Bunga Kenanga di Sudut Rumahku

Cerpen, Fiksiana110 Dilihat

Sudah beberapa kali malam jumat, bunga kenanga ini menyebarkan semerbak harumnya yang membuat bulu kudukku meremang. Sudah beberapa kalipula aku meminta suami serta anakku untuk menebangnya, tapi entahlah seperti ada misteri bunga kenaga, setiap akan ditebang pasti ada saja yang membuat suami maupun anakku tidak sampai jadi menebangnya.

Sore kemaren setelah menyelesaikan tugas sebagai umat beragama, sambil melipat mukena dan sejadah, aku berkata kepada suamiku

“Jangan lupa lagi untuk menebang bunga kenanganya Pa.” sambil aku meletakkan mukena dan sejadah pada tempatnya.

“Iya, itu saja yang selalu Ibu ingatkan.” protes suamiku, dengan cemberut aku berkata

“Iya, tapi tidak jadi kan Papa menebangnya.” balasku sewot

“Memangnya ada musuh apa Ibu dengan bunga kenanga itu, sampai harus menebangnya. Sementara bunga kenangga sudah jarang tumbuh sekarang. Biarkan saja dia hidup, bermanfaat juga jika ada yang meninggal dunia.” masih juga suamiku mempertahankan bunga kenanga disudut rumahku.

“Sudah Ibu tanam di pot, biar tidak terlalu besar dan menakutkan.” aku berargumentasi melihat suamiku masih mempertahankan bunga kenangga itu.

“Apanya yang menakutkan, itu hanya perasaan Ibu saja.”  Masih saja suami kekeh dengan pendapatnya

‘Ya, sudah kalau bapak tidak mau mendengar Ibu ya sudah jika terjadi sesuatu pada Ibu, bapak jangan menyesal.” setelah mengatakan itu aku pergi suamiku yang masih duduk di atas kasur setelah kami sholat berjamah Asar tadi.

***

Sambil merebus air untuk minum sore, aku menyempatkan untuk mengoreng pisang yang beberapa hari lalu di tebang oleh suamiku hasil dari tanah yang tidak besar tapi bisa dimanfaatkan suamiku karena hobinya menanam disekitar rumah kami. Aku terus berfikir, apakah magrib nanti bunga kenanga itu akan menyebarkan harumnya yang membuat bulu kudukku meremang lagi.

“Astafirullahalazhim.” Suara terkejut karena tiba – tiba ada tangan yang menyentuh pundakku dari belakang.

“Bapak mengagetkan Ibu saja.” Ternyata suamiku yang memegang pundakku

“Masak seperti itu saja kaget, pisang gorengya hagus.” aku memandang wajan yang berisi pisang gorengku.

Secepat kilat aku mengangkat goreng pisangku, hanya sedikit lebih coklat tapi belum gosong.

“Jangan lupa tebang bunga kenangganya Pa.” aku masih saja mengingatkan suamiku untuk menebang bunga kenanga itu.

“Ngopi dulu.” dengan santai suamiku menjawab sambil mengambil pisang goreng yang baruku angkat tanpa menunggu kopi karena airnya belum mendidih.

aku memperhatikan suamiku yang duduk dimeja makan sambil mengunyah pisang goreng yang masih panas, mulutnya dimonyongkan hanya untuk menghembus supaya pisang gorengnya cepat dingin, ada – ada saja suamiku ini.

“Mendingan bapak tebang dulu bunga kenangganya baru ngopi, sebentar lagi air baru masak baru enak ngopi sambil makan pisang goreng.” aku berusah menyakinkan suamiku untuk menebang bunga kenanga sekarang.

“Mana parangnya?”

“Lah kalau urusan parangkan, biasanya bapak yang menyimpannya.” Kataku

Suami berdiri dari dudukknya berjalan menuju sudut dapur tempat biasa dia meletakkan perlengkapan untuk berkebun.

“Parangnya tidak ada.” ku dengar suara suamiku

“Mana Ibu tahu.”

“Trus mau motong pakai apa?” aku hanya memandang heran kepada Suamiku,

“Bapak letak dimana parangnya?”

” Bapak tanya sama Ibu, malah Ibu nanya balik sama Bapak.”

Tu kan, pasti ada saja yang membuat bunga kenanganya tidak jadi dipotong, batinku.(Bersambung)

 

Tinggalkan Balasan