CerBung : Han! Aku Cinta Padamu (11)

Cerpen, Fiksiana249 Dilihat

Cerpen Bersambung (CerBung) ini khusus persembahan penulis untuk mereka para mahasiswa. Namun juga untuk mereka yang masih berjiwa muda. 

BACA JUGA : Han! Aku Cinta Padamu (1).  

SEBELAS

Sudah tiga hari ini aku tidak pernah lagi bertemu dengan Erika dan ini adalah hari yang keempat. Ketika aku baru saja memarkir motorku, lalu berpapasan dengan Erika.

Gadis ini tersenyum memandangku, walaupun begitu aku melihat kedua matanya nampak sembab seperti habis menangis.

“Hai Rika!” Sapaku terasa sekali ini sapaan yang hambar. Erika hanya kembali melemparkan senyum padaku. Lalu kami berjalan beriringan menuju ruang kuliah.

“Aku ingin berbincang denganmu Han. Boleh kan?”

“Oh tentu saja,” kataku datar sambil kupandang wajahnya yang sedang tertunduk.

“Kau mau memaafkanku tentang peristiwa kemarin?”

“Rika lupakan saja. Aku dapat memaklumi perasaanmu saat itu,” kataku. Mendengar jawaban ini, maka Erika kembali tersenyum.

Maka siang itu kami melanjutkan perbincangan di sebuah restoran favorit kami di Jalan Surya Kencana Bogor. Langit mendung musim hujan diakhir November ini.

Sebentar lagi sudah masuk Desember dan segera meninggalkan tahun 1981. Meja di pojok ruangan itu masih kosong dan kami duduk sambil mencicipi segelas es alpukat.

Di depanku Erika duduk dengan tenang. Wajahnya yang teduh, rambutnya yang hitam sebatas bahu. Matanya yang bening dan tajam. Hidungnya, bibirnya dan ketika aku menatap semuanya ia mengangkat wajahnya. Aku tersenyum dan iapun tersenyum.

“Han, bagaimana perasaan hatimu saat ini?” Suara Erika demikian tenang.

“Aku tidak tahu. Tapi tampaknya hari ini aku merasa kau sangat berbeda,” kataku.

Kulihat Erika tertunduk. Dia mempermainkan jemarinya dan aku dapat melihat cincin tunangan itu begitu cantik melingkar di jari tangannya.

“Aku tak bisa berkata apa-apa Han. Aku merasa hari ini kita bertemu untuk yang terakhir. Esok, aku tak mungkin bisa memandangmu lagi,” suara Erika pelan sambil memandangku tajam. Aku menghela nafas yang rasanya sesak sekali. Aku mencoba untuk tersenyum walaupun pahit.

“Rika, aku sudah menyadari semuanya!”

“Terimakasih.” Suara Erika tersekat di kerongkongan dan kini dia mulai tertunduk. Dengan tatapan sendu Erika mengangkat wajah. “Han, aku juga harus menyadari bahwa esok calon suamiku akan membawaku pergi dari Bogor,” kata Erika pelan penuh dengan kepasrahan.

Rasanya dada ini semakin sesak dan aku hanya dapat memandang Erika yang tertunduk. Pelan-pelan aku menarik nafas dalam-dalam terus berusaha untuk mampu menghadapi dengan tabah.

Sudah lama aku bersama Erika sejak masih SMP dan kini aku harus merelakannya pergi bersama orang lain. Entah bagaimana caranya, terlalu banyak kenangan bersamanya yang harus kulupakan.

“Han!” Suara Erika lirih sambil memandangku. Kutatap wajah cantik yang selama ini sangat mendamaikan hatiku. Wajah oval dengan sorot mata teduh dan tajam sehingga mampu menembus hati terdalamku.

“Aku tak mau menangis. Bukankah kau tak suka jika aku menangis?” Kata Erika lagi. Tetapi ternyata mata indah itu malah berkaca-kaca dan bibir mungil itu bergetar menahan pedih.

“Bukankah kau ingin agar aku tabah? Tabah menghadapi cobaan ini?” Erika tertunduk lalu ada setitik air mata jatuh pada jemarinya yang lentik.

“Han, aku ingin kau memelukku untuk yang terakhir tapi aku takut ini justru akan semakin menambah kepedihan ini,” kembali suara Erika penuh haru.

“Ya Ri, akupun demikian.” Ucapku pelan.

“Izinkan aku hanya memandangmu Han.” Kata Erika perlahan. Di depanku gadis ini menatap tajam. Jemarinya kugenggam erat ketika berkata lirih. Sungguh aku tidak bisa membayangkan harus berpisah dengan kekasih hati yang sudah bersama-sama beberapa tahun ini.

“Selamat tinggal Han.” Desahnya sambil memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.

“Selamat jalan Rika,” kataku tertegun. Mata indah Erika masih berkaca-kaca dan bibirnya bergetar.

Sementara di luar awan mendung mulai mengurung semakin tebal semakin gelap. Hujanpun tak dapat dielakkan turun dengan deras sederas air mata Erika membasahi pipinya.

Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu Erika. Hari-hari berikutnya kulewati penuh dengan kehampaan dan kekosongan seolah dunia ini tak berpenghuni.

Benar-benar sepi.  Saat sepi sepi itu menyapaku, selalu saja ada Aini hadir dalam benakku dan teringat kata-katanya. “Kamu harus tabah Han. Allah tidak membebani kita diluar kemampuan kita. Semua yang terjadi pasti sudah melalui campur Tangan Allah. Pasti selalu ada hikmahnya, “

Aku masih duduk membaca di perpustakaan itu sambil mencoba melupakan saat saat bersama Erika namun aku tidak berhasil.

Akupun segera saja meninggalkan perpustakaan itu. Kemudian setiap aku menuruni tangga-tangga perpustakaan ini, setiap itu pula aku selalu masih menghitung berapa jumlahnya dan ternyata memang masih 21 tangga.

Tapi entah kenapa kini rasanya seperti ada sesuatu pijakan tangga yang hilang dan aku tak tahu dimana aku harus menemukannya. Sungguh mati aku benar-benar tidak tahu. Sungguh aku rasanya sedang kehilangan sebuah pijakan.

BERSAMBUNG BAB 12. 

@hensa.

Ilustrasi Foto by Pixabay.

BACA JUGA Kisah Cinta Jomlo Pesantren. 

Tinggalkan Balasan

1 komentar