KMAB-H16-Cerpen 7-Ada Bungah dalam Musibah

Cerpen169 Dilihat
Husna dan ayahnya. (Dok: yis)

Untukmu: Fazila Husna Nur Shahada

Nak, masih 4 tahun usiamu kala itu, Ketika Allah memberi nikmat berupa musibah. Engkau bersama ayah dan ibu, terjatuh dari motor karena ban depan meletus dan bersama kita pun tersungkur di tengah jalan beraspal.

Kejadian itu begitu tiba-tiba dan cepat. Tak sempat ayah atau pun ibu melindungimu. Segera orang berkerumun untuk menolong kita. Tangismu pun pecah, darah segar mengalir dari mulutmu, juga tangan, kaki dan anggota tubuhmu. Sakit dan perih pastilah kau rasakan di sekujur tubuh mungilmu. Ayah pun demikian, siku dan lutut ayah juga terluka dan berdarah karena terbentur aspal. Sedang ibu, Alhamdulilah tidak mengalami luka, tetapi jempol tangan kanan ibu terkilir karena menahan beban tubuh yang terjatuh agar tidak terbentur dan tergores parah di aspal.

Beberapa menit kemudian, atas kebaikan sahabat ibu, kita pun sampai di klinik pengobatan. Kau ingat kan? Para perawat pun dengan cekatan membantu membersihkan dan mengobati lukamu. Olesan cairan pembersih luka dan anti bakteri pada lukamu membuat ayah dan ibu ngilu. Namun Nak, lafal teriakanmu sungguh membuat ayah dan ibu haru. Tak henti dari mulutmu berteriak di sela isak tangismu,

“Sakit… ya Allah! Sakiit! Ya Allah sembuhkan De’ Husna! Ya Allah sembuhkan De’ Husna!”

Berulang kali kalimat itu terucap dari bibir mungilmu. Tak lupa kau pun juga kau minta ayah mendoakan kesembuhanmu, dengan nada sedikit berteriak karena menahan sakit.

“Ayah, doakan De’ Husna agar cepat sembuh! Doakan De’ Husna!”

Sembari memangkumu, seketika ayah membaca doa. Haru biru hati ibu melihatmu, Nak. Dengan tertib kau pun mengikuti ayah melafalkan doa-doa itu. Andaikan rasa sakit itu bisa ibu gantikan, biar ibu saja yang merasa kesakitan, jangan tubuh mungilmu.

Subhanallah, Nak. Ibu bisa membayangkan betapa tatkala tubuh mungilmu merasakan sakit yang hebat akibat luka-luka itu. Tentu ada bayang-bayang ketakutan dalam benakmu bagaimana apabila kau tak terselamatkan. Tapi, bersamaan dengan itu, ada bungah (bahagia) dalam hati ayah dan ibu. Allah telah hadirkan kemampuan dan reflek yang sangat mulia. Ketika orang dewasa pun belum tentu ingat menyebut nama-Nya di tengah musibah yang melanda hidupnya, engkau yang belia telah mampu untuk terus menyebut asmaNya. Telah tertanam dalam hatimu bahwa Allahlah satu-satunya penolong yang mampu menyelamatkan dan menyembuhkan sakitmu. Semoga ini pertanda bibit keimanan telah tertanam dalam dirimu. Tumbuh menjadi wanita sholihah.

Setelah semua luka itu telah sembuh, lagi-lagi engkau tunjukkan sikap yang membuat ayah ibu senantiasa bersyukur. Sore itu, di awal liburan sekolahmu, engkau ingat lama tidak berlatih sepeda. Engkau pun meminta ayah mengajarimu bersepeda. Sebentar kemudian engkau berlatih, engkau pun mulai bisa. Dengan raut wajah berbinar, dengan sepenuh hati engkau berkata pada ayah,

“Alhamdulillah, Ayah, De’ Husna sudah bisa naik sepeda!”

Tahun demi tahun berlalu, kau tumbuh semakin menakjubkan. Karakter unikmu, keyakinanmu, dan mimpi-mimpimu. Begitu banyak hal yang tidak kami duga dengan pesatnya laju berpikirmu. Kau memberikan yang lebih dari yang berani ayah dan ibu harapkan.
Kini, di usiamu yang sudah menginjak tahun ke-8, kau telah mampu mencari celah untuk mewujudkan mimpimu. Kau mampu berjuang untuk meraihnya dengan segala kelebihan dan keterbatasamu. Kau bahkan mampu mencapai target 10 halaman Al Qur’an pertamamu.

Ingatkah kau Nak, di bulan Ramadhan tahun 2020, suatu hari sejak pagi kau berikrar bahwa hari itu mau mengaji hingga 10 halaman. Suatu target yang ayah dan ibu sangsikan. Setelah salat Subuh 2 halaman, usai Dzuhur 2 halaman, Ashar 2 halaman, Maghrib dan Isya masing-masing juga 2 halaman. Kau tampak yakin akan mampu melaksanakannya, padahal biasanya hanya 2-5 halaman sehari. Namun kali ini tidak, usai subuh kau mau disimak mengaji 2 halaman. Dengan ritme yang masih pelan. Tetapi Alhamdulilah sudah mulai memperhatikan ketentuan bacaan.

Masalah pun muncul. Usai Dzuhur baru 1 halaman mengaji kau minta berhenti. Kau mau ikut ibu pergi untuk membeli sesuatu di warung. Ayah pun membujukmu,

“De, tidak usah ikut ibu. Nanti tidak bisa 10 halaman lho,”

“De Husna tetap mau ikut. Nanti pulang terus langsung ngaji lagi!”

Kau pun berkeras ikut. Terpaksa mengaji ditunda. Ternyata Ibu tidak sekedar ke warung, ada keperluan lain sehingga baru pulang ketika Ashar tiba.

“Lho, Adek jadi habis dzuhur tidak bisa 2 halaman? Habis Ashar berarti Adek baca 3 halaman,” jelas ayah.

“Tidak mau, tetap 2. Nanti yang satu halaman sebelum Maghrib.”

Dalam hati ayah ibu senang, ternyata walau ada teknis yang meleset, kau langsung mencoba berfikir tentang alternatif waktu, dan munculah 1 halaman sebelum Maghrib sebagai penebus kekurangan 1 halaman usai Dzuhur. Artinya masih optimis untuk mampu meraih target 10 halaman hari ini.

“Setelah mengaji, terus bobok saja ya, Dek. Ayah khawatir nanti setelah taraweh de Husna sangat ngantuk dan tidak mau mengaji,” jelas Ayah.

“Ndak mau! De Husna akan tetap mengaji walau mengantuk!” Jawabmu.

“Benar?” Tanya ayah agak menyangsikan.

“Iya. Kalau nanti ternyata de Husna tidak mau mengaji karena ngantuk. Ayah boleh menghukum de Husna. Seharian besok de Husna tidak usah dipinjami HP” ujarmu menjelaskan hukuman untukmu sendiri.

Masyaallah, haru biru hati ibu mendengar komitmenmu. Dalam hati ibu berdoa semoga nanti betul-betul lancar, karena biasanya kalau sudah mengantuk, kau pasti ngambek bila diminta mengaji.

Waktu pun berlalu, satu halaman sebelum Maghrib terlaksana. Dua halaman setelah Maghrib pun dilaksanakan dengan masih semangat. Usai Isya dan salat taraweh wajahmu sudah menunjukkan kantuk. Tetapi ketika diingatkan untuk mengaji masih dua halaman lagi, ternyata kau pun siap. Satu halaman mampu dibaca dengan lancar tetapi mulai dengan suara yang semakin lirih karena kantuk.

“Masih kurang satu lagi lho De!” Kata ayah. Kau tampak berpikir. Ayah pun paham, kau butuh motivasi.

“Sini, ngajinya yang 1 halaman sambil ayah pangku,” tawar ayah.

Segera kau menuju pangkuan ayah dan mulai membaca halaman terakhir untuk mencapai target 10 halaman hari ini. Target mengaji 10 halaman hari itu pun tercapai dan ini adalah pertama kali kau mampu mengaji dalam sehari 10 halaman. Tiba-tiba, kantukmu seperti hilang.

“Ayah, hadiahnya mana?!” dengan ekspresi berharap kau meminta hadiah pada ayah. Ayah pun mengeluarkan dompet, diambilnya satu lembar uang warna hijau. Rp20.000.

“Ini,” kata ayah sambil menyerahkan uang tersebut. Binar bahagia kau terima hadiah tersebut dan Ia pun bertekad untuk hari-hari berikutnya kalau bisa 10 halaman terus atau malah 1 juz.
Semoga bisa. Ayah dan ibu tentunya sangat berharap, kelak engkau pun menjadi anak yang benar-benar sholihah. rajin beribadah, berbakti pada orang tua, berprestasi, dan bermanfaat bagi sesama. Aamiin.
***

Untuk semua orang tua yang membaca kisah ini, semoga dengan cara masing-masing kita mampu mengantarkan putra-putri kita menggapai mimpi-mimpinya dengan penuh kasih sayang. Untuk semua anak yang membaca kisah ini, jangan berhenti untuk bermimpi. Berusahalah sekuat tenaga untuk meraih semua mimpi-mimpi kita.

Tinggalkan Balasan