar-lembar goresan pena kutuliskan di buku harianku. Tempat dimana aku menumpahkan segala rasa akan dunia. Tempat dimana aku menemukan betapa ajaibnya goresan tangan Bu Susan. Kubuai halaman penuh makna dari luapan kasih sayang Bu Susan untukku. Ya, bu Susan selalu ada di saat aku memubutuhkan. Cukup baik kami berkomunikasi melalui buku ini. Kutumpahkan segala resah, dan terusir sudah gundah begitu kubaca untaian kata yang indah dari guruku yang satu itu. Ia bukan hanya sosok guru, tetapi juga pahlawanku, ibu periku. Kasih sayang tulus yang ia sampaikan melalui senyuman dan tatapan matanya membuatku semangat untuk memangku dunia. Kini, aku hanya dapat merindukannya. Mungkin aku tak akan dapat lagi melihatnya. Aku juga tak mungkin lagi bisa meraup segala ilmunya. Aku tersedu, berusaha ikhlas melepaskan segala asa. Allah maha adil. Aku yakin itu.

“Assalamu’alaikum? Nduk Tari?” Suara yang tak asing itu menyeruak menyadarkan lamunanku. Pasti suara Bude Asih, kakak kandung ibu yang hidup di rantau seorang diri. Hanya satu orang itu yang memanggilku ‘Tari’. Aku berlari menyambutnya dan menghambur ke pelukannya. Rasa rindu menyesak di dada, begitu banyak hal yang ingin kutupahkan padanya. Ia tersenyum menyambut pelukanku.

“Bantu Bude bawa masuk koper ya. Sssh…. tidak usah cerita apa-apa. Nanti saja. Bude telah mendengar semuanya dari Pak Jimin. Mohon maaf, Bude baru bisa pulang sekarang. Banyak yang harus Bude selesaikan di sana sebelum bude tinggalkan selamanya,” ungkapnya panjang lebar.

“Maksudnya Bude sudah tidak akan kembali ke rantau lagi?”

“Ya, Bude akan tinggal di sini. Bude ingin menemanimu merawat ibumu, agar kamu Mentari bisa sekolah lagi,” Jelasnya berkaca-kaca.

Aku ternganga tak percaya, lantas tersenyum bahagia. Rasa syukurku menggelegak dalam dada. Rupanya, Allah mengijinkan Mentari masih dapat bersinar untuk menggapai cita-cita.

——–Selesai——-

Tinggalkan Balasan