Mendung sejak dua hari lalu menyambangi langit di Karimun, untung saja hujan lebat tidak membuat Kabupatenku yang dekat dengan Negara jiran Malaysia banjir, itu kabar terakhir yang diterima. Hanya hujan yang tiada berhenti seakan setia menyirami langit Karimu.
Aku memandang keluar jendela, menikmati rintik air yang turun dari langit bagai mutiara bening yang memberikan kesejukan abadi. Memeluk tubuh walaupun sudah memakai baju tebal masih terasa sampai ketulang dinginya.
Suara ketukan di pintu kamar, membuatku memalingkan wajah
“Masuk saja tidak dikunci, Ma.” Sudah beberapa hari ini Mama menyambangi kamarku, hanya untuk menanyakan jawabanku atas pinangan dari sohib mama dua pekan yang lalu.
“Laila, bagaimana sudah ada jawabanya.” Benarkan hanya itu yang menyebabkan Mama ada di kamarku, hanya gelengan kepala yang aku berikan.
“La, jangan seperti ini. Biarkan yang berlalu, lupakan mulailah semuanya dari awal. Jangan buat Mama sedih. Hidup mati semua karena kehendak – Nya, jangan siksa hidup Laila dengan sedih berlarut – larut.” Hanya senyuman miris yang dapat aku berikan untuk Mama
“Mama, masih terlalu cepat untuk Laila melupakan Bang Azhar.” Akhirnya terucap kata yang membuat dadaku sesak seketika.
“Laila perlu orang baru untuk melupakannya, percaya Mama. Besok keluarga Pakcik Dhahlan datang, jumpa dulu dengan Azmi baru berikan jawaban.” Setelah mengucapkan itu Mama berlalu meninggalkan Aku, gerimis ini tidak akan menjadi hujan yang bisa merubah semua rasa kepada Almarhum tunanganku Azhar.
***
Sudah ba’da azar, Mama sibuk dengan dibantu Mak Usu serta Kakakku di dapur. Aku diwanti – wanti untuk tidak di dapur, disuruh betangas dipagi hari, sebentar tadi sebelum sholat azar aku membersihkan muka yang sudah tertempel masker selama tiga puluh menit. Macan nak menikah saja aku dibuat oleh keluargaku, padahal baru merisik istilah orang kampung kami.
Bunyi suara mobil berhenti di depan rumah, serta heboh suara penyambutan Mama dan Mak Usu serta Kakakku mengema di ruang tamu. Ketukan di pintu membuatku sedikit risih, entah aku siap atau tidak, yang pasti aku merasa kehadiran Bang Azhar sekarang ini di kamarku.
Maaf, batinku entah kepada siapa lirih. Mama masuk bersama wanita yang sebaya dengannya.
“Ya Allah, cantik sungguh menantuku.” Ucapnya, membuat netraku membulat penuh ke arah Mama tak suka. Katanya hanya pertemuan biasa kenapa sekarang jadi bertunang, batinku kesal.
Bagaikan boneka dari porselin Mama dan wanita itu mengamit kedua belah tanganku, membuatku berjalan bersama mereka meninggalkan kamar.
“Mi, lihat calon menantu Bunda, cantikkan?” Seru teman Mama kepada Azmi anaknya yang membuatku menggangkat wajahku melihat kearah yang diserukan namanya.
Netra kami bertemu, mulutku mengangga, tak percaya. Berarti selama ini yang aku pikirkan benar. Azmi teman Bang Azhar, tak mungkin Bang Azmi menginginkan aku menjadi istrinya, bukankah dia tahu bagaimana perasaanku.
“Bang, apa maksudnya ini.” Entah darimana keberanianku datang, dengan lantang aku bertanya kepada Bang Azmi.
“Mi, Azmi sudah kenal dengan Laila.” Ucap Bundanya sambil memandang aku dan Bang Azmi bergantian. Hanya anggukan kepala dari Bang Azmi menjawab bertanyaan Bundanya.
“Pantasnya sewaktu Bunda memberikan foto Laila, kamu langung setuju ternyata sudah kenal dulu Syah.” Ucap Bunda kepada Mamaku.
“Kalau gitu tak usah lama bertunang, bulan depan kita nikahkan saja mereka.” Ucap Bunda diikuti koor dari yang hadir saat ini.
“Bang.” Sekali lagi aku mengeluarkan suara meminta penjelasan dari Bang Azmi.
Bukannya jawaban, malah Bang Azmi memasangkan cincin yang diberikan Bundanya ke jari manisku. Sambil meraih tanganku membawaku menuju teras samping rumahku.
“Bunda, Mama kami perlu bicara.” Ucap Bang Azmi sambil mengandeng tanganku berlalu dari kerumunan keluarga yang berada di ruang tamu.
“Duduklah.” Ucap Bang Azmi setelah kami sampai di teras tepi rumah
Kami duduk dibatasi meja, netra Bang Azmi menatapku sendu.
“Maafkan Abang, ini pesan terakhir Azhar untuk menjaga Laila jika terjadi sesuatu kepada dirinya. Mungkin ini sudah menjadi pirasat sebelum dia meninggal, sebenarnya Abang bingung bagaimana menunaikan permintaan terakhir Azhar, tapi ternyata Laila memang jodoh Abang. Bunda sudah lama mencarikan jodoh untuk Abang, sudah banyak yang dikenalkan tapi Abang selalu menolak, ketika Bunda menyodorkan foto Laila seperti ini jawaban dari doa Abang untuk memenuhi janji Abang kepada Azhar.” Ucapnya sambil memandang netraku lekat.
Azhar tunanganku, seorang angkatan bersenjata RI aku merasa wanita paling beruntung menjadi pendampingnya, hanya tinggal sebulan lagi kami menikah tapi tugas ke timur leste membuat semuanya menjadi mimpi sedih buat diriku. Bang Azmi menjadi saksi sumpah mati kami untuk hidup bersama, bagaiman hancurnya diriku ketika mendapatkan berita gugurnya Bang Azhar dari battalion, sempat beberapa kali Bang Azmi berkirim kabar kepadaku menanyakan kabarku yang hancur ditinggal Bang Azhar. Tapi tidak pernah terpikirkan Bang Azhar menitipkan diriku pada teman yang sudah dianggapnya saudara.
“Laila.” Suara lembut wanita yang merupakan Ibu Bang Azhar menyapa kami
“Ibu.” Isakku, meraihnya dalam pelukan sudah setengah tahun aku tidak melihatnya
“Alhamdulillah, Ibu senang sekali mendengar Azmi yang akan menjadi pendamping Laila. Mereka anak – anak Ibu, Ibu tidak akan kehilangan Laila sebagai menantu.” Ucapan Ibu Bang Azhar membuat air mataku meluncur dengan sempurna tanpa bisa aku tahan sedikitpun.
“Berbahagialah bersama Azmi, Ibu sanggap mengharapkan Laila menerimanya sebagai suami seperti Laila menerima Azhar dulu.” Ucapan Ibu Bang Azhar hanya aku jawab dengan anggukan kepala saja. Jika cinta datang, apakah aku sanggup menolaknya, hanya waktu yang menjawabnya, mungki cinta ini akan tumbuh dengan seiringnya waktu, batinku masih dalam tangis yang tertahan.***